Menganiaya Hingga Ancam Bunuh Terperiksa Agar Mengaku, Polisi di Buton Dilaporkan
Diduga melakukan pemukulan, menodongkan senjata laras panjang, hingga mengancam membunuh ke sejumlah terlapor kasus pencurian, dua orang aparat kepolisian di Polsek Sampoabalo, Buton dilaporkan ke Propam Polda Sultra.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·5 menit baca
KENDARI, KOMPAS - Dua orang aparat kepolisian di Polsek Sampoabalo, Buton, dilaporkan ke Propam Polda Sulawesi Tenggara. Polisi ini dilapor setelah melakukan pemukulan, menodongkan senjata laras panjang, hingga mengancam membunuh ke sejumlah terlapor kasus pencurian. Tiga dari empat orang terdakwa kasus ini masih di bawah umur.
Dua orang polisi yang telah dilaporkan ke Propam Polda Sultra adalah Inspektur Dua La Abudu dan Brigadir Satu Idarvi Sulastion. Ipda La Abudu menjabat sebagai Kapolsek Sampoabalo, sementara Briptu Idarvi adalah penyidik di polsek yang sama.
“Kemarin sore kami laporkan keduanya di Propam Polda Sultra atas tindakan para aparat ini yang semena-mena dan melanggengkan unsur kekerasan. Kekerasan ini hanya satu bagian dari rancunya proses hukum yang kami tangani dari kasus pencurian yang melibatkan klien kami,” kata La Ode Abdul Fariz, kuasa hukum tiga orang terdakwa kasus pencurian di Kendari, Sultra, Sabtu (17/4/2021).
Para terdakwa dalam kasus ini adalah RN (14), AG (12), AR (15), dan MS (22). Keempatnya, berdasarkan laporan kepolisian, merupakan tersangka kasus pencurian uang sebesar Rp 100 juta, dua buah laptop, dan dua buah telepon genggam, dengan total kerugian sekitar Rp 125 juta.
Kasus ini telah disidangkan untuk tiga orang yang masih di bawah umur pada sidang tahap pertama beberapa waktu lalu. RN dan AG divonis lima bulan pesantren, sementara AR dikembalikan ke orang tua. Sidang terhadap MS diagendakan akhir April mendatang.
Oleh karena itu, kami ke Polda Sultra untuk melaporkan dugaan kuat tindakan kekerasan aparat dalam pemeriksaan para klien kami (La Ode Abdul Fariz)
Berdasar pengakuan para terlapor, sambung Fariz, mereka mendapatkan tindakan kekerasan, baik verbal dan psikis, untuk mengakui tindakan pencurian yang disangkakan. Sejumlah anggota polsek memukul, menampar, mengancam dengan senjata kepada para terdakwa, yang saat itu masih berstatus terperiksa. Sejumlah terperiksa ini juga mengaku diancam dibunuh dengan parang saat dibawa keluar dari kantor Polsek Sampoabalo di malam hari, untuk mengakui pencurian tersebut.
“Oleh karena itu, kami ke Polda Sultra untuk melaporkan dugaan kuat tindakan kekerasan aparat dalam pemeriksaan para klien kami. Bahkan ada saksi yang juga dipukuli di depan orang tuanya dan mereka sudah bersaksi di pengadilan. Para terdakwa ini juga memiliki alibi yang kuat jika berada di tempat lain saat kasus pencurian tersebut terjadi,” tambahnya.
Banyak kerancuan
Menurut Fariz, kasus ini sesuatu yang dipaksakan karena begitu banyak kerancuan di dalamnya. Sejak dijemput mereka tidak menunjukkan surat penangkapan. Juga, bagaimana pemeriksaan dilakukan tanpa ada pendampingan. Pihaknya berharap ada tindakan tegas dari institusi kepolisian terhadap anggota yang bertindak di luar aturan hukum, terlebih mereka adalah penegak hukum.
Kasus ini bermula adanya laporan kehilangan di rumah seorang warga pada Kamis (24/12/2020) lalu, di Desa Kuraa, sekitar tiga kilometer dari tempat tinggal para terlapor. Meski tidak ada saksi yang melihat saat proses pencurian tersebut, pada Sabtu (2/1/2021) AG yang sedang nongkrong tiba-tiba dijemput dan dibawa ke Polsek Sampoabalo.
Di situ ia ditanya terkait kasus pencurian hingga ia dan para terdakwa lainnya mendapat tindak kekerasan dari aparat. Meski tidak ada surat penangkapan, para warga Desa Manuru, Siotapina, Buton ini mendapat pukulan dan tindak kekerasan.
“Saya ditampar empat kali di kanan dan kiri. Saya bilang bukan saya pelakunya, lalu dipukul lagi di perut dua kali. Saya tidak mau ikuti keinginannya, karena saya bukan pelakunya, sampai saya dilempar asbak di bibir sampai berdarah,” terang AG.
Merasa tidak pernah melakukan sesuai sangkaan, AG bersikeras untuk tidak mengakui pencuriaan yang disangkakan. Hingga pada suatu malam ia dibawa oleh aparat ke jalan tani yang sepi. Di situ, AG diancam dibunuh dengan parang yang menempel di leher.
“Polisi yang bawa saya telepon Pak Kapolsek, dia bilang ini kalau tidak mengaku saya akan dibunuh. Dari seberang, Pak Kapolsek bilang, iya bunuh saja. Saya ketakutan dan mohon untuk dipulangkan. Dari situ saya terpaksa mengarang cerita pencurian, dan mengiyakan semua tuduhan polisi,” ucap bungsu 12 bersaudara ini.
RM, terdakwa lainnya, menceritakan, ia ditangkap di malam yang sama dengan AG, yang juga adik bungsunya. Di kantor polisi tersebut, ia dipukuli, ditendangi hingga merintih kesakitan. Tidak hanya itu, seorang aparat mengambil parang dan mengancam akan memotong jari tangannya jika tidak mengaku.
“Bagaimana mau mengaku kalau saya tidak mencuri. Di 24 Desember 2020 itu saya ada di Desa Bahari Makmur karena bantu keluarga bangun rumah. Saya baru pulang tanggal 29 Desember 2020 ke kampung,” ucapnya.
Namun, karena tidak tahan dengan siksaan, ia akhirnya menuruti semua ucapan dan arahan aparat. Tidak hanya di kantor polisi, saat sidangpun ia mendapat pukulan dari oknum pegawai Kejari Buton, karena tidak menuruti arahan untuk mengakui pencurian tersebut.
Nursia (44), ibu dari tersangka MS menyampaikan, anaknya mengaku dipukuli, ditelanjangi, sampai kakinya diinjak dengan kursi. Hal itu karena anaknya tidak mengakui pencurian yang dituduhkan.
“Bagaimana mencuri kalau malam itu anak saya di rumah main gim. Sekarang dia dititip di Lapas Baubau, dan tetap menyangkal tuduhan pencurian. Saya cuma berharap bebas, dan polisi yang menyiksa anak saya dihukum seberat-beratnya,” katanya.
Dihubungi terpisah, Kepala Bidang Humas Polda Sultra Ajun Komisaris Besar Ferry Walintukan menyampaikan, pihaknya telah mengetahui adanya informasi dugaan kekerasan oleh aparat dalam pemeriksaan. Hal ini bahkan telah menjadi perhatian khusus untuk dilakukan pemeriksaan.
“Kemarin Pak Kapolda Sultra sudah perintahkan Propam dan Irwasum untuk segera turun melakukan pemeriksaan. Laporan ini menjadi atensi penuh untuk segera ditindaklanjuti. Jika memang ada temuan, pasti akan ditindak,” kata Ferry.
Di satu sisi, tutur Ferry, kasus ini telah vonis di sidang tahap pertama, dan tiga orang anak diputus bersalah. Satu orang dewasa dari kasus ini sedang menunggu jadwal persidangan. Saat pemeriksaan, mereka dilaporkan diperiksa dengan pendampingan orang tua.
“Jadi kalau ada yang memukul di depan orang tua terperiksa itu saya rasa tidak mungkin. Namun, tim tetap turun untuk lakukan pemeriksaan lengkap,” ucapnya.
Kasus kekerasan aparat terus bertambah seiring waktu. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) pernah mengajukan permohonan informasi kepada Markas Besar Polri terkait kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian.
Dari sana, diketahui ada 38 kasus kekerasan yang dilakukan oleh anggota Polri selama Agustus 2019 sampai Februari 2020. Sebanyak 23 di antaranya diproses sebagai pelanggaran disiplin dan 15 kasus lainnya merupakan pelanggaran Kode Etik Profesi Polri (KEPP).