Kisah Antropolog Inggris tentang Tanah Minang pada Tahun 1930-an
Dalam bukunya, antropolog asal Inggris Geoffrey Gorer menulis, orang Minangkabau berpenampilan menarik, berbusana indah dengan tenunan sutra warna-warni mengilat, serta ahli mengolah perkakas dan perhiasan dari perak.
Geoffrey Gorer, antropolog Inggris yang juga sahabat baik novelis George Orwell, menjelajahi Nusantara dan Indo China pada tahun 1930-an. Dia membukukan perjalanannya ke Sumatera, Jawa, Bali, Thailand, dan Myanmar dalam Bali and Angkor: A 1930’s Pleasure Trip Looking at Life and Death. Di Sumatera, Gorer membuat catatan tentang Tanah Minang dan kehidupan masyarakatnya.
Menurut Gorer, masyarakat Minangkabau lebih modern dari masyarakat Batak yang juga dia kunjungi. Masyarakat Minang dianggap sebagai cikal bakal masyarakat, bahasa, dan budaya Melayu.
Masyarakat Minang dianggap sebagai cikal bakal masyarakat, bahasa, dan budaya Melayu.
Orang Minangkabau dinilainya berpenampilan menarik, berbusana indah dengan tenunan sutra dan warna-warni mengilat, serta ahli mengolah aneka perkakas dan perhiasan dari perak.
Gorer menilai, bangunan rumah adat Minang tidaklah semegah rumah adat Batak. Namun, rumah adat Minang sama-sama menggunakan konstruksi rumah panggung seperti rumah adat Batak. Bedanya, dinding di balik balkon rumah Minang lebih tinggi dan berhias dekorasi indah dengan panel warna yang didominasi warna merah dan biru.
Lengkungan atap rumah adat dengan rumbia dibangun melengkung menjulang saling bersusun. Bagian tepian atap menjulang lebih tinggi dibanding lengkungan atap di tengah bangunan.
Sementara lengkungan ketiga pada atap bersusun tersebut merupakan atap tambahan yang terkadang menjadi struktur penutup loteng rumah. Namun, secara umum lengkungan ketiga ini adalah ornamen belaka. Mengutip keterangan masyarakat, Geoffrey Gorer menyebut gaya lengkung atap tersebut seperti punggung gajah betina.
Baca juga : Belajar Kebudayaan Minangkabau di Padang Panjang
Bangunan adat dengan atap rumbia umumnya banyak dijumpai di perkampungan. Sementara di wilayah perkotaan, atap rumah, masjid, dan lumbung orang Minang lebih banyak menggunakan bahan seng bergelombang.
Atap seng bergelombang merupakan satu dari dua jejak peradaban Eropa yang mencolok mata di Ranah Minang. Jejak lainnya adalah lampu penerangan jalan. Atap seng bergelombang sebenarnya terlihat merusak estetika rumah adat Minang. Namun, material tersebut murah dan gampang dipasang. Sementara, keberadaan lampu penerangan jalan sangat bermanfaat bagi masyarakat.
Dalam pandangan Gorer, sebelum kedatangan Bangsa Eropa, masyarakat Asia atau Timur Jauh telah memiliki kemampuan dalam produksi busana, pertanian, irigasi, dan literasi.
Dalam peri kehidupan masyarakat lokal, kedatangan Eropa lebih bersifat membantu melalui perkakas teknologi modern, layanan kesehatan yang meningkatkan usia harapan hidup, pengenalan ragam menu hidangan yang semakin bervariasi, serta budidaya pertanian berskala besar.
Namun, setelah kedatangan bangsa Eropa, orang Asia harus bekerja lebih keras lagi karena harus membayar aneka pajak yang dibebankan kepada mereka sebagai bangsa negeri jajahan.
Baca juga : Yusof Ishak, Putra Minangkabau Presiden Pertama Singapura
Meski angka kematian balita di Asia menurun, angka harapan hidup orang Asia jauh lebih rendah. Sebagai contoh, angka harapan hidup di India hanya 23 tahun. Bandingkan dengan di Inggris yang mencapai 60 tahun, sangat kontras. Rendahnya angka harapan hidup bangsa Asia, terutama yang menjadi negeri jajahan, akibat buruknya asupan nutrisi dan kerja rodi yang sungguh berat.
Kondisi ini pada akhirnya menyebabkan mereka tidak bisa maksimal menggarap lahan pertanian yang menjadi sumber makanan pokok. Hasil panen yang sedikit masih dikurangi untuk membayar berbagai pajak dan upeti.
Melihat kondisi tersebut, Gorer mengkritisi etika pembenaran kolonialisme. Ia mempertanyakan, komoditas apa sebetulnya yang dibutuhkan warga dari negeri subtropis atau negeri empat musim sehingga harus menguasai negeri-negeri tropis di Asia dan Afrika.
Dia berpandangan jika saja energi listrik, selulosa, dan alkohol dimanfaatkan semaksimal mungkin, Bangsa Barat tidak perlu mengeksploitasi katun, batubara, dan minyak bumi dari negeri jajahan.
Dengan rekayasa ilmiah, bangsa Eropa bisa saja membuat varietas teh dan tembakau yang dapat dibudidayakan di benua mereka sendiri. Semasa itu, padi pun sudah bisa dikembangkan di Eropa Selatan.
Baca juga : Naskah Kuno Minangkabau di Solo Didigitalisasi
Kecuali tanaman cokelat dan kopi, wilayah tropis tidak banyak menghasilkan komoditas yang tidak bisa dikembangkan di dunia Barat. Keserakahan pemodal Barat untuk meraih keuntungan secara cepat dan murah membuat eksploitasi tanah jajahan terus berlanjut.
Keuntungan agrobisnis Eropa di negeri jajahan didapat dari penderitaan banyak manusia yang menjadi bawahan. Di sisi lain, langkah melepas negeri koloni atau memberikan home rule (pemerintahan mandiri), bukan menjadi jawaban persoalan, melainkan lebih mirip upaya cuci tangan.
Masyarakat negeri jajahan sudah demikian tercengkeram oleh eksploitasi penjajah Eropa sehingga jika diberi kebebasan pun hanya akan menggantikan ”tuan putih” dengan ”penjajah bangsa sendiri”.
Gorer mencontohkan, situasi kerja dan eksploitasi di pabrik katun asli India menjadi bukti eksploitasi sesama anak negeri. Dia tidak setuju dengan pandangan Partai Buruh di Inggris bahwa memberikan hak pilih adalah solusi bagi rakyat di negeri jajahan.
Dia juga tidak setuju pada gagasan komunisme yang menyatakan semua bangsa harus melalui periode penderitaan kaum pekerja dieksploitasi kaum pemodal, sebelum memicu bangkitnya warga miskin. Dirinya menilai, perbaikan nasib masyarakat tidak semata diberikan atau datang dari inisiatif kaum penguasa.
Pandangan itu dipadukannya dengan informasi yang diperolehnya dari sumber Belanda tentang masyarakat Minangkabau. Disebutkan, orang Minangkabau menentang eksploitasi kolonial di wilayahnya.
Baca juga : Kekayaan Khazanah Sastra Minangkabau Dipamerkan di Padang
Menurut sumber tersebut, kota Fort de Kock atau kini Bukittinggi, disebut sebagai pusat perlawanan kaum komunis. Meski demikian, Gorer meragukan informasi itu karena menilai masyarakat Minangkabau sangat berpegang pada ajaran Islam.
Ia menduga, kesalahan ini akibat kaum penjajah Eropa di wilayah koloni sebelah timur Terusan Suez menilai semua ujaran di luar pembacaan doa para pegiat Islam adalah tindakan atau persekongkolan komunis.
Gorer menyayangkan kaum penjajah yang tidak mempelajari apa itu komunisme sehingga tidak mengetahui ideologi apa yang dilawan agar tidak mencampuradukkan atau menuding aktivis keagamaan sebagai kaum komunis. Hanya karena rakyat jajahan melakukan apa yang tidak disukai penjajah, mereka serta-merta dicap komunis.
Meski demikian, Geoffrey Gorer mendapati, orang-orang Belanda yang lebih terpelajar menilai perkembangan Jepang lebih menjadi ancaman di Hindia Belanda ketimbang gerakan komunis yang dimotori Uni Soviet. Dukungan Inggris kepada Jepang dinilai orang Belanda sebagai sesuatu yang membahayakan kepentingan mereka di wilayah Hindia Belanda.
Persekutuan Jerman-Jepang menghadapi Rusia turut membuat Inggris menjadi pihak yang tidak disukai di Hindia Belanda dan Pasifik. Menurut Gorer, Rusia hanya menjadi ancaman jika situasi di negeri tetangganya lebih buruk dari situasi domestik Rusia yang memungkinkan terjadinya agresi.
Cara menghadapi ancaman komunisme dan Uni Soviet adalah dengan memperbaiki kesejahteraan rakyat negeri jajahan. Para pihak yang mendukung kemajuan Jepang dan Jerman sebaiknya mendengarkan pendapat kolonial Belanda di Nusantara, orang Australia, dan Selandia Baru, terhadap pandangan ancaman komunis serta perkembangan Jepang.
Geoffrey Gorer menulis, meski masyarakat Minangkabau seluruhnya memeluk agama Islam, masih ada sisa-sisa peninggalan sistem kepercayaan lama dari zaman Hindu Buddha dalam adat budaya mereka.
Menutup laporannya soal Ranah Minang, Geoffrey Gorer menulis, meski masyarakat Minangkabau seluruhnya memeluk agama Islam, masih ada sisa-sisa peninggalan sistem kepercayaan lama dari zaman Hindu Buddha dalam adat budaya mereka.
Di antaranya tradisi merantau dan adanya kolam ikan yang disucikan. Ikan-ikan yang hidup di kolam tersebut, yang merupakan sejenis ikan mas, diyakini menjadi tempat bersemayam arwah leluhur. Memberi makan ikan di kolam tersebut dianggap perbuatan yang mendatangkan kebaikan. Jika ada ikan yang mati, ikan tersebut dibungkus kain lalu dimakamkan dengan khidmat.
Selain itu, ada beberapa monumen pra-Islam yang tertinggal di Minangkabau. Akan tetapi, monumen tersebut hanya menarik bagi arkeolog profesional.
Dataran tinggi Minangkabau sangat berbeda dengan dataran tinggi Batak. Tanah Minang di selatan garis khatulistiwa memiliki alam yang lebih keras dan ekstrem dibandingkan Tanah Batak. Barisan pegunungan, tebing, jurang, dan danau di sana-sini menandai Tanah Minang. Keragaman hayati Tanah Minang lebih kaya dari Tanah Batak.
Perjalanan paling mengesankan Gorer adalah sepanjang jalur Fort de Kock atau Bukittinggi ke Padang Panjang melalui Danau Singkarak. Rute ini melintasi dataran tinggi berangin ke Alahan Panjang hingga menuruni perbukitan ke dataran rendah pesisir pantai melalui Terusan Soebang.
Dalam perjalanan setengah harinya, ia melihat beragam pemandangan alam indah, mulai dari dataran tinggi, danau, lahan pertanian subur, hutan rimba, hingga tepian Samudra Hindia.