Meskipun dilarang, sejumlah warga diprediksi tetap ”ngotot” untuk mudik. Kondisi ini berpotensi memicu munculnya angkutan gelap. Agar kebijakan larangan mudik adil, Organda Jabar meminta angkutan gelap ditindak tegas.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Kebijakan larangan mudik pada 6-17 Mei 2021 berpotensi memicu munculnya angkutan gelap. Organisasi Angkutan Darat (Organda) Jawa Barat meminta pemerintah dan kepolisian berlaku adil dengan menindak tegas angkutan gelap tersebut.
Meskipun mudik dilarang, Ketua Dewan Pimpinan Daerah Organda Jabar Dida Suprinda memprediksi sejumlah warga tetap pulang ke kampung halaman karena sudah menjadi tradisi tahunan. Kondisi ini berpeluang dimanfaatkan oleh angkutan gelap karena angkutan umum dilarang beroperasi.
Agar tidak menimbulkan kecemburuan bagi pengusaha dan pekerja angkutan umum, pemerintah dan kepolisian diminta menindak tegas angkutan gelap yang beroperasi di masa larangan mudik Lebaran 2021. ”Kalau mau menerapkan aturan, harus diterapkan untuk semuanya,” ujarnya di Bandung, Minggu (18/4/2021).
Dida meyakini, kepolisian bersama Dinas Perhubungan akan melakukan penyekatan untuk mengantisipasi mobilitas pemudik. Hal ini bertujuan menekan potensi penularan Covid-19.
Akan tetapi, menurut dia, upaya penyekatan masih bisa diakali oleh pengemudi angkutan gelap. ”Segala cara akan ditempuh. Mereka bisa memanfaatkan jalur-jalur tikus. Selain itu, juga beroperasi di waktu tertentu saat petugas lengah, seperti menjelang subuh,” ucapnya.
Berkaca dari masa mudik tahun lalu, pengemudi angkutan gelap memanfaatkan kebijakan larangan mudik dengan mengantarkan penumpang menggunakan kendaraan pribadi. Biasanya, pengemudi menunggu di sekitar terminal atau di perbatasan daerah yang luput dari pengawasan petugas.
Menurut Dida, salah satu jalur yang rentan diterobos oleh pengemudi angkutan gelap berada di selatan Jabar. Di kawasan tersebut, banyak jalur tikus melalui perkampungan untuk menghindari posko penyekatan. ”Kalau dari sekitar Bandung, kebanyakan mudik ke Jawa Tengah. Akses yang paling memungkinkan melalui Kabupaten Ciamis dan sekitarnya,” ujarnya.
Kekhawatiran Dida tentang beroperasinya angkutan gelap di masa mudik sangat beralasan. Survei Kementerian Perhubungan mengindikasikan animo masyarakat untuk mudik cukup tinggi. Sebanyak 33 persen warga, yakni 81 juta warga, akan mudik Lebaran jika tak ada larangan dari pemerintah. Sementara jika pemerintah melarang mudik, 11 persen atau 27 juta warga ingin tetap mudik (Kompas, 8/4/2021).
Berdasarkan survei itu, Jabar menjadi tujuan mudik terbanyak kedua sebesar 23 persen. Jumlah itu masih di bawah Jateng sebesar 37 persen. Sementara Jawa Timur menjadi tujuan mudik terbanyak ketiga sebesar 14 persen.
Organda Jabar juga meminta Pemerintah Provinsi Jabar tidak melarang angkutan kota dalam provinsi (AKDP) selama masa mudik. Kebijakan itu dikhawatirkan akan memperlambat roda ekonomi daerah.
”Hal ini menyangkut kepentingan dan aktivitas warga sehari-hari. Jadi, di masa mudik atau tidak, warga tetap bepergian karena sudah rutinitasnya,” ujar Dida.
Dalam kebijakan larangan mudik, dua kawasan di Jabar, yakni Bandung Raya dan Bogor, Depok, Bekasi atau Bodebek (bersama DKI Jakarta), masuk dalam aglomerasi sehingga diperbolehkan bepergian dalam satu kawasan. Dida berharap kebijakan ini dapat diterapkan di seluruh Jabar.
Sebelumnya, Kepala Kepolisian Daerah Jabar Inspektur Jenderal Ahmad Dofiri mengatakan, dari 330 titik penyekatan kendaraan pada masa larangan mudik, 120 titik berada di wilayah Polda Jabar. Sejumlah 11 titik berada di perbatasan dengan DKI Jakarta dan Jawa Tengah.
Dofiri menyebutkan, pihaknya menggelar Operasi Keselamatan Lodaya pada 12-25 April 2021. Salah satu targetnya adalah menggencarkan sosialisasi larangan mudik.
”Kami berharap masyarakat dengan kesadaran sendiri tidak mudik. Kalau tetap memaksa, (pemudik) akan dikembalikan. Sayang, kan, sudah jauh-jauh jalan, tetapi dipulangkan (dikembalikan) lagi,” ujarnya.