Kampung Tirang di pesisir Kota Tegal, Jawa Tengah, adalah potret warga marjinal yang coba menggapai terang setelah sekian lama tersisih dari peradaban. Melalui pariwisata, mereka mencoba mengubah suratan takdir.
Oleh
KRISTI UTAMI
·6 menit baca
Hanya sekitar 5 kilometer dari ruas pantura Kota Tegal, urat nadi ekonomi Jawa Tengah, Kampung Tirang, terasing dari peradaban selama puluhan tahun. Sekian lama hanya bisa mengais remahan rezeki, warga setempat coba menggapai terang lewat pariwisata.
Darwati (41) cekatan mengiris tipis tempe di meja sambil sesekali menyeka bulir keringat di dahi dengan lengan bajunya. Panas matahari di pesisir utara, Rabu (10/3/2021) siang, begitu menyengat. Ia pun beranjak, menambah kecepatan putaran kipas angin di dinding warungnya di Kampung Tirang, Kelurahan Tegalsari, Kecamatan Tegal Selatan. Saat sepoi angin laut menerpa wajah, ia semringah.
Irisan tempe itu akan diolah Darwati menjadi mendoan hangat untuk disajikan kepada para pengunjung Kampung Tirang. Sejak tiga bulan terakhir, Darwati sibuk berjualan makanan dan minuman.
Bertahun-tahun hingga 2018, kampung seluas 13.581 meter persegi itu terisolasi. Tanpa listrik dan air bersih. Kini, kampung yang ditinggali 12 keluarga itu tak pernah sepi dari wisatawan. Dalam sehari, 100-300 pengunjung dalam dan luar kota datang menikmati gugusan pantai di Kampung Tirang.
”Dulu jarang ada yang tahu kalau tempat ini ditinggali. Maklum,tempatnya terisolasi. Alhamdulillah, sekarang ramai didatangi wisatawan, sudah ada listrik dan sudah ada aliran air bersih,” ujar Darwati.
Kampung Tirang menempati pulau terbentuk dari tanah timbul di pesisir pantai utara Tegal dan terpisah dari wilayah daratan lain di Kelurahan Tegalsari, Tegal Barat. Untuk menuju ke sana, warga harus menyeberangi Sungai Sibelis selebar sekitar 10 meter dengan rakit dari sekitar Taman Tegalsari. Setelah itu, dilanjutkan berjalan kaki sekitar 1 kilometer melewati tambak-tambak udang.
Dulu jarang ada yang tahu kalau tempat ini ditinggali. Maklum, tempatnya terisolasi.
Selain menyeberang Sungai Sibelis, warga juga bisa sampai di Kampung Tirang dengan menempuh jalur darat melalui pintu masuk Pantai Muarareja. Dari pintu masuk Muarareja, warga mesti berjalan kaki sejauh 1,5 kilometer menuju Kampung Tirang. Jalan tersebut masih berupa tanah berbatu selebar 1,5 meter. Saat hujan, jalanan licin. Warga mengaku kerap jatuh saat melintas jalur tersebut dengan sepeda atau sepeda motor.
Meski terisolasi, kawasan ini justru jadi pintu pintu rezeki warga kampung yang tergolong miskin. ”Dalam sehari ada 70-120 pembeli. Pendapatan kotor, kalau sedang ramai, bisa sampai Rp 2 juta per hari,” kata Darwati, ibu tiga anak itu.
Hal serupa dialami Sumiyati (45). Perempuan yang sudah lebih dari 21 tahun tinggal di Kampung Tirang itu juga membuka warung sejak sebulan terakhir. ”Sejak dulu saya menganggur. Kalau mau apa-apa, minta suami. Sekarang setelah punya warung, saya bisa bantu suami mencukupi kebutuhan keluarga,” ucapnya yang mengaku mendapat penghasilan kotor hingga Rp 900.000 per hari dari warung.
Rawin (42), yang dua tahun terakhir berhenti dari aktivitas nelayan karena alasan kesehatan, juga membuka warung. ”Setelah kerja serabutan, awal 2021 saya membuka warung,” ucapnya.
Dari hasil berjualan makanan dan minuman, Rawin bisa menghasilkan Rp 700.000 per hari. Bahkan, saat akhir pekan mencapai Rp 1 juta. Padahal, saat jadi nelayan, pendapatannya paling banter Rp 200.000 per hari. Belum risikonya.
Tak hanya warga setempat, wisata Kampung Tirang juga membantu warga kampung lain. Sukesih (46), warga yang tinggal sekitar 1,5 kilometer dari Kampung Tirang, misalnya, meminta izin ikut membuka warung. Warga setuju sebab kian banyak yang membuka usaha akan makin menarik pengunjung. "Awalnya saya jualan kosmetik. Penghasilan tak menentu, paling banyak Rp 500.000 per bulan. Kalau buka warung bisa dapat Rp 400.000-Rp 500.000 sehari,” ujar Sukesih.
Potret marjinal
Kampung Tirang yang sekarang adalah hasil relokasi. Permukiman sebelumnya terpaut 3 kilometer di sebelah timur, sama-sama menempati tanah hasil sedimentasi. Namun, lokasinya lebih terasing, hanya bisa diakses dengan rakit dari sekitar Pelabuhan Tegal. Kampung lama ini pernah menjadi latar film Turah (2016), karya sutradara Wicaksono Wisnu Legowo dengan produser Ifa Isfansyah.
Kondisi Kampung Tirang kala itu lebih kurang sama dengan yang dipotret dalam film Turah. Rumah-rumah semipermanen kumuh, gelap karena listrik hanya mengandalkan genset, dan kotor karena tak ada air bersih. Penghuninya buruh dan nelayan. Karena dekat pelabuhan, bau amis menyengat di mana-mana. Tumpukan cangkang kulit lobster dan kepiting berserakan di tepi jalanan kampung.
Kampung lama ini pernah menjadi latar film Turah (2016), karya sutradara Wicaksono Wisnu Legowo dengan produser Ifa Isfansyah.
Akhir 2017, pemerintah menata permukiman nelayan, termasuk Kampung Tirang. Sebenarnya, warga diminta pindah ke rumah susun sewa milik pemerintah kota. Namun, kebanyakan menolak karena keberatan membayar uang sewa. Mereka juga tak bisa tinggal jauh dari tempat kerja di laut dan pelabuhan.
Saat warga gundah, Kosim Fauzi (52) datang membantu. Kosim merupakan nelayan yang selama ini akrab dengan warga Kampung Tirang. Berkat lobi Kosim, warga boleh menempati sebuah lahan kosong milik Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman Kota Tegal di pesisir Kelurahan Tegalsari. ”Walaupun saya orang luar (Kampung Tirang), saya merasa memiliki kedekatan emosional. Mungkin karena sama-sama kerja di laut,” katanya.
Dengan ganti rugi Rp 1 juta per keluarga, sebanyak 12 keluarga pindah dari Kampung Tirang lama ke Kampung Tirang baru. Meski sudah berpindah, situasi tak berubah. Tetap kumuh dan kotor. Warga pun mengajukan pemasangan listrik dan suplai air, kemudian dikabulkan pada 2018.
Setelah listrik dan air bersih masuk, kualitas hidup warga berubah. Sejumlah barang elektronik yang dulu asing, seperti penanak nasi, kipas angin, dan televisi, mulai terlihat. Warga tak perlu lagi membeli air atau menyuling air laut. ”Saya juga punya keinginan agar ekonomi warga terangkat. Munculah ide mengembangkan wisata,” ucap Kosim.
Warga sepakat. Kebetulan, mereka juga mendapat sumbangan dari donatur yang kemudian dipakai membeli cat, bambu, dan payung guna mempercantik kampung. Dalam sebulan, Kampung Tirang menjadi lebih cerah dan berwarna-warni. Sejumlah titik swafoto dipasang untuk menarik pengunjung.
Seiring ramai pengunjung, izin diajukan ke pemkot agar tempat itu dijadikan obyek wisata resmi. Namun, Kepala Dinas Kepemudaan dan Olahraga dan Pariwisata Kota Tegal Cucuk Daryanto mengakui belum mengeluarkan izin. Alasannya, kawasan itu tak bisa jadi tempat wisata karena dibangun di atas tanah Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman.
”(Kampung Tirang) yang sekarang ditempati warga itu tanahnya pemerintah. Tempat itu diizinkan untuk dipakai sebagai permukiman sementara, bukan wisata,” ucap Cucuk.
Sekretaris Daerah Kota Tegal Johardi menuturkan, pernah ada audiensi antara pemkot dan warga Kampung Tirang. ”Kami memahami di tempat itu sudah terbentuk geliat ekonomi. Prinsipnya, kami mendukung kegiatan yang mampu mendatangkan pendapatan asli daerah. Namun, kami juga harus taat dengan Rencana Tata Ruang Wilayah,” katanyaa.
Sejumlah solusi ditawarkan, antara lain, adalah mencarikan lahan lain atau menggabungkan warga Kampung Tirang dengan kelompok usaha wisata lain. Apa pun kebijakan pemerintah, mereka akan menurut. Betapapun, pariwisata telah membuka secercah angan mengangkat harkat hidup warga Kampung Tirang dari ketersingkiran.