Wapres Ma’ruf Amin mengingatkan ada empat bingkai kerukunan yang perlu terus dirajut untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Wapres juga mengingatkan, Pancasila dan agama tak perlu dipertentangkan.
Oleh
Nina Susilo
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kerukunan akan terbangun jika Pancasila dan agama dipahami secara utuh dan menyeluruh. Selain itu, upaya terus-menerus merekatkan persatuan bangsa dalam bingkai politik kebangsaan, keagamaan, budaya, dan hukum tak boleh terputus.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin dalam pembukaan simposium nasional bertema ”Studi dan Relasi Lintas Agama Berparadigma Pancasila” secara virtual, Kamis (10/9/2020), menuturkan, sejak proklamasi kemerdekaan RI, banyak pihak berupaya mempertentangkan Pancasila dan ajaran agama. Namun, dia meyakini upaya-upaya itu tidak akan pernah berhasil.
Sebab, selain sudah ditegaskan dalam sila pertama Pancasila, yaitu ”Ketuhanan Yang Maha Esa”, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan turunan dari ajaran agama. Selain itu, Pancasila sudah menjadi kesepakatan nasional.
”Orang yang masih mempertentangkan antara Pancasila dan agama adalah termasuk yang mis-persepsi. Bisa saja mis-persepsi dari pemahaman agamanya atau dari pemahaman Pancasila-nya,” tutur Wapres Amin dari kediaman resmi Wapres, Jakarta, saat diskusi secara virtual yang diselenggarakan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin.
Wapres Amin menambahkan, Pancasila yang menjadi pemersatu bangsa Indonesia yang majemuk ini adalah hasil kesepakatan dari para pendiri bangsa. Ini bisa disebut konsensus nasional atau dalam bahasa Arab al mitsaq al wathani, dari semua kelompok masyarakat di Indonesia.
Bagi umat Islam, al mitsaq al wathani itu analog dengan sejarah kesepakatan Nabi dengan kelompok-kelompok non-Muslim di Madinah yang kemudian disebut dengan Mitsaqul Madinah atau Piagam Madinah.
”Karena Pancasila itu sudah menjadi kesepakatan, maka Pancasila tidak boleh diganti dengan ideologi lain. Begitu juga dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tidak boleh diganti dengan sistem yang lain karena upaya penggantian tersebut berarti menyalahi kesepakatan nasional (mukhalafatul mitsaq),” ujar Wapres Amin.
Sepanjang pemahaman atas Pancasila dan agama utuh dan tidak menyimpang ke arah radikal dan ekstrem, nilai-nilai di dalamnya akan menjaga kerukunan antarumat beragama. Integrasi nasional akan terbentuk.
Empat bingkai kerukunan
Untuk itu, upaya untuk merajut empat bingkai kerukunan perlu terus dilakukan. Bingkai kerukunan pertama adalah bingkai politik atau politik kebangsaan. Masyarakat menerima tiga konsensus bangsa, yakni NKRI yang bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila, dan UUD 1945 sebagai konstitusi negara. Ketiga konsensus ini menjadi acuan bangsa Indonesia, baik secara pribadi maupun kelompok, terutama aparatur negara dalam mengambil kebijakan.
Kedua, bingkai teologis. Penguatan kerukunan dan pencegahan konflik melalui pengembangan teologi kerukunan sebagai acuan dalam hubungan antar-umat beragama, antar-warga negara, dan antar-manusia secara keseluruhan. Teologi kerukunan ini juga mengandung arti pemahaman keagamaan yang tidak mengarah pada konflik dan kekerasan yang bisa disebut sebagai ”teologi konflik”.
Bingkai ini berdasarkan pada inti ajaran semua agama yang ada di Indonesia. Semua mengajarkan kebaikan dan kedamaian hidup manusia serta saling menghormati sesama. ”Buddha mengajarkan kesederhanaan, Hindu mengajarkan tatwam asi (tepa salira), Kristen mengajarkan cinta kasih, Khonghucu mengajarkan kebijaksanaan, dan Islam mengajarkan kasih sayang bagi seluruh alam (rahmatan lil alamîn),” kata Wapres Amin.
Karena itu, perbedaan agama tidak semestinya menjadi faktor pemecah belah, tetapi menjadi faktor pemersatu dalam kehidupan masyarakat. Agama pun semestinya tidak dipahami secara eksklusif dan ekstrem, tetapi dipahami dengan memperhatikan pula konteks dan kondisi obyektif bangsa Indonesia yang majemuk baik dari budaya, agama, maupun etnisnya.
Bingkai ketiga berkaitan dengan sosio-kultural atau bingkai sosiologis. Nilai-nilai budaya di setiap wilayah menunjukkan kearifan lokal serupa yang mendorong kohesi sosial.
Masyarakat Batak mengenal dalihan na tolu yang berfungsi merekatkan masyarakat walaupun berbeda agama dan etnis. Di masyarakat Jawa, ada gotong royong dan tepa salira sebagai sikap menjaga hubungan baik dalam segala bidang dan aspek kehidupan bermasyarakat.
Kemudian Rumah Betang di masyarakat Dayak menunjukkan berbagai anggota keluarga tetap hidup damai dilandasi kasih sayang dan rasa persaudaraan di rumah panjang itu. Masyarakat Bugis mengenal sipakalebbi dan sipakatau yang berarti saling menghormati dan menghargai. Adapun pela gandong di masyarakat Ambon bermakna kerukunan dan persaudaraan sekandung sedarah sejati antarmanusia yang hidup di Ambon.
Keempat, bingkai yuridis. Penguatan kerukunan dan pencegahan konflik melalui penguatan regulasi tentang kehidupan beragama secara komprehensif dan terintegrasi melalui aturan perundangan serta penegakan hukum.
Karena itu, sebagai titik temu bagi semua agama, suku, ras, dan golongan di Indonesia, Wapres Amin menyambut baik kajian mengenai Pancasila dan agama. Ini sekaligus menjawab tantangan fenomena radikalisme agama, intoleransi, dan ideologi transnasional yang terjadi di sebagian masyarakat.
Rektor UIN Sultan Maulana Hasanuddin Fauzul Iman menambahkan, dalam Islam, terdapat ayat-ayat mengenai keberadaan berbagai agama secara bersama dalam tatanan sosial. Hal ini adalah sebuah sunatullah atau ketentuan dari Tuhan Yang Maha Esa.
Salah satu prinsip substantif yang perlu dipegang, menurut Fauzul, berkaitan dengan kebenaran dan kebaikan yang tidak bisa dianulir. Untuk itu, nilai kemanusiaan, perilaku moral yang saling menghargai dan saling menghormati, tidak berbohong, apalagi menyampaikan informasi hoaks ada pada semua agama serta berjalin erat dengan nilai-nilai Pancasila.
Adapun Yudian menilai, simposium ini menjadi bagian dari cara mempertahankan Indonesia yang sudah dilahirkan melalui proklamasi kemerdekaan RI.