Napas Pluralitas Semarang Lama
Semarang Lama, sebagai satu kawasan, tak bisa dipisahkan dari kampung-kampung di sekelilingnya yang sarat sejarah dan menjadi ruang harmoni beragam kebudayaan. Ratusan tahun, warga hidup berdampingan dalam kebinekaan.
Kawasan Semarang Lama tak sebatas Kota Lama yang terkenal akan deretan bangunan kuno bergaya Eropa. Kawasan ini tak bisa dipisahkan dari kampung-kampung di sekelilingnya yang sarat sejarah dan menjadi ruang harmoni beragam kebudayaan. Kebinekaan jadi napas peradaban kota dagang.
Mangkuk dan gelas plastik warna-warni tersusun rapi di lantai Masjid Jami Pekojan, Purwodinatan, Kota Semarang, Jawa Tengah, Minggu (18/4/2021) sore. Aroma kari menguar harum dari dalam mangkuk berisi bubur bercampur rempah-rempah khas Nusantara. Itulah bubur India.
”Bubur India (yang sudah berpadu dengan bumbu-bumbu khas Indonesia) hanya salah satu dari sekian banyak makanan khas Koja. Selain itu, ada bolu lapis, kuah lada, acah poh, dan lainnya. Kami ingin memperkenalkan kuliner-kuliner khas ini,” kata Muhammad Soleh, Ketua Komunitas Koja Semarang.
Bubur India sudah lebih dari 100 tahun menjadi makanan khas berbuka puasa di Masjid Pekojan. Tradisi itu, kisah Soleh, dibawa para pedagang dari Pakistan dan Gujarat (India), yang resepnya kemudian diturunkan kepada para penerus. Di sekitar masjid itu hingga kini juga masih tinggal warga keturunan Koja (Gujarat), yakni di Kampung Begog di Jalan Petolongan.
Kampung itu berdekatan dengan Pecinan yang menjadi tempat bermukim orang-orang dari etnis Tionghoa serta dengan kampung lain etnis Jawa. ”Dari dulu tak pernah ada masalah, rukun dengan siapa pun,” kata Yusuf Umar (70), salah seorang warga keturunan Koja.
Baca juga : Percik Spirit Kampung Urban Semarang
Sekitar 1,5 kilometer (km) ke arah barat laut, di Jalan Layur, terdapat Masjid Menara atau Masjid Kampung Melayu, Kelurahan Dadapsari di Semarang Utara. Di masjid itu masih terpelihara tradisi buka puasa dengan kopi Arab. Yang membedakan kopi Arab dengan kopi-kopi hitam lainnya ialah aroma jahe dan rempah-rempah khas Mediterania lain yang begitu kuat. Antara lain, kayu manis, kapulaga, dan cengkeh.
Adapun Masjid Menara didirikan pada 1802 oleh sejumlah saudagar dari Arab (Yaman) yang bermukim di Semarang. Di Kampung Melayu, hingga kini masih tinggal warga keturunan Arab, yang hidup berdampingan dengan etnis lainnya.
Bubur India sudah lebih dari 100 tahun menjadi makanan khas berbuka puasa di Masjid Pekojan. Tradisi itu, kisah Soleh, dibawa para pedagang dari Pakistan dan Gujarat.
”Namun, mereka yang benar-benar tahu sejarahnya sudah pada enggak ada. Sudah berpencar. Yang pasti sejak dulu hingga sekarang, keturunan Arab di sini biasa saja. Dengan etnis lain komunikasinya biasa. Rukun dan tak pernah ada masalah,” ujar Ketua Takmir Masjid Menara Umar Baharun (69), Senin (3/5/2021).
Selain Kampung Melayu, juga ada Kampung Kauman, di dekat Masjid Besar Kauman Semarang yang juga menjadi tempat bermukim sejumlah warga keturunan Arab. Umumnya, warga di sana bermata pencarian sebagai pedagang. Letak kampung itu hanya sekitar 400 meter dari Pasar Johar, yang di masa lalu menjadi pusat ekonomi terpenting di jantung pantura Jateng.
Baca juga : Pemilik Properti di Kota Lama Semarang Didorong ”Hidupkan” Bangunan
Pecinan
Akulturasi juga melebur jadi roh kawasan Pecinan Semarang. Di dalam gedung Rasa Dharma (Boen Hian Tong), yang merupakan tempat perkumpulan Tionghoa di Semarang, misalnya, masih terdapat seperangkat gamelan, alat musik khas Jawa, yang telah berusia lebih dari 100 tahun. Pada masa itu, di Pecinan, orang yang mampu atau dari kalangan elite, biasanya memiliki seperangkat alat gamelan.
”Dulu, di gedung ini, setiap tanggal 15 Imlek pasti banyak yang berkumpul sambil mendengarkan permainan gamelan. Termasuk juga musik klasik Tiongkok, lam kwan,” kata Manajer Rasa Dharma, Ws Indriani Hadisumarto.
Dalam perkembangannya, perkumpulan Rasa Dharma, yang bergerak di bidang budaya dan sosial, tak lagi dikhususkan bagi etnis Tionghoa. Orang-orang dari etnis Jawa pun ikut bergabung sebagai anggota. Kini, kata Indriani, anggota Rasa Dharma sekitar 250 orang dan umumnya sudah sepuh.
Satu hal unik di Gedung Rasa Dharma adalah adanya sinchi atau altar khas Tionghoa bertuliskan KH Abdurrahman Wahid, yang adalah Presiden Indonesia pada 1999-2001. Pada papan media penghormatan untuk leluhur itu, tertulis juga dalam huruf China: ”Bapak Tionghoa Indonesia” di sisi kiri dan ”Guru Bangsa Pengayom Minoritas” di sisi kanan.
Lihat juga : Proyek Penataan Kota Lama yang Tak Kunjung Selesai
Pada bagian atas sinchi terdapat tiga susun limas menyerupai atap Masjid Agung Demak. Indriani menuturkan, sinchi itu dibuat pada 2014, atas seizin Sinta Nuriyah, istri KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Saat itu, Sinta juga hadir di Gedung Rasa Dharma dan secara simbolis menyerahkan sinchi tersebut kepada pengurus.
”Sinchi itu sebagai penghormatan karena Gus Dur, bahkan sebelum jadi presiden, telah menjadi pengayom bagi orang-orang terpinggirkan. Kami, terutama umat Khonghucu, merasakan betul peran beliau,” kata Indriani.
Hidup berdampingan dengan warga lain suku, Jongkie Tio dalam bukunya Kota Semarang dalam Kenangan (2001) menyebutkan, dalam perjalanannya, warga kampung-kampung lama di Semarang juga bersatu saat kehidupannya terancam. Dalam Perang Diponegoro (1825-1830), warga Tionghoa yang sebagian besar ialah kaum pedagang merasa resah dan tak aman akan kabar bahwa pecinan akan dirampok para perusuh yang memanfaatkan situasi perang. Hal itu juga dirasakan oleh orang-orang Koja (Arab) yang tinggal di Petolongan.
Baca juga : Dilema Peradaban Segitiga Emas ”Kota Atlas”
Kemudian, orang Koja dan Tionghoa pun bersepakat untuk bersama-sama menjaga keamanan. ”Sewaktu ada kabar bahwa kaum perusuh sudah memasuki Demak, mereka bersama orang-orang Koja, dengan bersenjata, berangkat ke arah Demak, menerobos hutan dan perkebunan. Beruntung, hal-hal yang tidak diinginkan tak terjadi,” tulis Jongkie Tio.
Guru Besar Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang Wasino memaparkan, keberadaan kampung-kampung di Semarang Lama berkait dengan posisi Semarang yang masuk dalam jaringan perdagangan internasional, meski mulanya pelabuhan utama berada di Jepara.
Pada abad ke-15, bahariwan ulung asal China, Laksamana Cheng Ho, mendarat di Simongan atau saat ini sekitar Kelenteng Sam Poo Kong yang dulunya garis pantai.
”Dalam perkembangannya, ada jaringan yang terhubung dengan Kali Semarang. Jadi, semua itu berpusat di Kali Semarang dengan melewati sekitar Kota Lama. Dulu kapal bisa melewati Kali Semarang,” katanya.
Di Semarang, interaksi pun terus terjalin antaretnis, termasuk Tionghoa dan Jawa, hingga kemudian muncul tradisi gugderan setiap menjelang bulan Ramadhan. Dugderan terdiri dari kata dug, yakni suara pukulan bedug, sedangkan der suara meriam atau mercon. Tabuh bedug sendiri salah satu tradisi yang berkembang di Jawa, sedangkan mercon atau petasan dari China.
Pada tradisi dugderan, yang masih bertahan di Semarang hingga sekarang, selalu menampilkan binatang imajiner ”Warak Ngendog” dengan rupa kepala naga, leher menyerupai unta, dan berkaki empat seperti kambing. Hewan itu merupakan representasi kultural China, Arab, dan Jawa.
Simpul sejarah
Upaya pelestarian kawasan Semarang Lama telah dimulai dari Situs Kota Lama seluas 72,35 hektar (ha) yang di dalamnya terdapat Gereja Blenduk, Taman Srigunting, dan lebih dari 100 gedung berarsitektur kuno lain.
Berikutnya, pelestarian akan diperluas ke kampung-kampung lama lainnya di lokasi, yakni Situs Kampung Melayu (6,89 ha), Kampung Kauman (15,49 ha), dan Pecinan (18,99 ha).
”Pada 2021, akan masuk ke kawasan Kuningan Dadapsari (Kampung Melayu), terutama membuat Masjid Layur (Menara) menjadi bagian dari pariwisata Kota Semarang yang bisa banyak dikunjungi. Upaya itu akan dilengkapi penataan ruas Jalan Layur,” ujar Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi.
Pelestarian akan diperluas ke kampung-kampung lama lainnya di lokasi, yakni Situs Kampung Melayu (6,89 ha), Kampung Kauman (15,49 ha), dan Pecinan (18,99 ha).
Setelah itu, revitalisasi akan berlanjut ke situs Kampung Kauman yang berada satu area dengan Pasar Johar yang sebelumnya telah dipugar. Di kawasan ini, juga akan dibangun kembali Alun-alun lama Kota Semarang. Hendi, sapaan Hendrar, mengatakan, hal tersebut bagian dari upaya mengembalikan sejarah Kota Semarang yang dulu memiliki alun-alun kota. Namun, sempat dihilangkan seiring meluasnya aktivitas perdagangan di sekitar Pasar Johar.
Baca juga : Kawasan Semarang Lama Jadi Cagar Budaya Nasional
Agenda terakhir adalah penataan Situs Pecinan, yang aktivitasnya sebenarnya sudah menggeliat, di antaranya dengan adanya Pasar atau Waroeng Semawis di Jalan Gang Warung. Sebelum pandemi Covid-19, saban akhir pekan, pada malam hari, jalan itu ditutup dan berjajar gerai-gerai makanan. Waroeng Semawis juga telah menjadi jujugan wisata kuliner warga maupun pelancong luar kota.
”Dengan demikian, insya Allah (Semarang Lama) akan menjadi satu kawasan yang lebih baik,” lanjutnya.
Penataan kembali simpul-simpul sejarah Kota Semarang juga seiring penetapan kawasan Semarang Lama sebagai cagar budaya peringkat nasional oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada akhir Juli 2020. Sementara kompleks Kota Lama Semarang kini ada dalam daftar tentatif Warisan Budaya Dunia UNESCO.
Revitalisasi di kawasan Semarang Lama pun tak hanya dilakukan dalam konteks fisik, tetapi juga berupaya memanggungkan kembali setiap goresan sejarah yang pernah ada di setiap lokasi. Yang terpenting, hal ini merupakan ikhtiar untuk memaknai lagi kemajemukan dan akulturasi budaya yang telah menjadi napas Kota Semarang.