Kondisi teluk yang rusak membuat nelayan di Kendari dan Jayapura merana. Tangkapan berkurang drastis, penghasilan pun anjlok. Bahkan, nelayan lebih sering mendapat sampah dan lumpur ketimbang ikan.
Oleh
Saiful Rijal Yunus dan Fabio M Lopes Costa
·5 menit baca
Mendayung sampan perlahan, Nasir (41) menyusuri tepian Teluk Kendari, di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Jaring sepanjang 30 meter yang telah dipasangnya diangkat perlahan. Empat ekor rajungan dikeluarkan. Sejak subuh hingga tengah hari, tangkapannya baru dua kilogram. Teluk yang dulunya murah hati telah lama berpaling darinya.
Setelah menghabiskan satu batang rokok dan setengah botol air kemasan, ayah tiga anak ini kembali mendayung sampan. Jaring yang telah menguning dipasangnya di tempat yang berbeda. Esok sebelum matahari terbit, ia akan kembali datang dan berharap jaring telah penuh tangkapan.
“Hari ini baru dua kilogram lebih. Per kilonya dibeli pengepul Rp 50.000. Adalah (uang) untuk dibawa pulang,” terang Nasir, Jumat (26/3/2021).
Sekarang itu dapat 4 kg sudah luar biasa. Dulu awal tahun 2000-an paling sedikit itu dapatnya 7 kg.
Setelah dikurangi biaya bensin dan sebungkus rokok, ia bisa membawa pulang sekitar Rp 100.000. Uang tersebut untuk memenuhi kebutuhan makan hingga sekolah anak-anaknya. Ia baru sarapan sekaligus makan siang setiba di rumah.
Namun, ia harus menyisihkan sebagian pendapatan untuk membeli jaring. Setiap tiga pekan sekali, alat tangkap utamanya itu rusak dan menguning. Selain karena capit rajungan, sampah dan air yang bercampur lumpur rutin mengotori jaring.
Minimal, ia membutuhkan Rp 75.000 untuk menambal jaring. Dengan hasil yang terus berkurang, ia harus bekerja lebih lama dan harus turun melaut setiap hari. “Sekarang itu dapat 4 kg sudah luar biasa. Dulu awal tahun 2000-an paling sedikit itu dapatnya 7 kg,” kata Nasir yang telah menjadi pencari rajungan sejak kecil.
Bahkan, sambungnya, di awal-awal ia menjadi nelayan, tangkapan 10 kg bukanlah hal yang istimewa. Nelayan bisa memasang jaring di banyak tempat atau di luar musim tangkapan. Hal ini perlahan berubah. Hasil tangkapan terus turun dari tahun ke tahun seiring ekologi teluk yang rusak. Air teluk semakin berlumpur akibat sedimentasi.
Hasil penelitian Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Sampara menyebutkan, dalam 13 tahun terakhir, terjadi pendangkalan akibat sedimentasi di Teluk Kendari seluas 101,8 hektar dan kedalaman laut 9-10 meter. Luasan wilayah teluk pun menyusut dari semula 1.186,2 hektar menjadi 1.084,4 hektar pada tahun 2000. Dalam kurun 20 tahun terakhir, ukuran teluk hanya tersisa 900 hektar atau tergerus 24 persen.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kendari Nismawati menyampaikan, sedimentasi memang menjadi ancaman serius di Teluk Kendari. Sejak bertahun lalu, penumpukan sedimen semakin tinggi dan terus terjadi hingga sekarang.
Sedimentasi berasal dari 13 sungai yang bermuara ke teluk. Sungai-sungai ini membawa endapan pasir dan lumpur dari aktivitas di wilayah hulu atau sepanjang sempadan sungai. La Ode Alwi, pengajar ilmu lingkungan Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari, yang meneliti Teluk Kendari, mengenang, di akhir tahun 1970-an, Teluk Kendari begitu luas dengan tambak-tambak dan mangrove di sekelilingnya. Tepian teluk bahkan berjarak lebih dari satu kilometer dari saat ini.
Namun, memasuki medio 1990-an, pembangunan mulai marak dan mengokupasi lahan. Jalan hingga perumahan mewah bermunculan. Kedalaman teluk yang pernah mencapai 23 meter juga menurun hingga tersisa sekitar tujuh meter. Akibatnya bisa ditebak, biota laut yang dulu menjadikan teluk itu sebagai rumah kini enyah.
Tekanan terhadap ekologi teluk juga terjadi di Jayapura, Papua. Selain sedimentasi, sampah turut mencemari perairan dan memperparah pendangkalan. Kondisi itu salah satunya tampak di Dermaga Abesau, Distrik Abepura, Kota Jayapura.
Dermaga Abesau merupakan lokasi berlabuhnya perahu untuk pelayaran tradisional dan nelayan. Dermaga ini merupakan salah satu pintu masuk ke Teluk Youtefa. Warna air di dermaga tampak kecokelatan dan terdapat banyak tumpukan sampah plastik dan botol minuman beralkohol.
Yeti Wopari (49), warga yang sering memancing di Teluk Youtefa, siang itu tidak mendapatkan ikan. Tempat Yeti menambatkan perahu dulunya merupakan area perairan dengan kedalaman hingga 6 meter. Kini, area tersebut telah menjadi daratan karena sedimentasi lumpur dan tumpukan sampah.
Yeti mengaku, nelayan dan warga yang biasanya memancing di Teluk Youtefa semakin kesulitan mendapatkan ikan selama 20 tahun terakhir. Pada tahun 1980-an, Yeti telah mengikuti ayah dan kerabatnya memancing di Teluk Youtefa. Biasanya mereka mendapatkan hingga 100 ekor ikan. "Lebih baik saya berhenti memancing daripada menghabiskan bahan bakar perahu. Saya lebih sering mendapatkan sampah plastik daripada ikan," ucapnya.
Nelayan yang beralih profesi pun tidak sedikit akibat masalah itu. Salah satunya Luis Iwo, yang kini melayani jasa transportasi perahu ke Kampung Enggros. Perjalanan dari Dermaga Abesau ke Enggros melintasi Teluk Youtefa selama 15 menit.
Luis memutuskan berhenti melaut pada tahun 2010 karena ikan sudah sulit lagi didapatkan akibat pendangkalan dan pencemaran sampah plastik. “Banyak nelayan lain beralih menjadi buruh lepas atau mengelola tempat wisata di Pantai Holtekamp,” ujarnya.
Bagi nelayan yang bertahan, mereka harus melaut makin jauh untuk mendapatkan ikan. Nelson Numberi, nelayan di Kampung Argapura, Distrik Jayapura Utara, mengatakan, nelayan sekarang harus melaut hingga melebihi 10 mil baru bisa mendapatkan ikan.
"Saat ini hanya tersisa 30 nelayan dari total 100 nelayan di daerah Argapura. Biaya operasional untuk melaut sangat tinggi. Sekali melaut, nelayan harus membawa 100 liter bensin," katanya.
Ketua Lembaga Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Pesisir Papua Yehuda Hamokwaron mengatakan, pendangkalan di Teluk Youtefa telah mencapai 500 meter dari garis pantai. Hal ini, di antaranya, akibat erosi tanah lempung dari kawasan penyangga Cagar Alam Cycloop dan sampah rumah tangga yang dibuang ke sungai.
"Kondisi ini mengakibatkan ekosistem padang lamun dan terumbu karang di teluk terganggu karena tertutup lumpur dan sampah. Padahal, dua ekosistem itu tempat ikan bertelur," ungkapnya.
Kini, upaya serius untuk pemulihan teluk-teluk itu pun dinanti. Bukan mustahil, jika dibiarkan tanpa langkah strategis, teluk-teluk itu akan hilang di masa datang.