Perkawinan anak meningkatnya potensi gangguan tumbuh kembang pada anak yang dilahirkan,. Hal itu sekaligus menempatkan anak yang dipaksa menjadi orangtua dalam berbagai persoalan hidup terus-menerus.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meningkatnya perkawinan anak selama pandemi perlu segera diantisipasi. Perkawinan anak bukan hanya berdampak pada meningkatnya potensi gangguan tumbuh kembang pada anak yang dilahirkan, melainkan juga menempatkan anak yang dipaksa menjadi orangtua dalam berbagai persoalan hidup terus-menerus.
”Perkawinan anak berdampak besar bagi anak ataupun orangtua yang masih berumur anak,” kata psikolog anak dan keluarga di Klinik Terpadu Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Anna Surti Ariani di Jakarta, Senin (19/4/2021).
Sejak dalam kandungan, anak buah dari perkawinan anak rentan mengalami kekurangan gizi akibat asupan sang ibu harus dibagi antara ibu yang juga membutuhkan gizi besar untuk pertumbuhannya menjadi manusia dewasa dan sang janin. Situasi itu membuat pertumbuhan janin terhambat hingga saat lahir berpeluang lahir dengan berat badan rendah, tengkes, kecerdasan tidak optimal, dan pertumbuhan fisik yang terganggu.
Proses persalinan juga akan sangat berisiko, baik bagi bayi maupun sang ibu. Usia ibu yang belum cukup membuat organ reproduksi ibu belum berkembang optimal hingga meningkatkan risiko mengalami berbagai masalah persalinan hingga mengancam nyawa ibu dan bayi.
Setelah lahir, proses tumbuh kembang anak juga berisiko terganggu karena ibu dan ayahnya tidak memiliki keterampilan yang cukup untuk bertindak sebagai orangtua. ”Gizi, stimulus, hingga kebutuhan emosional anak rentan tidak tercukupi hingga perkembangan psikologis dan kecerdasan anak menjadi tidak optimal,” katanya.
”Dampak dari kehamilan pada usia dini ini bisa sampai ke cucunya. Sebab, anak berusia 15 tahun masih belum dewasa sehingga kualitas sel telurnya masih jelek. Artinya, anak yang nanti dilahirkan kurang berkualitas dan ini akan berlanjut sampai generasi berikutnya yang akan menjadi cucunya kelak. Dampaknya sangat panjang,” ujar Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo, Senin (19/4/2021).
Anak hasil perkawinan anak umumnya dirawat nenek dan kakeknya. Situasi itu membuat kelekatan (attachment) anak dengan orangtua tidak terbentuk utuh. Menurut Anna, kondisi itu bisa melahirkan insecure attachment yang berdampak panjang bagi pertumbuhan mereka hingga dewasa. Anak menjadi kurang percaya dengan lingkungannya, menjadi orang yang selalu curiga dengan sekitarnya, hingga kesulitan menjalin relasi dengan orang lain.
”Ketidakpercayaan anak pada lingkungan sekitarnya akan membuat anak sulit mengembangkan kepercayaan pada dirinya,” tambahnya.
Fase perkembangan
Sementara itu, dampak perkawinan anak pada anak yang dipaksa menjadi orangtua tidak kalah rumit. Sesuai usianya, mereka harusnya dalam fase perkembangan seorang remaja yang membutuhkan banyak pergaulan dengan teman sebayanya. Namun upaya itu sulit dilakukan karena mereka sudah terlanjur menjadi orangtua tanpa mereka siap menjadi orangtua.
Sebagai orangtua berusia remaja, kondisi psikologis mereka masih sangat labil. Akibatnya, mereka rentan melakukan kekerasan emosional pada anak mereka. Belum cukupnya wawasan sebagai orangtua membuat cara mereka menyelesaikan masalah kehidupan juga belum matang sehingga putusan yang diambil justru berisiko menimbulkan masalah baru bagi diri ataupun keluarganya.
”Orangtua berusia anak juga belum memiliki emosi yang matang sehingga lebih mudah mengalami stres, cemas, depresi, panik, dan berbagai gangguan psikologi lain yang berdampak panjang bagi kehidupan mereka,” kata Anna.
Ketidakpercayaan anak pada lingkungan sekitarnya akan membuat anak sulit mengembangkan kepercayaan pada dirinya.
Selain itu, lingkungan sosial orangtua berusia anak dipastikan akan lebih terbatas. Mereka sulit bergaul dengan ibu-ibu karena merasa masih anak-anak. Namun, mereka juga sulit bergaul dengan teman sebayanya yang masih kuliah atau bermain karena mereka sudah menjadi orangtua yang memiliki tanggung jawab berbeda.
”Kesulitan orangtua berusia anak bergaul membuat sistem dukungan sosial yang dimiliki menjadi terbatas hingga sulit mendapat pertolongan dari orang lain saat menghadapi masalah. Akibatnya, tekanan hidup yang akan mereka rasakan jadi lebih besar,” katanya.
Besarnya dampak perkawinan anak bagi anak yang dihasilkan ataupun orangtua berusia anak membuat Anna yang juga Ketua Ikatan Psikolog Klinis Indonesia Wilayah DKI Jakarta mendesak pemerintah lebih tegas dalam mengatur perkawinan anak. Dispensasi nikah perlu dibatasi, salah satunya dengan menerapkan denda bagi mereka yang mengajukan dispensasi nikah.
Selain itu, komunitas atau lingkungan remaja perlu diberdayakan hingga mampu menampung dan mewadahi remaja dengan berbagai kegiatan yag positif. Berbagai aktivitas positif itu bisa membantu mengubah pola pikir remaja hingga mereka tidak lagi menganggap perkawinan sebagai satu-satunya solusi atas persoalan kehidupan yang dihadapi remaja.
”Biarkan anak memiliki cita-cita setinggi-tingginya terlebih dahulu, mengenal luasnya peragulan dan dunia, serta berkenalan dengan berbagai lingkungan hingga mereka tidak buru-buru menikah,” katanya.
Baca juga: Seandainya Waktu Bisa Diputar Ulang...
Kelompok orangtua juga perlu diberdayakan hingga mereka mampu membangun rumah tangga yang lebih baik bagi tumbuh kembang anak remaja mereka. Banyak anak remaja menjadikan perkawinan sebagai sarana keluar dari rumah orangtua yang dianggap tidak nyaman. Berjalannya fungsi keluarga dengan baik bisa turut menekan jumlah perkawinan anak yang meningkat akibat pandemi.