”Debris Flow” di Adonara Berpotensi Terulang, Relokasi Permukiman Tak Boleh Ditawar
Bencana ”debris flow” di Desa Nelelamadike, Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, berpotensi terulang sehingga opsi relokasi bagi penduduk setempat tak boleh ditawar lagi.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
LARANTUKA, KOMPAS — Badan Nasional Penanggulangan Bencana telah mengumpulkan sejumlah fakta lapangan terkait bencana di Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Bencana yang terjadi pada 4 April lalu yang menewaskan lebih dari 70 orang di pulau itu tergolong dalam dua jenis, yakni banjir bandang dan debris flow. Opsi relokasi yang ditawarkan pemerintah tak boleh ditawar lagi.
Pelaksana Tugas Direktur Pemetaan dan Evaluasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana Abdul Muhari lewat pesan singkat pada Sabtu (17/4/2021) menuturkan, banjir bandang terjadi di sejumlah lokasi. Wilayah dengan dampak terparah banjir bandang adalah Kelurahan Waiwerang dan Desa Waiburak di Kecamatan Adonara Timur dan Desa Oyangbarang di Kecamatan Wotan Ulumado.
Sementara bencana berikutnya dinamakan debris flow, yakni aliran material vulkanis berupa sebaran batuan lava di lereng gunung. Ini terjadi di Desa Nelelamadike yang berada di punggung Gunung Ile Boleng. Lokasi tersebut merupakan yang terparah dengan korban terbanyak, yakni 55 orang meninggal dan satu orang masih hilang.
”Di kawasan bukit batu atau gunung dengan lereng yang sagat curam memiliki banyak sebaran batuan lava yang tidak saling terikat kuat satu dengan yang lain. Material bawaan dari debris flow adalah batu dengan karakter luncuran sangat kencang karena massa batu dan tingkat kecuraman,” kata Muhari.
Menurut dia, alur debris flow yang kini sudah terbentuk akan membuka jalan terulangnya kembali kejadian itu pada masa yang akan datang jika terjadi curah hujan tinggi. Ia menegaskan, bencana semacam itu pasti akan terulang sehingga diperlukan solusi permanen, yakni relokasi permukiman.
Di kawasan bukit batu atau gunung dengan lereng yang sagat curam memiliki banyak sebaran batuan lava yang tidak saling terikat kuat satu dengan yang lain. (Muhari)
Ia menyatakan, hal itu tidak bisa ditawar lagi. Pada saat mengunjungi lokasi bencana Nelelamadike pada 9 April lalu, Presiden Joko Widodo meminta agar warga di desa itu segera direlokasi. Desa berpenduduk 1.246 jiwa yang terdiri atas 366 keluarga. Presiden memerintahkan gubernur dan bupati mencari lahan relokasi.
Sementara itu, Kepala Desa Nelelamadika Pius Pedang mengatakan, relokasi tidak bisa ditawar. Sejauh ini belum ada perincian, lokasi mana saja di desa itu yang harus direlokasi mengingat masih banyak rumah yang tidak terdampak dan berada jauh dari jalur debris flow. Mereka masih menunggu penjelasan dari pemerintah.
Masih terisolasi
Dua pekan sejak bencana banjir bandang dan longsor menerjang, wilayah Kecamatan Adonara Tengah masih terisolasi. Akses masuk ke sana masih terkendala timbunan longsor berupa batu, lumpur, dan kayu yang masih menutup badan jalan.
Thomas Arakian, guru yang bertugas di Kecamatan Adonara Tengah, menuturkan, akses menuju Adonara Tengah tertutup timbunan longsor di dua lokasi, yakni di Waiwerang, Kecamatan Adonara Timur, dan Waitukan, Kecamatan Adonara Barat. Hanya sepeda motor yang bisa melewati jalur itu.
Di Adonara Tengah terdapat 12 desa dengan jumlah penduduk hampir 10.000 jiwa. Untuk sementara, pengiriman bahan makanan ke sana masih menggunakan moda transportasi berganti tergantung kondisi jalan. Mereka menggunakan mobil, dilanjutkan dengan sepeda motor, kemudian jalan kaki.
Akibat keterisolasian itu, harga barang kebutuhan di sana pun meningkat. Contohnya, satu bungkus mi instan yang biasanya Rp 3.500 naik menjadi Rp 5.000. Sementara 1 liter premium naik hingga Rp 15.000, padahal harga di tingkat agen hanya Rp 6.450.
Thomas mengatakan, lantaran tak ada korban jiwa, wilayah itu tidak menjadi prioritas dalam penanganan bencana. Padahal, selain keterisolasian, banyak rumah penduduk serta lahan tanaman komoditas hancur akibat banjir bandang dan longsor.