Rumah bagi satwa liar yaitu di alam liar. Menjaga mereka tetap ada di sana juga melindungi manusia dari berbagai ancaman penyakit menular baru.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Saat ini masih banyak satwa liar khususnya primata di Indonesia yang diburu dan diperjualbelikan untuk dipelihara. Bahkan, tidak sedikit masyarakat yang memamerkannya di media sosial sehingga kian memberikan stigma primata sebagai hewan peliharaan. Padahal, primata merupakan satwa liar yang harus hidup di alam bebas.
Koordinator Perlindungan Satwa Jakarta Animal Aid Network (JAAN) Merry F Wain menyampaikan, masyarakat yang menjadikan primata sebagai hewan peliharaan umumnya berada di perkotaan. Mayoritas masyarakat membeli primata tersebut saat masih terlihat lucu. Namun, saat primata tersebut beranjak dewasa dan merasa terkekang, insting liarnya akan muncul hingga membahayakan masyarakat.
”Saat bayi-bayi primata itu dijual itu artinya ada permintaan dan rata-rata yang dijual adalah monyet ekor panjang dan beruk. Mereka berdua merupakan spesies primata yang hidup dalam kelompok sosial. Bisa dibayangkan bagaimana proses mendapatkan bayi tersebut pasti dengan cara membunuh induknya,” ujarnya dalam webinar bertajuk ”Serba-serbi Primata di Media Sosial”, Kamis (28/1/2021).
Menurut Merry, menjadikan primata sebagai hewan peliharaan merupakan praktik kejam yang dapat mengancam kehidupan satwa tersebut. Sebab, bayi primata yang diburu berpotensi mengalami kematian yang cukup tinggi dalam perjalanan dari habitat aslinya menuju tempat pembeli. Kematian bisa disebabkan karena kebutuhan pengobatan atau nutrisi primata yang tidak terpenuhi.
Sama halnya dengan makhluk hidup lainnya, primata juga membutuhkan nutrisi untuk bertahan hidup yang sesuai dengan kebutuhannya. Primata tidak selalu memakan buah-buahan, tetapi juga perlu nutrisi lain berupa serat atau protein. Hal inilah yang kerap diabaikan oleh para pemelihara satwa liar sehingga berpotensi mengancam kesehatan dan kehidupan primata.
”Memelihara satwa liar tidak hanya memberikan makan dan minum, tetapi juga ada indikator lainnya sebagai kebutuhan dasar kesejahteraan hewan. Memelihara satwa liar tidak serta-merta melindungi mereka dari kepunahan. Penghitungan kepunahan satwa dari Badan Konservasi Dunia (IUCN) itu merupakan populasi yang ada di alam, bukan di perumahan,” katanya.
Selain itu, memelihara primata juga berpotensi meningkatkan terjadinya penularan penyakit dari satwa liar ke manusia atau spillover. Saat ini, penyakit baru semakin meningkat dan umumnya bersumber dari hewan, salah satunya virus SARS-CoV-2 penyebab pandemi Covid-19 yang juga diduga ditularkan dari perdagangan satwa liar di Wuhan, China. Penyakit atau virus yang tercipta akan menjadi patogen untuk berkembang biak.
Indonesia sudah memiliki regulasi yang cukup kuat untuk konservasi habitat di level hutan tanaman industri. Namun, untuk konservasi di lahan pertambangan atau kelapa sawit dinilai belum cukup kuat.
Koordinator Peneliti Ecology and Conservation Center for Tropical Studies (Ecositrop) Yaya Rayadin menyatakan, menyelamatkan primata ataupun satwa liar lainnya dari kepunahan dapat dilakukan melalui konservasi di level konsesi atau skala besar. Sejumlah upaya yang dilakukan di antaranya dengan menerapkan perencanaan konservasi yang saling terintegrasi dari pihak korporasi, masyarakat, dan konservasionis.
Aspek lainnya yang dapat dilakukan, yaitu menguatkan regulasi perlindungan satwa dan konservasi. Saat ini, Yaya menilai Indonesia sudah memiliki regulasi yang cukup kuat untuk konservasi habitat di level hutan tanaman industri. Namun, untuk konservasi di lahan pertambangan atau kelapa sawit dinilai belum cukup kuat.
Selain itu, perlu juga peningkatan dari sisi alat untuk menunjang kegiatan konservasi satwa, seperti kamera tersembunyi (camera trap) atau pesawat nirawak. ”Sumber daya manusia juga perlu ditingkatkan agar orang-orang konservasi tidak merasa spesial. Mereka harus membagikan ilmu-ilmu konservasi ke masyarakat yang hidup wilayah konservasi,” katanya.
Konservasionis Satwa Liar Puspita Kamil menambahkan, salah satu cara membuat orang peduli terhadap isu konservasi satwa, yaitu dengan memberikan mereka akses terhadap lingkungan yang baik. Melalui interaksi dengan alam yang masih asri nantinya akan timbul rasa saling menjaga antara manusia dan spesies lainnya.
Menurut Puspita, upaya sederhana untuk menghentikan praktik pemeliharaan satwa liar yang dapat dilakukan masyarakat, yakni dengan menyebarkan informasi dan edukasi ke orang-orang terdekat. Namun, bahasa yang digunakan untuk penyebaran informasi tersebut juga harus disesuaikan dengan usia atau kelompok masyarakat tertentu agar dapat meningkatkan persentase keberhasilan.