Kampung-kampung tua Kota Semarang tetap mempertahankan eksistensinya di antara geliat modernisasi dan investasi. Warga dan komunitas saling mendukung merawat kampung dengan menghidupkan kearifan lokal.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
Di antara gempita transformasi menjadi kota metropolitan, kampung-kampung urban Semarang enggan tersisih dalam perwajahan kota. Dalam impitan belantara hotel dan plaza, warga setia merawat akar kampung asli dibalut kearifan lokal.
Tiga bocah berbaju tradisional khas semarangan duduk di pelataran mushala di Kampung Bustaman, Kota Semarang, Sabtu (10/4/2021). Sejenak kemudian, sejumlah pejabat mendekat lalu perlahan mengguyurkan air dari gayung ke atas kepala mereka. Sejumlah penonton pun ikut menyiram tubuh mereka dalam tradisi gebyuran bustaman.
”Tahun ini digelar karena kita tidak bisa melupakan tradisi. Namun, tetap sesuai protokol kesehatan. Filosofi dari tradisi ini resik murka. Biasanya, warga dicorat-coret dulu yang bermakna kemurkaan, emosi, dan lainnya. Lalu saling menyiram,” ujar Hari Bustaman (76), tokoh kampung tersebut.
Sejak 2013, warga Kampung Bustaman tergugah merawat tradisi dan mengenal sejarah kampungnya. Setiap menjelang Ramadhan, misalnya, digelar gebyuran bustaman, yakni perang air atau saling mengguyur antarwarga. Semuanya bermakna penyucian diri sebelum memasuki bulan suci, seperti dulu dilakukan Ki Bustam dengan mengguyur cucu-cucunya. Acara biasanya dilanjutkan menyantap gulai bersama.
Kampung Bustaman di Kelurahan Purwodinatan, Kecamatan Semarang Tengah, dikenal sebagai sentra pemotongan hewan, pusat penyediaan hewan kurban, dan penjual gulai. Namun, itu hanyalah sepetik cerita tentang kampung yang didirikan Kiai Kertoboso Bustam 278 tahun silam itu. Ki Kertoboso Bustam sendiri ialah kakek buyut pelukis ternama Indonesia yang dihormati dunia, Raden Saleh.
Hari mengatakan, hingga beberapa tahun lalu, kampung itu hanya kampung padat dan kumuh di belakang sentra perdagangan barang-barang elektronik Jalan MT Haryono. Rata-rata pendidikan warga hanya SMA. Ia kemudian menelisik tentang salah satu ikon yang berkait dengan Bustaman, yakni Raden Saleh. Setelah digali lagi, diketahui bahwa sang pendiri kampung ialah Kiai Bustam.
Bersama Kolektif Hysteria, yang merupakan laboratorium komunitas di Semarang, digelarlah kegiatan seperti tengok bustaman serta gebyuran bustaman. Sejumlah mural, termasuk Raden Saleh, dilukis menghiasi sudut kampung. Seiring tumbuhnya kepedulian warga, para pemuda mulai sadar identitas dan ingin mengenali sejarah tempat tinggalnya.
Hal itu penting di tengah perkembangan kota yang semakin mengarah ke metropolitan. ”Kami berupaya bagaimana agar kampung-kampung tua ini bertahan. Saya tidak setuju kampung-kampung kota tergerus oleh aset ekonomi. Bagaimanapun kampung ini bagian dari kota juga,” katanya.
Saya tidak setuju kampung-kampung kota tergerus oleh aset ekonomi. Bagaimanapun kampung ini bagian dari kota juga. (Hari Bustaman)
Sejauh 5,5 km di sebelah barat daya Kampung Bustaman, terdapat Kampung Jatiwayang di Kelurahan Ngemplak Simongan, Semarang Barat, yang juga memiliki karsa mengangkat kembali histori daerah mereka. Setelah digali, diketahui bahwa kampung di atas bukit itu dulunya ditinggali banyak seniman ketoprak. Kampung itu ialah tempat relokasi pembangunan di kawasan Citarum, Semarang Timur.
Sejak 2018, bersama Kolektif Hysteria, digelar Festival Bukit Jatiwayang yang menjadi ruang interaksi dan simbol kebersamaan warga. Sejumlah lokasi di kampung dihias berbagai mural merekam jejak peradaban leluhur. Pergelaran seni tradisi dihelat, antara lain ketoprak, tari-tarian, dan kirab budaya. Warga pun antusias melebur dalam tiap kali pentas seni.
”Dengan acara tahunan itu, wilayah kami lebih dikenal. Sebelumnya, nama Jatiwayang saja enggak pada tahu karena di sini lebih dikenal dengan Srinindito. Yang jelas, kami ingin terus merawat dan mengangkat nilai historis kampung ini,” ujar Waris Sutriono (42), warga Kampung Jatiwayang.
Direktur Kolektif Hysteria, Ahmad Khairudin, menuturkan, sejak 2008, ia dan rekan-rekannya mulai berupaya menggelar acara di sejumlah kampung di Kota Semarang. Namun, baru pada 2013 di Bustaman, ia menemukan pola bagaimana membuka kesadaran warga. Kuncinya, apa yang digaungkan mesti berasal dari kampung itu sendiri.
Sedari awal, Hysteria menyadari ada isu-isu krusial di Kota Semarang. ”Saat itu, sudah banyak kampung kota hilang, seperti Jayenggaten, Basahan, dan Kebonsari karena ’disikat’ sama hotel. Melihat urgensinya, kami merasa perlu berbuat sesuatu. Sebab, tinggal di kota hak semua orang,” kata Adin, sapaan Khairudin.
Dengan seni sebagai jalan masuk, Hysteria bergerilya ke kampung-kampung menggugah kesadaran warga agar peduli persoalan di kampungnya. Selain Bustaman dan Jatiwayang, mereka juga mendampingi Kampung Kemijen, Sendangguwo, Nongkosawit, dan Krapyak. Warga diajak terlibat bersama mengangkat ragam kegiatan budaya.
Buah upaya mengangkat kearifan lokal salah satunya mengembangkan potensi domestik. Di Kampung Batik, Kelurahan Rejomulyo, Semarang Timur, misalnya, meski lebih dari 20 orang beraktivitas terkait batik, awalnya dulu kebanyakan pedagang.
Ketua Paguyuban Batik ”Sekar Kananga” di Kampung Batik, Eko Harianto (48), mengatakan, meski disebut kampung batik sejak puluhan tahun lalu, tak ada yang membatik di kawasan itu. Namun, seiring semangat menghidupkan aktivitas ekonomi kampung-kampung asli, muncul ide memproduksi batik.
Ini didukung pelatihan membatik yang digagas Pemerintah Kota pada 2005-2006. Eko jadi salah satu peserta. ”Perubahannya sangat terasa. Ekonomi warga tumbuh. Sebelumnya, di sini terkenal sebagai kampung kumuh, apalagi sering kebanjiran rob,” katanya.
Eko menceritakan, dari penelusurannya, terbentuknya kampung batik di Semarang memang lebih terkait proses perdagangan. Hingga kini, masih ada bekas gedung Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) di Kota Lama Semarang. Diperkirakan, saudagar batik dari Pekalongan atau Surakarta beristirahat di kampung itu saat hendak mengirim produk melalui Pelabuhan Tanjung Emas Semarang. Apalagi, lokasi kampung hanya sekitar 400 meter dari Kota Lama.
Guru Besar Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Nany Yuliastuti mengemukakan, kampung-kampung di Kota Semarang punya karakteristik berbeda. Dalam mengangkat sesuatu yang berdaya tarik, sangat bergantung nilai historis masing-masing.
Kepala Bidang Perencanaan Pemerintahan, Sosial dan Budaya, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Semarang Slamet Budiutomo menuturkan, pemkot memiliki program Kampung Tematik yang, antara lain, bertujuan mengangkat potensi sosial dan ekonomi warga setempat.
Kampung-kampung di Kota Semarang punya karakteristik berbeda. Dalam mengangkat sesuatu yang berdaya tarik, sangat bergantung nilai historis masing-masing. (Nany Yuliastuti)
Sejak 2016, ada 177 kampung tematik, yang saat awal pembentukannya mendapat stimulan Rp 200 juta. Pada 2021, menurut rencana, akan ditambah 58 kampung lagi, setelah pada 2020 sempat tertunda pandemi Covid-19.
Upaya warga mempertahankan eksistensi kampung-kampung asli Semarang semestinya bisa ditangkap menjadi peluang wisata edukasi. Sebab, jika satu per satu kampung urban lenyap, bisa jadi Semarang menjadi kota tanpa roh.