25 Tahun Berkubang Limbah, Senyulong Jambi Kembali ke Sungai
Ancaman besar kepunahan membayangi senyulong dan buaya muara di Jambi. Konflik makin kerap terjadi sebagai dampak kerusakan lingkungan dan domestikasi.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·4 menit baca
Dua puluh lima tahun lalu, seekor buaya senyulong ditangkap seorang pencari ikan di Sungai Batanghari, Jambi. Sejak itu, hidup di genangan lumpur limbah rumah tangga pemiliknya, sebelum petugas konservasi membawanya untuk selanjutnya dilepasliarkan di habitat aslinya.
Diwarnai perlawanan kecil, petugas Balai Konservasi Sumbar Daya Alam (BKSDA) Jambi akhirnya bisa membawa senyulong (Tomistoma schlegelii) ke Tempat Penyelamatan Satwa (TPS) BKSDA di Kota Jambi. Selama hampir dua pekan, ia menjalani program reintroduksi, setelah sejak tahun 1996 dipelihara ala kadarnya.
Rupanya, tak butuh waktu lama bagi senyulong itu untuk beradaptasi dengan alam liar. ”Insting liarnya sudah kembali hidup,” ujar Oktaviani, petugas medis hewan di TPS BKSDA Jambi, Senin (22/3/2021).
Satwa ini banyak ditemukan di sungai-sungai berair tawar di pedalaman Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.
Pada masa awal di kolam reintroduksi, senyulong langsung memakan ikan dan daging ayam yang diberikan petugas. Secara bertahap petugas mengurangi intensitas pertemuan dengan sang satwa. Kandang kolam pun dinaikkan permukaan airnya. Tujuannya supaya senyulong dapat lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam air.
Dua pekan menempati TPS, perubahan sifat positif muncul. Tanda-tanda insting liar senyulong kini tampak dari kebiasaan barunya. Makanan yang diberikan petugas ke dalam kandang kolam tak lagi langsung ia sambar. Senyulong seperti tengah memasang jarak dengan manusia.
Mangsa hanya dimakan setelah senyulong memastikan tak ada manusia di sekitarnya. ”Ini menandakan senyulong semakin beradaptasi dengan habitat alam liar,” tambah Oktaviani.
Kepala TPS BKSDA Jambi Sahron mengatakan, senyulong itu dinyatakan sudah dapat dilepasliarkan di habitatnya. Pihaknya berencana membawa senyulong ke Sungai Merang di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, pada akhir pekan ini.
Dalam rencana tata ruang dan wilayah setempat, Sungai Merang telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi dan habitat satwa senyulong. Sungai yang berlokasi di area penyangga Taman Nasional Berbak Sembilang itu masih cukup baik kondisinya. ”Jika dilepasliarkan di sana, satwa ini dapat melangsungkan kehidupannya dengan nyaman,” jelasnya.
Senyulong merupakan spesies mirip buaya, tetapi berukuran lebih kecil dan pendek. Bentuk moncongnya runcing dan sempit. Satwa ini banyak ditemukan di sungai-sungai berair tawar di pedalaman Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.
Kini, spesies itu berstatus Rentan (Vulnarable) dalam Daftar Merah Badan Konservasi Alam (IUCN). Populasinya di seluruh dunia tak sampai 2.500 ekor.
Praktik domestikasi sebagaimana yang dialami senyulong di Jambi itu menjadi salah satu penyebab turunnya populasi. Saat dipelihara manusia dan hidup tanpa pasangan, senyulong tak dapat bereproduksi. Selain itu, faktor tercemarnya sungai akibat praktik pembalakan liar, perambahan hutan, serta kenun monokultur jadi pemicu turunnya populasi senyulong.
Di Jambi, ancaman besar dialami senyulong ataupun buaya muara dalam setahun terakhir. Didapati belasan kali konflik yang mengancam keselamatan satwa itu. Menurut Sahron, tahun 2020 merupakan rekor terbanyak jumlah buaya muara dan senyulong yang harus diungsikan ke TPS. ”Ada delapan ekor. Merupakan jumlah terbanyak spesies buaya yang diselamatkan dalam setahun,” ujarnya.
Setelah diungsikan sementara, seluruh buaya dilepas kembali ke habitatnya. Ada yang dibawa ke sungai di Taman Nasional Berbak Sembilang dan Cagar Alam Hutan Bakau Pantai Timur di Jambi, serta Sungai Merang dan Sungai Sungsang di Sumatera Selatan.
Temuan konflik paling banyak didapati ada di hilir-hilir sungai. Faktor utamanya diperkirakan akibat meningkatnya pencemaran air sungai karena marak aktivitas tambang emas liar dan praktik penyetruman ikan di sungai.
Menurut peneliti satwa air dari Universitas Jambi, Tedjo Sukmono, tercemarnya sungai berdampak pada menyusutnya populasi ikan yang menjadi sumber makanan buaya. Saat kekurangan makanan, buaya akan berpindah mencari lokasi lain demi memperoleh sumber makanan baru.
Pada sejumlah kasus ditemukan buaya berkonflik dengan manusia. Bisa jadi, kata Tedjo, karena di tempat-tempat barunya tidak cukup tersedia makanan. Buaya menjadi agresif dan menyerang manusia yang ada di sekitarnya. ”Buaya bergerak mencari habitat baru karena makanan tidak ada. Itu sebabnya belakangan ini banyak temuan konflik buaya dan manusia,” katanya.
Menurut Tedjo, praktik-praktik liar yang mencemari lingkungan harus segera diberantas. Jika tidak, konflik satwa liar dengan manusia yang sudah terjadi akan terus berlanjut atau menjadi bom waktu.
Tanpa penanganan serius, persoalan itu hanya akan berujung pada kepunahan senyap satwa-satwa liar itu. Betapa ironi bila itu sampai terjadi. Dari kubangan lumpur limbah rumah tangga di Jambi, nasib senyulong itu mewakili wajah satwa liar yang seringkali berakhir dengan kematian tragis.