Pembukaan Hutan Mangrove di Jayapura Capai Ratusan Hektar
Masyarakat Kota Jayapura berada di tengah ancaman abrasi dan bahaya gelombang tsunami. Hal ini disebabkan luasan hutan mangrove sebagai kawasan penyangga di pesisir Kota Jayapura terus menurun secara drastis.
Oleh
FABIO MARIA LOPES COSTA
·3 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Terjadi penurunan luas hutan mangrove di Teluk Youtefa, Kota Jayapura, hingga mencapai 281,12 hektar selama 50 tahun terakhir dari hasil penelitian Universitas Cenderawasih. Padahal, mangrove berperan sebagai penyangga wilayah pesisir Jayapura dari ancaman abrasi ataupun gelombang tsunami saat terjadi gempa berkekuatan besar di bawah laut.
Berdasarkan pantauan Kompas sejak 2019, aktivitas pembangunan di areal kawasan hutan mangrove terus meningkat drastis. Pembukaan areal hutan mangrove dekat dengan sejumlah lokasi tempat wisata, tempat usaha, dan perumahan warga.
Aktivitas pembangunan di kawasan mangrove marak terjadi setelah pembukaan akses jalan dari wilayah Hamadi ke daerah Holtekamp melalui jembatan Youtefa sejak dua tahun terakhir. Wilayah tersebut menjadi zona pertumbuhan ekonomi baru di wilayah Kota Jayapura.
Ahli ekologi mangrove dari Universitas Cenderawasih, John Kalor, mengatakan, terjadi pembukaan hutan mangrove 50 persen lebih dari total luasan 514,24 hektar.
Idealnya, pembukaan area hutan mangrove tidak boleh melebihi 15 persen dari luas kawasan. Pembukaan hutan mangrove yang terjadi di Teluk Youtefa hampir mencapai 50 persen. (John Kalor)
Ini mengacu hasil penelitian Baigo Hamuna, dosen Universitas Cenderawasih, menunjukkan luas hutan mangrove di Teluk Youtefa hingga tahun 2018 tersisa 233,12 hektar.
Pembangunan infrastruktur
Ia mengungkapkan, penyebab penurunan luas hutan mangrove secara masif di Teluk Youtefa antara lain adanya pembangunan infrastruktur seperti jalan, pembukaan kawasan wisata, dan penebangan oleh masyarakat setempat untuk kebutuhan sehari-hari.
”Idealnya, pembukaan area hutan mangrove tidak boleh melebihi 15 persen dari luas kawasan. Pembukaan hutan mangrove yang terjadi di Teluk Youtefa hampir mencapai 50 persen. Faktor pembangunan infrastruktur dan pembukaan kawasan wisata memiliki persentase tertinggi penyebab luasan mangrove berkurang,” papar John.
Ia menuturkan, pembukaan kawasan mangrove yang masif dapat menyebabkan sejumlah fenomena alam yang merugikan masyarakat, yakni abrasi, ancaman gelombang tsunami saat terjadi gempa dengan magnitudo besar di bawah laut dan cuaca ekstrem seperti gelombang tinggi.
”Dari hasil penelitian rekan dosen kami, Baigo Hamuna, terdapat sejumlah lokasi di Kota Jayapura yang rentan abrasi karena pembukaan kawasan mangrove, yakni Hamadi, Pantai Base G, Holtekamp, hingga pesisir daerah Skouw di Distrik Muara Tami,” tutur John.
Ia berharap, berbagai pihak yang terkait, baik pemerintah, masyarakat selaku pemilik hak ulayat, maupun kelompok pegiat lingkungan, dapat bersinergi untuk mengatasi masalah pembukaan hutan mangrove di Teluk Youtefa.
”Diharapkan agar setiap aktivitas pembangunan infrastruktur di kawasan hutan mangrove harus mengedepankan studi kelayakan. Tujuannya untuk mencegah bencana yang mengancam masyarakat di masa mendatang,” ujar John.
Investigasi
Kepala Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Wilayah Papua Frits Ramandey mengatakan, pihaknya juga melaksanakan investigasi kawasan hutan mangrove dan sagu di Teluk Youtefa pada 8 dan 10 Februari 2021. Hasilnya, Komnas HAM menemukan 16 titik pembukaan lahan di hutan mangrove dan 12 titik pembukaan lahan di hutan sagu.
”Kami menemukan 28 titik kerusakan ini di kawasan Teluk Youtefa dari daerah Hamadi hingga Holtekamp. Kemungkinan lokasi kerusakan yang belum ditemukan masih banyak karena kami belum menyusuri semua area Teluk Youtefa,” ujarnya.
Frits pun menyatakan Komnas HAM Wilayah Papua melaksanakan pemantauan kondisi Teluk Youtefa sebagai pemenuhan hak asasi masyarakat untuk mendapatkan lingkungan yang bersih dan lestari.
”Dalam waktu dekat, kami akan menggelar pertemuan bersama masyarakat adat selaku pemilik hak ulayat dan instansi teknis terkait untuk mencegah kerusakan hutan di Teluk Youtefa terus meluas. Pembangunan di kawasan Teluk Youtefa wajib memperhatikan aspek lingkungan agar melindungi Jayapura dari abrasi dan tsunami,” tambahnya.
Kepala Bidang Perlindungan Hutan Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua Aris Toteles Ap mengakui kondisi yang terjadi selama ini, yakni pembukaan lahan di hutan mangrove Teluk Youtefa. Karena itu, pihaknya akan bersinergi dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi Papua dan masyarakat adat untuk membuka fasilitas ekowisata mangrove.
”Dengan program ekowisata, masyarakat setempat tetap mendapatkan uang dan juga menjaga kelestarian hutan mangrove. Kami sudah menyiapkan satu lokasi ekowisata hutan mangrove di daerah Hamadi, Kota Jayapura, dengan luas mencapai 600 meter persegi,” tutur Aris.