Kebijakan Larangan Mudik di Aceh Membingungkan Warga
Pemerintah lambat menyosialisasikan aturan larangan mudik, padahal aturan dari Kementerian Perhubungan dan Satgas Covid-19 RI sudah lama keluar. Satgas Covid-19 Aceh harus menyampaikan informasi yang utuh kepada warga.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Kebijakan larangan mudik di Provinsi Aceh berubah-ubah dan minim sosialisasi sehingga membingungkan warga. Para pihak menilai tim satuan tugas penanggulangan Covid-19 di Aceh tidak sinergis dan lemah koordinasi.
Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Teuku Umar, Aceh Barat, Yulizar Kasma, Jumat (7/5/2021), mengatakan kinerja Satgas Covid-19 Aceh sangat buruk. Kebijakan mengenai mudik antarkabupaten dalam provinsi lahir sangat simpang siur.
Pada awalnya, Direktur Lalu Lintas Polda Aceh Komisaris Besar Dicky Sondany menyebutkan mudik antarkabupaten dalam Provinsi Aceh dibolehkan, tetapi pemudik harus menunjukkan surat bukti tes antigen negatif Covid-19.
Akan tetapi, Kepala Dinas Kesehatan Aceh, yang juga Wakil Ketua Satgas Covid-19 Aceh, Hanif menyebutkan tidak tahu-menahu dengan kebijakan wajib tes antigen tersebut. Kebijakan itu memunculkan protes dari warga dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Beberapa jam kemudian kebijakan itu dibatalkan.
Kinerja satgas seperti ini justru akan menurunkan kepercayaan warga kepada pemerintah. (Yulizar Kasma)
Pada Rabu (5/5/2021), Pemprov Aceh mengeluarkan surat edaran larangan operasi kendaraan angkutan umum antarkabupaten dalam provinsi. Namun, di lapangan, larangan bukan hanya untuk kendaraan umum. Kendaraan pribadi juga dilarang keluar masuk kabupaten lain, kecuali untuk kepentingan darurat.
Pada Kamis dan Jumat (6-7/5/2021), puluhan kendaraan umum dan mobil pribadi saat tiba di perbatasan kota/kabupaten di luar wilayah aglomerasi dipaksa kembali ke kota asal oleh petugas. Padahal, sebelumnya, informasi yang disebar ke publik menyebutkan larangan mudik hanya antarprovinsi.
”Kinerja satgas seperti ini justru akan menurunkan kepercayaan warga kepada pemerintah,” kata Yulizar.
Anggota DPRA, Tarmizi, mengatakan, pemerintah lambat menyosialisasikan aturan larangan mudik, padahal aturan dari Kementerian Perhubungan dan Satgas Penanganan Covid-19 RI sudah lama keluar.
Ia meminta Satgas Covid-19 Aceh menyampaikan informasi yang utuh kepada warga agar tidak membuat publik bingung. ”Kemarin ada aturan harus bawa surat tes antigen, kemudian tes antigen digratiskan, kemudian kebijakan mobil pribadi juga dilarang. Aturannya harus jelas, jangan membingungkan,” kata Tarmizi.
Kemarin ada aturan harus bawa surat tes antigen, kemudian tes antigen digratiskan, kemudian kebijakan mobil pribadi juga dilarang. Aturannya harus jelas, jangan membingungkan.
Menurut Nazar (30), warga Kabupaten Aceh Barat Daya yang kini tinggal di Kota Banda Aceh, kebijakan pemerintah yang tidak konsisten membuat dia bingung. Dia berencana akan mudik pada dua hari sebelum Lebaran sebab sebelumnya tidak ada imbauan larangan mudik antarkabupaten.
”Saya tetap mudik walaupun ada larangan. Lebaran hari paling berharga untuk bertemu dengan orangtua,” kata Nazar.
Dicky Sondany menjelaskan, larangan mudik antarprovinsi dan antarkabupaten sesuai dengan aturan Satgas Penanganan Covid-19 RI dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 13 Tahun 2021 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Idul Fitri 1442 H/Tahun 2021 dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19.
Dalam peraturan tersebut diatur larangan mudik antarprovinsi dan mudik lokal. Perjalanan mudik lokal diperbolehkan di wilayah aglomerasi atau daerah yang saling menyangga.
”Beberapa kendaraan boleh melintasi, seperti mobil logistik, sembako, anggota TNI-Polri yang sedang bertugas, pegawai perjalanan dinas, orang sakit, dan ibu hamil,” kata Dicky.
Wilayah yang masuk dalam aglomerasi dan warga dibolehkan melakukan perjalanan antara lain Banda Aceh dengan Aceh Besar, Pidie Jaya dengan Pidie, dan Bener Meriah dengan Aceh Tengah.