Sedimentasi Teluk Palu Tak Terkendali, Populasi Ikan Berkurang
Sedimentasi lumpur di Teluk Palu, Kota Palu, Sulawesi Tengah, terus berlangsung tanpa pengendalian. Para nelayan merasakan berkurangnya ikan di perairan teluk, terutama di dekat pantai.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·4 menit baca
KOMPAS/VIDELIS JEMALI
Nelayan mencari tempat tambatan perahu di muara Teluk Palu, Kota Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu (28/3/2021). Terlihat air Sungai Palu sangat keruh karena kandungan lumpur yang menuju Teluk Palu yang menyebabkan penumpukan di teluk. Kondisi itu mengancam ekosistem teluk.
PALU, KOMPAS — Sedimentasi lumpur di Teluk Palu, Kota Palu, Sulawesi Tengah, terus berlangsung tanpa pengendalian. Kerusakan itu diperparah dengan dampak gempa dan tsunami pada 2018 lalu di teluk seluas 21.000 hektar tersebut. Para nelayan merasakan berkurangnya ikan di perairan teluk, terutama di dekat pantai.
Sedimentasi berupa lumpur halus terlihat jelas di sekitar muara Sungai Palu, sungai terbesar yang mengalir ke teluk. Dalam pantauan pada Sabtu-Senin (27-29/3/2021), air keruh dari sungai ”menerobos” tak kurang 3 kilometer lurus dari arah muara dan 2 kilometer di kiri-kanan muara. Lumpur halus mengendap di pantai sekitar muara. Bekasnya bahkan terlihat di bongkahan batu tanggul.
Basri Badong (47), nelayan Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat, menyatakan, air berlumpur di Teluk Palu terjadi sejak lama. ”Hanya dari sekitar tahun 2000 airnya makin keruh, lumpur makin tebal di pinggir-pinggir laut,” ujarnya.
Hingga saat ini belum ada data terbaru terkait volume aliran sedimentasi ke Teluk Palu. Namun, pada 1998, Abdullah, Mujirin M Yamin, dan Irwan Said, dosen Universitas Tadulako, Palu, mengukur volume sedimen ke Sungai Palu sebanyak 5,8 juta kubik per tahun. Sebagian sedimen mengendap di sepanjang sungai, sebagian lagi mengalir ke Teluk Palu.
KOMPAS/VIDELIS JEMALI
Lumpur yang terangkut Sungai Palu menumpuk di sekitar muara Teluk Palu, seperti terlihat pada Sabtu (27/3/2021).
Volume sedimen dipastikan terus meningkat seiring meningkatnya laju pembukaan lahan dan erosi tebing di hulu di Kabupaten Sigi. Banjir disertai aliran lumpur di sungai dekat permukiman warga dalam dua tahun terkhir mengonfrimasi laju sedimentasi tersebut.
Pada banjir bandang di Desa Bangga, Sigi, akhir April 2019, misalnya, berdasarkan data Balai Wilayah Sungai Sulawesi III, ada 1 juta meter kubik sedimen terangkut air. Sedimen berupa lumpur yang masuk ke laut merusak karang. Jika karang rusak atau mati, ikan tak bisa bertelur di situ. Dengan kondisi itu, ikan pun migrasi ke perairan lain yang karangnya masih bagus.
Lebih baik keluar ongkos besar, tetapi tangkapan juga banyak, daripada keluar ongkos, tetapi dapat ikan sedikit saja.
Basri mengatakan, sejak 2000-an, populasi ikan tak lagi banyak dekat pantai. Dirinya kini harus melaut jauh dari pinggir pantai bermodalkan perahu kecil. ”Kalau pada 1990-an saya masih bisa dapat sampai dua boks ikan layur hanya di pinggir teluk, sekarang ini sampai sekitar 5 kilometer dari muara saya hanya dapat satu boks,” ujarnya.
Tangkapan pun saat ini hanya lebih sedikit dari ongkos yang dikeluarkan. Basri, misalnya, mengeluarkan Rp 100.000 untuk sekali melaut. Tangkapan biasanya paling banyak 10 kilogram atau satu boks dengan rata-rata harga ikan Rp 24.000 per kilogram. Artinya, penghasilan bersihnya paling banyak Rp 140.000 sekali melaut.
Karena populasi ikan makin sedikit, Arham (52), nelayan Kelurahan Lere, Kecamatan Mantikulore, jarang melaut di Teluk Palu. Dia bersama nelayan lainnya memilih melaut ke perairan Donggala utara sejak 2017.
”Lebih baik keluar ongkos besar, tetapi tangkapan juga banyak, daripada keluar ongkos, tetapi dapat ikan sedikit saja,” katanya. Dia bisa menghabiskan Rp 1 juta untuk mendapatkan 1 ton ikan selama tiga hari melaut di Donggala.
KOMPAS/VIDELIS JEMALI
Basri Badong (47) memperlihatkan ikan yang ditangkapnya di Teluk Palu, Minggu (28/3/2021).
Selain sedimentasi, Arham menyebutkan, kerusakan Teluk Palu diperparah dengan gempa dan tsunami lalu. Banyak terumbu karang rusak sehingga ikan mencari tempat bertelur keluar dari teluk.
Dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahun Alam Universitas Tadulako, Palu, Abdullah mengatakan, sedimentasi di Teluk Palu perlu dikendalikan sebelum kerusakan masif terjadi. Pengendalian sedimentasi harus dimulai dari hulu dengan penghentian pembukaan lahan pertanian serta penanaman pohon di lahan-lahan gundul. Selain itu, di Sungai Palu perlu dibangun cekdam agar sedimentasi bisa tertampung.
Kepala Bidang Pengelolaan Ruang Laut Dinas Kelautan dan Perikanan Sulteng Edward Yusuf mengakui, sedimentasi di Teluk Palu salah satu masalah pengelolaan perairan. Namun, menurut dia, topografi teluk yang langsung membentuk palung di dekat muara membuat sedimen mengendap jauh di dasar laut sehingga dampaknya tidak terlalu signifikan untuk populasi ikan.
Terkait dengan kerusakan karang, Edward mengatakan, pemulihan menjadi salah satu program instansinya. Hanya saja dalam hampir dua tahun terakhir hal itu tidak bisa dilakukan karena adanya perubahan fokus anggaran untuk penanganan pandemi Covid-19. Ia memastikan penanaman kembali karang akan dilakukan di sejumlah titik di Teluk Palu.
Untuk pengendalian sedimen di hulu, Balai Wilayah Sungai Sulawesi III membangun sabo dam di sejumlah sungai yang mengalir ke Sungai Palu. Sabo dam tersebut akan menampung sedimen dan bisa digunakan sebagai material konstruksi.