Senyulong yang Diculik dari Rumahnya Ditolak Pulang ke Habitatnya
Upaya penyelamatan buaya senyulong dan mengembalikan ke habitatnya menghadapi tantangan tidak mudah mengingat sebagian kawasan tak lagi ramah bagi mereka. Selain ekosistemnya sudah rusak, tak jarang warga menolak.
Perjalanan pulang buaya senyulong (Tomistoma schlegelii) mewakili kisah getir satwa liar di negeri ini. Setelah tersangkut jaring ikan dan diculik dari rumahnya, senyulong puluhan tahun berkubang limbah. Kini, perjalanannya menuju pelepasliaran menuai penolakan.
Sebuah kendaraan bak terbuka menjemputnya, Kamis (25/3/2021) pagi. Sesuai dengan rencana, senyulong akan berangkat dari tempat penyelamatan satwa (TPS) milik Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jambi.
Sewaktu dijemput, ia telah dipindahkan ke dalam kandang besi. Ukuran kandang itu lebih pendek dari tubuhnya yang memiliki panjang 3,8 meter.
Dari Kota Jambi, kendaraan bertolak menuju kawasan perlindungan buaya senyulong di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Perjalanan memakan waktu 3 jam. Sekitar pukul 12.00, rombongan tiba di tepi Sungai Merang saat matahari tepat di atas kepala.
Menurut Sahron, Kepala TPS BKSDA Jambi, sungai itulah calon rumah baru bagi senyulong. Dinyatakan cocok sebagai tempat pelepasliaran karena sesuai dengan rencana tata ruang daerah.
Sumsel telah menetapkan habitat konservasi satwa air buaya senyulong seluas 13 .871 hektar. Sungai Sungai Merang termasuk di dalamnya.
Akan tetapi, tak seperti yang dibayangkan para petugas. Setibanya di sana, setelah petugas menurunkan senyulong dari kendaraan dan menempatkannya di bawah pohon rindang di tepi sungai, sejumlah warga datang. Dipimpin oleh seorang warga bernama Tarmizi, mereka langsung menemui petugas. Menolak buaya itu dilepasliarkan di Sungai Merang.
”Kami keberatan kalau (senyulong) mau dilepas ke sungai ini,” katanya. Alasan dia, kehadiran buaya dapat mengancam keselamatan warga.
Baca juga: Kisah Senyulong Puluhan Tahun Hidup Berkubang Limbah
Beberapa waktu lalu, lanjutnya, ada warga melihat seekor buaya muncul di permukaan sungai. Meski buaya tak mengganggu, warga tetap merasa cemas. Mereka menduga buaya itu merupakan hasil pelepasliaran petugas.
Ganjalan lainnya disampaikan warga, petugas konservasi tak menyosialisasikan kepada masyarakat perihal buaya-buaya yang dilepasliarkan ke sungai. Seharusnya masyarakat turut mengetahui dan diajak berdialog.
Kami keberatan kalau (senyulong) mau dilepas ke sungai ini.
Atas sejumlah alasan itulah, warga keras menolak senyulong masuk sungai dan tinggal bersama mereka. Karena tidak ada kompromi, petugas terpaksa mengalah. Senyulong tak jadi dilepasliarkan di sana. Rombongan harus meninggalkan tempat itu dan mencari sungai lain.
Kembali ke sungai
Setelah menempuh perjalanan tambahan 60 kilometer, senyulong akhirnya tiba di calon rumah barunya di Sungai Benu sekitar pukul 21.30. Petugas segera menurunkannya dari kendaraan. Luka-luka di kulitnya diobati. Lalu, semua ikatan pada tubuhnya dilepaskan. Pukul 21.50, senyulong akhirnya berenang bebas di sungai.
Sungai Merang, Sungai Benu, dan sungai-sungai lainnya di wilayah itu merupakan bagian dari ekosistem penyangga hutan dataran rendah Berbak Sembilang. Ekosistem itu menghampar di perbatasan Jambi dan Sumatera Selatan, berupa air tawar, rawa gambut, dan hutan bakau.
Kawasan itu merupakan habitat bagi sejumlah populasi satwa dilindungi, seperti harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), tapir (Tapirus indicus), buaya senyulong (Tomistoma schlegelii), mentok rimba (Cairina scutulata), dan burung wilwo (Mycteria cinerea).
Baca juga: Perbanyak Tempat Penyelamatan Satwa Liar
Menurut warga sekitar, sejak mereka menempati wilayah itu tahun 1980-an, senyulong sudah ada di sana. Dalam catatan Kompas, senyulong disebut-sebut berkawan dengan para pencari ikan di Sungai Merang. Biasanya di lokasi yang terdapat buaya itu, terdapat pula banyak ikan (Kompas, 19 September 2002). Sewaktu-waktu senyulong turut terbawa jaring, biasanya akan dilepaskan kembali oleh nelayan.
Dalam laman resmi Taman Nasional Berbak Sembilang, disebutkan populasi senyulong menyebar di sungai-sungai berair tawar di sekitar kawasan taman nasional itu. Sungai Merang berlokasi di bagian barat laut taman nasional merupakan salah satu habitat potensial. Ada pula di bagian hulu Sungai Benu. Merupakan tipikal habitat yang disukai spesies ini karena sepanjang sungainya dinaungi tajuk-tajuk rapat dari hutan-rawa gambut.
Baca juga: Penyelamatan Habitat Satwa Mendesak
Pada saat itu, peneliti satwa mulai mengkhawatirkan kecenderungan turunnya populasi buaya senyulong di sepanjang sungai itu. Hasil survei tim gabungan International Union for Conservation Nature and Natural Resources Crocodile Specialist Group (IUCN CSG) bersama-sama Proyek Konservasi Berbak Sembilang Wetlands International, 2002, menunjukkan ada penurunan. Pada sepanjang lebih dari 50 km sungai ini, hanya ditemukan dua buaya senyulong. Satu tahun sebelumnya masih ditemukan 14 ekor.
Mark R Bezuijen, peneliti dari WMI dan IUCN CSG, mengidentifikasi tiga penyebab utama menurunnya populasi buaya senyulong di Sungai Merang, yaitu maraknya penebangan kayu, pemasangan jaring ikan, dan adanya lelang untuk penguasaan tepian sungai, mengancam keberlangsungan hidup senyulong.
Populasi senyulong menyebar di sungai-sungai berair tawar di sekitar kawasan Taman Nasional Berbak Sembilang. Sungai Merang berlokasi di bagian barat laut taman nasional merupakan salah satu habitat potensial. Ada pula di bagian hulu Sungai Benu. Merupakan tipikal habitat yang disukai spesies ini karena sepanjang sungainya dinaungi tajuk-tajuk rapat dari hutan-rawa gambut.
Meskipun spesies itu masuk sebagai salah satu spesies buaya besar karena dapat mencapai panjang sampai 6 meter, senyulong diklasifikasikan sebagai spesies rentan. Spesies ini tidak pernah lagi ditemukan di Thailand yang juga merupakan rumahnya, hanya tersisa di Indonesia dan Malaysia.
Baca juga: Perbanyak Tempat Penyelamatan Satwa Liar
Menurut Oktaviani Nur Marsellia, paramedis satwa di TPS BKSDA Jambi, spesies buaya ini membangun sarangnya di bantaran sungai. Meski menghasilkan jumlah telur yang banyak. kemampuannya untuk menetaskan telur dalam tubuhnya (ovovivipar) sangat bergantung pada kenyamanan lokasi bersarang.
Kondisi sepanjang tepian sungai yang terbuka dapat menyebabkan satwa menjadi stres sehingga makin sedikit yang mampu berkembang biak.
Penebangan kayu hutan di sepanjang sungai juga menghilangkan tempat-tempat bersarang bagi senyulong. Padahal, senyulong tidak bersarang di sembarang tempat.
Koordinator Lapangan Konsorsium Bentang Alam Sembilang Sumsel (KiBASS), Prasetio Widodo, mengatakan, tekanan dan gangguan terhadap daerah tersebut terus terjadi. Penurunan drastis kerapatan populasi senyulong di bagian hulu diperkirakan berhubungan dengan pembalakan liar skala besar.
Selain menebangi kayu, para pembalak menangkapi juga senyulong di Sungai Merang. Sedikitnya 18 senyulong diketahui ditangkapi pada periode 2001-2002. Kondisi itu diperkirakan masih berlanjut hingga kini.
Upaya penyelamatan buaya senyulong dan mengembalikan ke habitatnya menghadapi tantangan tidak mudah mengingat sebagian kawasan tak lagi ramah bagi mereka. Tidak hanya karena ekosistemnya yang sudah rusak, tetapi juga karena ada penolakan dari warga. Butuh kesadaran bersama bahwa kelestarian spesies itu turut berperan dalam keseimbangan alam.