Adi menyimpulkan, gempa besar di Jawa Timur memiliki periodesasi 20-30 tahun. Di akhir tulisannya, Adi memprediksi gempa besar akan kembali terjadi dalam rentang 2010-2020. Prediksinya terbukti tidak terlalu menyimpang.
Oleh
dahlia irawati
·5 menit baca
Dunia akan mengatur dirinya sendiri. Sebagaimana alam mengatur diri sendiri, tanpa bantuan ide-ide cemerlang kita. (Lao Tzu)
Malang Raya dan sekitarnya tersentak setelah Sabtu (10/4/2021) gempa bumi bermagnitudo 6,1 dan berpusat di 96 kilometer selatan Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur, mengguncang kedamaian dan kenyamanan kota peristirahatan itu. Rumah-rumah rusak, tujuh orang meninggal, dan warga di hampir seluruh kabupaten/kota di Jawa Timur terkaget-kaget sebagai dampaknya.
Seperti Sofiyeh (50), perempuan kepala keluarga asal Desa Ganjaran, Kecamatan Gondanglegi, Kabupaten Malang. Hingga Sabtu petang, tampak raut mukanya masih tak percaya dengan kejadian yang baru saja dialaminya. Rumah bagian depannya roboh dan dinding di kamar bagian depan retak.
”Saat itu saya sedang tidur, lalu terasa gempa bumi cukup kencang. Suaranya juga keras. Lalu saya lari bersama anak dan cucu saya,” kata perempuan berkerudung itu. Saat gempa terjadi, Sofiyeh sedang berada di dalam rumah bersama anak, cucu, dan keponakannya.
”Dua anak kecil yang sedang bermain langsung saya gendong dan saya ajak lari ke belakang. Beruntung sekali kami bisa selamat,” kata Lukman (28), anak Sofiyeh.
Sofiyeh adalah satu korban gempa yang meski berkesusahan, cukup beruntung karena tidak mengalami dampak fisik serius. Sejumlah orang di beberapa lokasi di Jawa Timur bahkan ada yang meninggal akibat tertimpa material yang berjatuhan karena gempa.
Dari setiap kesusahan, pasti akan ada hikmahnya. Sofiyeh bersyukur karena ia dan keluarganya baik-baik saja meski rumahnya rusak. Bersyukur, menurut Sofiyeh, adalah cara paling mudah untuk terlepas dari ketakutan akibat gempa.
Gempa juga membuat warga panik, tetapi mereka langsung ambil sikap dengan keluar rumah menuju tempat aman. Di perumahan Sigura Hill, Kelurahan Karangbesuki, Sumbersari, Kota Malang, gempa terasa kuat. Bangunan rumah bergetar. Warga berhamburan keluar rumah dan anak-anak menangis karena ketakutan.
Selama enam tahun di Malang, getaran ini yang paling besar. Bangunan rumah sampai goyang.
Gempa dirasakan kuat oleh Wahyu (40), warga setempat. ”Selama enam tahun di Malang, getaran ini yang paling besar. Bangunan rumah sampai goyang,” katanya. Saat gempa terjadi, dia langsung membawa keluar anak-anaknya ke jalan. Jalan perumahan saat itu menjadi ramai karena semua warga keluar.
Waspada
Kewaspadaan Kota Malang tersebut tidak jauh berbeda dengan pandangan dari geoscientist Universitas Brawijaya, Malang, Adi Susilo. ”Waspada itu penting, tetapi jangan sampai paranoid. Sebab, kalau paranoid, justru akan merusak dan menghancurkan kita sendiri,” kata Adi.
Sebagai pengamat kegempaan, ia melihat bahwa selama ini Jawa Timur memang sering terjadi gempa bumi. Hal itu karena lempeng batuan di bawah wilayah selatan Jawa Timur adalah lempeng tua sehingga mudah patah dan menimbulkan gempa.
”Oleh karena lempeng tua, maka akan sering patah dan menimbulkan gempa. Namun, gempa yang ditimbulkan biasanya tidak terlalu besar. Periodesasi gempa besar bisa dikatakan 20-30 tahun,” kata Adi.
Dalam opininya di Kompas Jawa Timur pada 25 Juli 2006, Adi sempat mendata 13.000 data gempa bumi yang didapatnya dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) sejak 1964 sampai 2006. Dari data itu, selanjutnya hanya dipilah untuk daerah Jawa Timur yang rentang daerahnya dimulai dari 6 sampai 11 derajat Lintang Selatan (LS) dan 111 sampai 115 derajat Bujur Timur (BT). Data dikumpulkan adalah data gempa yang lebih besar dari 4,9 SR menurut skala BMG. Setelah diseleksi, tinggal 24 gempa yang tersisa yang bisa disajikan sebagai bahan analisis mengenai kegempaan di Jawa Timur.
Dari temuannya, diketahui bahwa ternyata kejadian gempa cukup besar di Jatim terjadi pada 1967 sampai 2003. Tahun 1994, mendominasi banyaknya gempa berskala besar. Saat ditelisik lebih jauh, ternyata, dilihat dari posisi sumbernya, gempa tersebut masih di sekitar sumber dari gempa tsunami 3 Juni 1994. Adi mengatakan, maka gempa besar itu bisa jadi merupakan aftershock (gempa susulan setelah gempa tsunami tersebut).
”Dilihat dari posisi gempa, kebanyakan sumber gempa berada di lautan, di bagian selatan Jawa Timur dan Samudra Indonesia. Hanya beberapa saja yang sumbernya di darat atau sekitar 30 persennya saja,” kata Adi.
Dari semua analisisnya, Adi saat itu menyimpulkan bahwa gempa besar di Jatim memiliki periodisasi, yaitu 20-30 tahun. Dan, di akhir tulisannya, Adi memprediksi bahwa gempa besar akan kembali terjadi dalam rentang tahun 2010-2020.
”Kali ini, gempa besar benar-benar terjadi pada awal 2021. Penyimpangannya tidak terlalu jauh. Artinya, memang periodesasi gempa besar di Jatim ini belum banyak berubah,” kata Adi.
Beberapa kejadian gempa bumi hebat di Jatim di antaranya gempa yang diikuti tsunami di Banyuwangi (Rajekwesi), 3 Juni 1994. Gempa berkekuatan 7,6 skala Richter (SR) menurut USGS tersebut mengakibatkan tsunami yang menghancurkan banyak rumah serta menyebabkan 121 orang meninggal dan 236 orang luka-luka.
Di Banyuwangi juga pernah terjadi gempa pada 1967. Saat itu, kedalaman pusat gempa pada 88 kilometer yang posisinya adalah 9,130 LS dan 113,040 BT.
Jika melihat lebih jauh, menurut sejarahnya, gempa bumi di Jawa Timur memang sudah terjadi sejak dahulu kala. Goenawan A Sambodo dari Komunitas Tapak Jejak Kerajaan pernah mencermati dampak gempa bumi pada era awal Kerajaan Majapahit dalam Prasasti Warungahan. Prasasti Warungahan adalah sebuah prasasti yang ditemukan di Kabupaten Tuban.
Prasasti mengenai penetapan Sima itu dibuat tahun 1305. Isinya adalah Sri Maharaja Nararyya Sanggramawijaya telah memberikan sebuah piagam peresmian penetapan ulang daerah. Alasannya adalah karena prasasti sebagai bukti penetapan dahulu hilang ketika terjadi gempa bumi. Artinya, gempa bumi ini sudah terjadi sejak lama. Tinggal bagaimana kita menyikapinya, akan menjadi lengah atau memilih waspada. (WER/NIK/NIT)