Lawan Petaka Pernikahan Anak dari Beranda Rumah hingga Pengadilan Agama
Pernikahan dini sangat rentan berujung petaka. Sulit menemukan ada orang yang benar-benar bahagia setelah menjadi bagian dari praktik ini.
Terik siang pada bulan puasa menemani 20 perempuan RW 013, Desa Cipaku, Paseh, Kabupaten Bandung, berdiskusi, Sabtu (17/4/2021). Sadar pandemi Covid-19 masih ada, ada masker menutupi hidung dan mulutnya. Duduk lesehan di beranda rumah ketua RW setempat, tema yang dibahas dalam pertemuan kali ini adalah pernikahan dini.
Pertemuan ini adalah yang kesekian kalinya digelar Bale Istri, kelompok pendampingan perempuan dari Yayasan Sapa. Yayasan Sapa adalah lembaga swadaya masyarakat yang fokus terhadap beragam persoalan perempuan, seperti kekerasan dan kesehatan, di Kabupaten Bandung.
Siang itu, Koordinator Pendampingan Kasus Yayasan Sapa Sugih Hartini kembali tampil di muka. Dia bicara banyak hal tentang risiko pernikahan dini, mulai dari kesehatan, kesiapan ibu muda, hingga masa depan anak yang terancam suram. Tidak ada pilihan paling baik, kata dia, selain menunda menikah dini demi kebaikan bersama.
Sugih menyatakan, pendampingan penting terus dilakukan karena banyak perempuan di Cipaku hingga kini masih terlilit pernikahan dini. Dia mencontohkan, dari 20 ibu peserta diskusi, lebih dari setengahnya menikah di rentang usia 15-16 tahun. Penyebab terbesar, minimnya akses pendidikan bagi mereka.
Salah satunya adalah Annah (51), warga Cipaku. Pernikahan dini merenggut masa mudanya saat masih berumur 15 tahun. Setahun kemudian, Annah mengalami persalinan pertamanya. Meski anak lahir secara normal dan sehat, dia merasakan kesakitan luar biasa. Annah harus dirawat di rumah sakit selama seminggu.
Baca juga: Di Balik Urgensi Pendidikan Seksualitas
Berkaca dari pengalaman Annah, Sugih memaparkan, perkawinan punya segudang dampak. Tidak hanya dari segi kesehatan, kesulitan dalam administrasi kependudukan hingga potensi perceraian juga jelas merugikan.
Kekerasan juga rentan terjadi. Data Yayasan Sapa selama tahun 2020, terdapat 100 aduan kekerasan terhadap anak dan perempuan. Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan Pekerja Migran Indonesia (PMI) menjadi yang terbanyak dengan jumlah pelapor masing-masing kasus 45 orang.
Kebanyakan kasus ini muncul saat tidak ada perhatian dari lingkungan, seperti orangtua. Peran orangtua penting mengawasi dan memastikan anak bebas dari kekerasan. Saat mereka ke luar negeri, pengawasan ini menjadi longgar dan anak rentan menjadi korban pernikahan dini yang menyesakkan.
”Kebanyakan kasus ini muncul saat tidak ada perhatian dari lingkungan, seperti orangtua. Peran orangtua penting mengawasi dan memastikan anak bebas dari kekerasan. Saat mereka ke luar negeri, pengawasan ini menjadi longgar dan anak rentan jadi korban pernikahan dini yang menyesakkan,” ujar Sugih.
Mantan pekerja migran asal Karawang, Carminah (50), mengalami dilema itu. Tahun 2007, dia nekat pergi bekerja ke Arab Saudi dan Oman. Pemasukan rumah tangganya berantakan. Suaminya yang bekerja serabutan tengah sakit batuk berdarah. Untuk makan saja susah, apalagi membiayai sekolah anak-anaknya. Saat itu, dia dibayar Rp 3,5 juta per bulan.
Akan tetapi, dia tidak lama kerja di negeri orang. Tahun 2010, dia kembali ke Tanah Air. Dia cemas anak-anaknya kehilangan kasih sayang ibunya. Namun, saat kembali ke rumah, keadaan masih tidak bersahabat. Demi Rp 1 juta per bulan, ia harus bekerja pada pukul 07.00-17.00.
Dengan pola kerja seperti itu, perhatian kepada anak-anaknya pun tetap tidak maksimal. Puncaknya saat anak keduanya putus sekolah dan minta menikah meski usianya masih 15 tahun tahun 2016. Kini, dia sudah memiliki anak berumur 4 tahun.
”Saya masih ada anak perempuan, sekarang sedang SMP. Harapannya, bisa lulus SMK supaya bisa sukses. Jangan sampai menikah dini seperti kakaknya,” katanya.
Ketua Pelaksana Harian Yayasan Salman Karawang, organisasi yang melayani beragam bidang kemanusiaan Wiharti Ade Permana, mengatakan, praktik perkawinan anak sejalan dengan maraknya minat warga menjadi pekerja migran. Tidak sedikit pekerja migran adalah korban perkawinan anak atau anak perempuan dari pekerja migran yang nikah muda.
Menurut Wiharti, ada beberapa faktor yang menyebabkan perkawinan anak terjadi, yakni budaya, sosial, dan ekonomi. Pola pikir masyarakat terhadap konsep menikah harus diluruskan. Semestinya, masyarakat berpegang pada prinsip menikah ketika semua siap.
Baca juga: Tumbuh Kembang Anak Rentan Terganggu
Ia mencontohkan, kasus KDRT yang berpotensi muncul karena faktor ekonomi yang belum matang. Penelantaran ekonomi karena ketergantungan pada salah satu pasangan dan kesulitan memenuhi kebutuhan keluarga memicu permasalahan kian panjang.
Apabila terjadi KDRT atau terdesaknya kebutuhan, korban atau salah satunya, terutama perempuan, akan mencari peluang lain untuk keluar dari masalah. Tak sedikit warga yang tertarik dengan iming-iming gaji besar untuk bekerja di luar negeri.
Anak-anak pekerja migran yang ditinggal bekerja oleh salah satu orangtuanya rentan mendapatkan pengasuhan kurang baik, putus sekolah, dan terlibat pergaulan bebas. Kurangnya pengawasan dan perhatian juga bisa mengantar mereka pada perkawinan anak. Ujung-ujungnya, hanya ada duka di balik itu semua.
Akan tetapi, minim informasi sponsor atau agen rentan mengantar mereka pada langkah yang salah. Alih-alih dapat duit, mereka justru tertimpa masalah lain, seperti upah tidak dibayar dan disiksa majikan.
Anak-anak pekerja migran yang ditinggal bekerja oleh salah satu orangtuanya rentan mendapatkan pengasuhan kurang baik, putus sekolah, dan terlibat pergaulan bebas. Kurangnya pengawasan dan perhatian juga bisa mengantar mereka pada perkawinan anak. Ujung-ujungnya, hanya ada duka di balik itu semua.
Semakin cepat
Tidak hanya di pelosok kampung, mitigasi juga dilakukan di antara dinding tebal pengadilan agama. Salah satunya terjadi di Indramayu. Namun, bukan perkara mudah memuluskan keinginan baik itu.
Jumat (17/4/2021) siang, Pengadilan Agama Indramayu ramai. Hampir seluruh kursi diduduki pasangan muda beserta keluarga dan kerabatnya. Beberapa pasangan sudah berpakaian seragam bak suami istri.
Mereka sedang mengurus dispensasi nikah karena berusia di bawah 19 tahun. R dan N, misalnya, masih berumur 18 tahun. Keduanya duduk berdampingan dan sesekali begenggaman tangan.
Ketika gilirannya menjalani sidang, hakim Engkung Kurniati Imron bertanya kepada R, ”Ngerti enggak sih jadi kepala keluarga? Apa yang harus dikerjakan?” R menjawab, dirinya harus menafkahi istri dan anaknya. R sama sekali belum punya cita-cita anaknya akan sekolah di mana.
Kurniati lalu mengalihkan pertanyaan kepada N. ”Kamu enggak mau cari suami yang seperti camat? Pakai sepatu bagus kalau kerja?” katanya. ”Enggak, saya maunya ini saja,” ucap N yang sudah hamil tiga bulan, hasil hubungannya dengan R.
Petikan percakapan itu diceritakan Kurniati kepada Kompas setelah memimpin sidang dispensasi. Menangani sidang anak, ia tidak mengenakan jubah hakim. Candaan pun terselip dalam sidang agar anak tidak merasa tegang.
Keluarga yang datang dari Kecamatan Gabuswetan, sekitar 40 kilometer dari kantor pengadilan, merasa lega permohonan dispensasi nikah R dan N dikabulkan. ”Dia (N) udah gitu (hamil), jadi langsung dinikahin aja,” kata Sri Suryati (33), kakak R.
Sri mewakili orangtua R dalam sidang. Ibunya sudah berpulang beberapa tahun lalu, sedangkan ayahnya stroke dan tidak bisa ke mana-mana. Setidaknya begitu yang tertulis dalam surat keterangan sakit ayahnya.
Setelah menikah, R ingin fokus bekerja di toko dan menafkahi istri dan calon bayinya. ”Gaji saya bisa Rp 2,5 juta per bulan (di atas upah minimum Indramayu, Rp 2,37 juta), sudah mampu untuk nikah,” katanya.
Baca juga: Rasminah, Endang Wasrinah, dan Maryanti Memerangi Perkawinan Anak
R dan N sudah putus sekolah sejak dua tahun lalu dengan ijazah terakhir SMP. Saat ditanya keinginan untuk sekolah lagi, keduanya menunduk dan menggelengkan kepala. N memilih jadi ibu rumah tangga dan mengurus janinnya.
Permohonan R dan N hanya satu dari 17 pengajuan dispensasi nikah yang disidangkan hari itu. Sejumlah pengajuan ditunda karena tidak memenuhi syarat, seperti tidak ada orangtua/wali anak atau tidak bisa membuktikan alasan orangtua mereka tidak hadir karena sakit.
Sejumlah pasangan remaja didampingi seorang aparat desa untuk menyiapkan jawaban ketika ditanya hakim, semacam briefing. ”Kalau ditanya penghasilan, aja omong slawe (jangan bilang Rp 25.000). Nanti, enggak dikasih nikah,” kata seseorang kepada pasangan yang bakal masuk sidang.
Kurniati mengatakan tidak bisa menolak pengajuan perkara. Namun, pihaknya berupaya meyakinkan kedua calon pengantin agar siap menempuh bahtera pernikahan. ”Ada yang usia 15 tahun nangis-nangis di sidang supaya permohonannya dikabulkan. Alasannya, mereka mau ketemu terus dan tidak sekolah lagi,” katanya.
Ada juga yang sudah hamil duluan, seperti N dan R, sehingga keluarga mendesak agar dinikahkan. Jika tidak, keluarga harus menanggung malu. Padahal, tidak sedikit dari calon pengantin itu belum siap secara ekonomi dan mental.
Dalam catatan PA Indramayu, perkara dispensasi kawin melonjak dari sebelumnya 251 kasus pada 2019 menjadi 753 kasus tahun lalu. Artinya, rata-rata dua anak menikah di Indramayu setiap hari selama 2020. Data ini belum termasuk anak yang menikah siri.
Kurniati menilai lonjakan perkara dispensasi kawin terjadi seiring perubahan regulasi usia pernikahan minimal 16 tahun pada perempuan menjadi 19 tahun sesuai dengan laki-laki. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No 1/1974 tentang Perkawinan mengatur bahwa usia perkawinan minimal 19 tahun.
Gadget untuk sekolah daring dipakai main (pacaran) dengan temannya. Terus berhenti sekolah dan kawin.
Selain itu, pandemi Covid-19 juga memicu pernikahan anak. ”Gadget untuk sekolah daring dipakai main (pacaran) dengan temannya. Terus berhenti sekolah dan kawin,” ucapnya.
Di zaman yang bekembang cepat seperti saat ini, Direktur Eksekutif Yayasan Sapa Sri Mulyati mengatakan, tantangan yang ada semakin beragam. Di tengah masalah lama belum terselesaikan seperti minimnya pendidikan seks dan sistem reproduksi, pengaruh informasi yang kian cepat membuat orangtua butuh banyak strategi mendampingi anak-anaknya.
Hal itu, kata Sri, hanya bisa diraih bila diskusi hingga pendampingan terus dilakukan terus menerus. Tidak hanya yang terjadi di masa lalu atau kini tapi juga potensi di kemudian hari.
Selain itu, dukungan pemerintah untuk menekan beragam kasus kekerasan dan diskriminasi pada perempuan sangat dinantikan untuk memuluskan misi mulia ini. Apabila kembali alpa, kata dia, akibatnya akan selalu sama.
Sri mengatakan, menikah muda membuat warga Indonesia kehilangan akses pendidikan, minim kesempatan bekerja, dan ancaman kematian saat melahirkan. Semuanya jelas bukan yang diharapkan dari wajah bangsa ini kelak.
Baca juga: Kartini dan Momentum Perkuat Gerakan Pencegahan Perkawinan Anak