Sebagian Air Baku Bendungan Bener untuk Bandara Internasional Yogyakarta
Penetapan lokasi penambangan batu andesit diklaim di Desa Wadas, Purworejo, diklaim sesuai prosedur, tetapi oleh LBH Yogyakarta dinilai bermasalah. Alasan utama warga terkait ancaman kerusakan sumber air.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA/NINO CITRA ANUGRAHANTO
·5 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Sebagian air baku Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo dan Wonosobo, Jawa Tengah, yang kini tengah dibangun, akan dimanfaatkan memenuhi kebutuhan Bandara Internasional Yogyakarta di Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta. Hingga Senin (26/4/2021), kemajuan pekerjaan pembangunan bendungan itu mencapai 9,2 persen.
Menurut data Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Serayu Opak, Bendungan Bener yang akan memiliki tampungan maksimum 90,39 juta meter kubik ialah bendungan multifungsi. Selain air baku untuk Kabupaten Purworejo, Kebumen, dan Kulon Progo, juga untuk irigasi, pembangkit listrik tenaga air (PLTA), konservasi, reduksi banjir, dan pariwisata
”Untuk irigasi, diperkirakan dapat memberikan suplai air bagi 13.579 hektar daerah irigasi existing dan 1.940 hektar daerah irigasi baru. Sementara untuk pemenuhan air baku, yakni 1.500 liter per detik, dengan rincian 500 liter per detik untuk Purworejo, 300 liter per detik untuk Kebumen, dan 700 liter per detik untuk Bandara Internasional Yogyakarta dan Kulon Progo,” kata Kepala BBWS Serayu Opak Dwi Purwantoro di Sleman, DI Yogyakarta, Selasa (27/4/2021).
Adapun di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Purworejo, atau masih di kawasan pembangunan Bendungan Bener, menurut rencana akan dijadikan quarry atau lokasi penambangan batu andesit untuk keperluan proyek bendungan. Namun, menurut data BBWS Serayu-Opak, masih ada 200-300 warga setempat yang menolak, dari total 400 warga di desa tersebut.
Sebelumnya, pada Jumat (23/4), aksi penolakan warga terhadap sosialisasi pemasangan patok untuk lokasi quarry untuk pembangunan Bendungan Bener, berujung ricuh. Bentrok terjadi antara massa dan aparat. Sebanyak 11 orang sempat dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan, tetapi kemudian dibebaskan.
Terkait hal itu, Dwi menyatakan, telah mengantongi semua aspek legalitas mengenai pembangunan Bendungan Bener, yang tertuang dalam Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 591/41 Tahun 2018 tentang Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo dan Wonosobo. Adapun SK dikeluarkan pada 7 Juni 2018.
Surat tersebut diperpanjang lewat Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 539/29 Tahun 2020 tentang Perpanjangan Atas Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo dan Wonosobo. Surat tersebut dikeluarkan pada 5 Juni 2020.
Menurut Dwi, surat keputusan tersebut sudah mencakup keperluan penetapan lokasi untuk penambangan batu andesit di Desa Wadas. Ia juga mengklaim sudah menyelesaikan pengurusan analisis dampak lingkungan (Amdal), sejak 2017. ”Secara prinsip, kami sudah punya dasar atau hak hukum untuk melaksanakan kegiatan pembangunan Bendungan Bener maupun quarry (penambangan) di Desa Wadas,” katanya.
Lokasi penambangan batu andesit menjadi milik warga dari dua desa, yakni Desa Wadas dan Desa Cacaban Kidul. Dwi melanjutkan, sosialisasi terhadap warga Desa Cacaban Kidul sudah dilakukan dengan dihadiri 81 orang. Setiap warga memiliki tanah sebanyak dua hingga tiga bidang.
Dinilai bermasalah
Meski demikian, dihubungi terpisah, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Yogi Zul Fadhli mengemukakan, salah kaprah jika penambangan quarry digabungkan dalam SK penetapan lokasi pembangunan Bendungan Bener. Seharusnya, aktivitas penambangan dibedakan dengan pembangunan bendungan. Dengan begitu, ada sejumlah tahapan khusus yang mesti ditempuh.
”Ada dua rezim hukum berbeda, yakni pertambangan dan pengadaan tanah. Ini tidak bisa disatukan. Aktivitas pertambangan mestinya tunduk pada Undang-Undang Pertambangan. Harus ada izin usaha pertambangan, Amdal, dan sebagainya, yang mesti ditempuh oleh penambang. Jadi, menurut kami penetapan lokasinya tidak sesuai,” kata Yogi.
Ia menambahkan, warga Desa Wadas menolak tambang, antara lain akibat ancaman rusaknya sumber mata air di Wadas yang berpotensi memicu bencana. Menurut data, LBH Yogyakarta, dari 450 kepala keluarga di Desa Wadas, 307 di antaranya menolak penambangan. ”Dalam audiensi terakhir BBWS Serayu Opak, kami tak mendapat jawaban memuaskan,” lanjutnya.
Terkait kemungkinan mengambil langkah hukum akan hal itu, menurut Yogi, pihaknya akan mendiskusikan dulu dengan warga Wadas. Saat ini, pihaknya berkonsentrasi mengenai sejumlah langkah yang akan diambil pascabentrokan, Jumat lalu.
Sementara itu, di Semarang, Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman Jateng, Arief Djatmiko, Selasa, menuturkan, penetapan lokasi pengadaan tanah untuk pembangunan Bendungan Bener sudah sesuai prosedur. Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah (DPPT) yang disusun BBWS Serayu Opak sudah sesuai dan tidak ada masalah.
Dari dokumen tersebut, pihaknya pun mengkaji dan mengecek betul, hingga pada satu tahap tertentu, dinyatakan sudah memenuhi, hingga akhirnya keluar SK yang ditandantangani Gubernur Jateng. Adapun SK Gubernur Jateng Nomor 590/41 Tahun 2018 berlaku hingga 2020, yang kemudian diperpanjang menjadi SK Nomor 539/29 Tahun 2020 dan berlaku setahun.
Terkait lokasi quarry, lanjut Arief, memang berada pada satu kesatuan penetapan lokasi Pembangunan Bener, seluas lebih kurang 592,08 hektar. ”Proses di dalam kegiatan itu jadi satu kesatuan. Jadi, tidak mungkin dipisah satu-satu. Penambangan yang dimaksud sebenarnya cut and fill (gali dan uruk),” lanjutnya.
Ia menambahkan, permasalahan lebih pada perbedaan pemahaman di kalangan masyarakat. Menurut Arief, sebagai proyek strategis nasional (PSN), Bendungan Bener diyakini akan memberi dampak pada kesejahteraan masyarakat, termasuk irigasi. Namun, diakuinya, tak dimungkiri akan ada masyarakat terdampak. Sejumlah upaya dilakukan untuk mengurangi dampak itu.
Sebelumnya, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo menuturkan, sosialisasi akan kembali dilakukan kepada masyarakat. Ia pun berpesan jangan sampai ada lagi bentrokan dan kekerasan. Masyarakat perlu terus diajak berdialog.
”(Perlu) Dijelaskan secara terbuka seperti apa programnya. Kan, warga ada yang setuju juga. Namun, yang tidak setuju barangkali punya argumen sendiri. Karena itu, baik untuk dijelaskan karena, intinya, masyarakat Purworejo itu sejak awal butuh waduk. Petaninya butuh. Ini masa depan pertanian juga. Namun, memang pasti ada pengorbanan,” kata Ganjar, Senin (26/4).