Pada 2019 terjadi dua kasus berat kekerasan terhadap jurnalis di Aceh, yakni pembakaran rumah jurnalis di Aceh Tenggara dan ancaman tembak terhadap jurnalis di Aceh Barat.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Indeks kebebasan pers di Aceh menurun dari peringkat pertama pada 2018 menjadi peringkat ke-23 pada 2021. Teror terhadap wartawan, seperti kantor redaksi dilempar molotov, pembakaran rumah wartawan, dan ancaman penembakan, menyebabkan indeks kebebasan pers menurun.
Hal itu mencuat dalam diskusi ”Refleksi Darurat Kebebasan Pers di Aceh; Jurnalis Tak Bisa Dibungkam”, Rabu (28/4/2021), di Banda Aceh. Diskusi merupakan bagian dari rangkaian kegiatan Hari Kebebasan Pers Dunia pada 3 Mei 2021.
Koordinator Wilayah Sumatera Aliansi Jurnalis Independen Adi Warsidi menuturkan, pada 2019 terjadi dua kasus berat kekerasan terhadap jurnalis di Aceh, yakni pembakaran rumah jurnalis di Kabupaten Aceh Tenggara dan ancaman tembak terhadap jurnalis di Aceh Barat.
”Indeks kebebasan pers di Aceh jatuh, dari peringkat pertama pada 2018 menjadi peringkat 23 pada 2020. Ini menjadi pekerjaan rumah untuk kita mengampanyekan kebebasan pers,” ujarnya.
Adi mengatakan, sebagai daerah bekas konflik, Aceh menjadi provinsi dengan indeks kebebasan pers paling baik adalah capaian yang sangat mengagumkan. Namun, kondisi itu tidak dapat dipertahankan karena masih ada kasus-kasus besar.
Indeks kebebasan pers di Aceh jatuh, dari peringkat pertama pada 2018 menjadi peringkat ke-23 pada 2020. Ini menjadi pekerjaan rumah untuk kita mengampanyekan kebebasan pers. (Adi Warsidi)
Kasus pembakaran rumah Asnawi Luwi, jurnalis di Aceh Tenggara, termasuk kasus besar karena saat rumah terbakar, Asnawi, istri, dan anaknya sedang tertidur. Mereka dapat keluar dari rumah yang terbakar saat warga berteriak membangunkan mereka.
Hingga kini motif pembakaran rumah Asnawi belum terungkap. Polda Aceh dalam laporan akhir tahun menyebutkan kasus ini masih dalam proses hukum. ”Ini kasus besar, jurnalis tersebut harus menyelamatkan diri atau eksodus ke Banda Aceh,” katanya.
Adi menambahkan, kekerasan terhadap jurnalis di Aceh paling banyak terjadi pada masa konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah RI. Dua jurnalis meninggal karena terkena tembakan.
Kala itu militer dan GAM membatasi pemberitaan. Tidak sedikit wartawan yang diancam bunuh jika memberitakan fakta yang merugikan salah satu pihak. ”Di saat perdamaian, seharusnya ancaman terhadap jurnalis tidak terjadi lagi,” kata Adi.
Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia Provinsi Aceh Munir Noor menceritakan pengalaman dirinya meliput peristiwa saat konflik. Dia pernah dipukul pakai popor senjata dan keluarganya diancam bunuh. ”Adakalanya kami (jurnalis) disanjung saat dibutuhkan dan diancam saat memberitakan fakta yang merugikan pihak tertentu,” kata Munir.
Munir mengatakan, kampanye kebebasan pers harus dilakukan tanpa henti, baik kepada pemerintah, aparat penegak hukum, maupun masyarakat sipil. Sebab, siapa pun berpotensi menjadi pelaku kekerasan terhadap jurnalis.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh Juli Amin mengatakan, rangkaian kegiatan dalam rangka Hari Kebebasan Pers Dunia selain diskusi juga digelar pameran foto-foto masa konflik. Foto-foto tersebut karya jurnalis di Aceh yang bekerja sejak masa konflik Aceh.