Tegal "Laka-laka", Ruwatan, dan Jejak Gaduh ”Kota Bahari”
Alih-alih bahu-membahu menangani banyak persoalan, mulai dari pandemi hingga pelemahan ekonomi, Wali Kota Tegal dan wakilnya justru saling sikut. Menambah panjang jejak gaduh di ”Kota Bahari” sejak masa kemerdekaan.
Tegal laka-laka! Jargon tersebut lekat dengan Kota Tegal, Jawa Tengah. Dalam dialek tegalan, laka-laka berarti tiada duanya. Entah baik atau buruk, pokoknya ramai. Ungkapan yang belakangan terasa pas seiring deretan kegaduhan di salah satu poros ekonomi pantura Jawa ini.
Beberapa pekan terakhir, publik Kota Tegal digegerkan konflik antara Wali Kota Tegal Dedy Yon Supriyono dan wakilnya, Muhamad Jumadi. Konflik yang mengejutkan, sekaligus memalukan, karena mempertontonkan aksi yang tidak elok dari dua kepala daerah.
Konflik diduga berawal dari penggerebekan terhadap Dedy di sebuah hotel di Jakarta atas tuduhan penyalahgunaan narkoba pada 9 Februari. Kala itu, Dedy digeledah kamarnya, diperiksa, dan diminta menjalani tes urine oleh sejumlah polisi yang mengaku dari Polda Metro Jaya. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, Dedy dinyatakan bebas narkoba. Menurut Dedy, petugas yang memeriksanya mengatakan, pemeriksaan dilakukan setelah menerima laporan dari Jumadi.
Baca juga: Sinyal Ketidakharmonisan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tegal Mencuat
Tidak terima dengan perbuatan Jumadi, Dedy melapor ke Kepolisian Daerah Jateng. Jumadi dipolisikan karena dianggap mencemarkan nama baik, melakukan perbuatan tidak menyenangkan, dan merekayasa kasus.
Tak hanya dilaporkan polisi, Jumadi juga dibuat kebingungan karena sejumlah fasilitas penunjang pekerjaannya sebagai wakil wali kota ditarik. Beberapa fasilitas itu seperti ajudan, sopir, dan sejumlah mobil dinas. Penarikan fasilitas dilakukan karena Jumadi dianggap tidak berangkat kerja tanpa izin selama beberapa hari.
Sejumlah warga Kota Tegal mengaku kecewa karena pemimpin di wilayahnya berkonflik. Disharmoni hubungan pempimpin dikhawatirkan memengaruhi kualitas layanan publik. ”Lebih baik segera berdamai saja. Ini lagi masa pandemi, harusnya pemimpin fokus menangani Covid-19 atau memulihkan perekonomian masyarakat, bukan malah berkonflik seperti itu,” kata Yeri Noveli (44), warga Kelurahan Debong Lor, Kecamatan Tegal Barat, Sabtu (27/2/2021).
Sementara itu, masih ada sebagian warga yang tak mengetahui pemimpinnya sedang berseteru. Warga Kelurahan Kejambon, Kecamatan Tegal Timur, Handoko (52), misalnya, mengaku tidak tahu apa-apa terkait masalah yang menimpa Dedy dan Jumadi.
”Saya tidak tahu ada masalah apa antara Pak Wali Kota dan Pak Wakil. Kalau memang sedang ada masalah semoga bisa segera diselesaikan baik-baik,” ujarnya.
Harmonis
Jauh sebelum persoalan itu muncul, hubungan antara Dedy dan Jumadi cukup harmonis. Dalam berbagai kesempatan, keduanya sering terlihat hadir bersama-sama. Kala memilih tempat duduk dalam suatu acara, keduanya juga selalu berdampingan.
Kekompakan Dedy dan Jumadi juga diakui sejumlah pihak, termasuk tokoh partai yang mengusung mereka dalam Pemilihan Kepala Daerah 2018. Sejak pertama kali datang ke sejumlah partai untuk meminta dukungan, Dedy sudah membawa Jumadi bersamanya.
”Dulu, Dedy datang kepada kami sudah dengan membawa pasangan, yakni Jumadi. Kami partai-partai pengusung tidak memasangkan mereka, tetapi kami sepakat mencalonkan mereka berdua,” kata Sekretaris Dewan Pimpinan Cabang Partai Gerindra Kota Tegal, Sisdiono Ahmad.
Baca juga: Konflik Memanas, Wali Kota Tegal Laporkan Wakilnya ke Polisi
Tak hanya relasi politik, Sisdiono menilai relasi personal Dedy dan Jumadi juga mesra. Bahkan, beberapa kali, gaya rambut keduanya juga sama. ”Kalau dilihat, Dedy gondrong, wakilnya juga ikut gondrong. Itu kan kompak,” ucapnya.
Menurut Sisdiono, kinerja keduanya baik. Dalam kurun hampir dua tahun, sekitar 70 persen program kerja mereka tergolong memenuhi target, salah satunya terkait peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Sepanjang tahun 2019, IPM Kota Tegal sebesar 74,93. Angka itu kemudian naik 0,14 poin menjadi 75,07 pada tahun 2020. Dengan angka tersebut, Kota Tegal masuk dalam 10 kabupaten/kota dengan IPM terbaik se-Jateng.
Kontroversi
Sebelum perseteruan antara wali kota dan wakil wali kota pecah, Kota Tegal beberapa kali mencuri perhatian publik akibat sejumlah kontroversi, terutama pada masa pandemi Covid-19. Pada akhir Maret 2020, Kota Tegal menjadi sorotan setelah pemerintah setempat memutuskan memberlakukan local lockdown.
Saat itu, Kota Tegal menjadi satu-satunya daerah yang terang-terangan mendeklarasikan akan melakukan lockdown. Istilah tersebut kemudian diganti dengan isolasi wilayah terbatas setelah mereka ditegur sejumlah pihak.
Isolasi wilayah tersebut dilakukan dengan cara menutup sejumlah jalan menggunakan pembatas beton untuk menekan pergerakan masyarakat. Kebijakan itu diterapkan di Kota Tegal selama dua pekan setelah seorang warga dinyatakan positif Covid-19.
Setelah mengklaim kasus Covid-19 di wilayahnya terkendali, pasangan Dedy-Jumadi berencana menutup PSBB dengan pesta kembang api dan penyalaan sirene.
Baca juga: PSBB Tegal Ditutup dengan Penyemprotan Disinfektan dan Pesta Kembang Api
Kebijakan kontroversial selanjutnya terkait penutupan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) pada akhir Mei 2020. Setelah mengklaim kasus Covid-19 di wilayahnya terkendali, pasangan Dedy-Jumadi berencana menutup PSBB dengan pesta kembang api dan penyalaan sirene.
Tentunya hal ini membuat dahi sejumlah pihak mengernyit. Setelah sebelumnya mengajukan ide lockdown yang berarti membatasi semua aktivitas, pemerintah daerah yang sama justru mewacanakan ”pesta pora” saat pandemi belum benar-benar usai. Rencana itu akhirnya dibatalkan setelah mendapat banyak kritik karena dinilai memicu potensi kerumunan massa.
Rentetan kebijakan kontroversial berlanjut. Pada Juli 2020, Pemerintah Kota Tegal kembali mengizinkan masyarakat menyelenggarakan hajatan secara terbatas asal sesuai protokol kesehatan. Dalihnya, untuk menggerakkan kembali perekonomian masyarakat. Imbas izin tersebut adalah digelarnya hajatan dalam rangka pernikahan dan khitanan anak Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Tegal, Wasmad Edi Susilo.
Baca juga: Ditegur Gubernur, Pemkot Tegal Larang Hajatan hingga Akhir Oktober
Hajatan dengan hiburan orkes dangdut yang digelar Wasmad tersebut kemudian viral setelah dikritik warganet. Dalam hajatan yang digelar akhir September itu, Wasmad membiarkan massa berkerumun. Dedy dan Jumadi diketahui hadir bersama dalam hajatan tersebut.
Wasmad akhirnya divonis bersalah karena telah melakukan tindak pidana pelanggaran kekarantinaan kesehatan dan tidak mematuhi perintah yang diberikan pejabat yang sah. Akibatnya, ia dijatuhi hukuman 6 bulan penjara dengan masa percobaan 1 tahun dan denda Rp 50 juta subsider 3 bulan penjara.
Potensi
Meski belakangan merebut perhatian publik dengan kegaduhannya, Kota Tegal sebenarnya merupakan salah satu poros ekonomi di wilayah pantura Jawa Tengah bagian barat. Wilayah pesisir ini memiliki sejumlah potensi, mulai dari sektor industri, peternakan, jasa pariwisata, hingga perdagangan. Pada sektor industri, Kota Tegal punya beberapa industri andalan, seperti, pembuatan kok, sarung tenun menggunakan alat tenun bukan mesin, batik tegalan, dan logam.
Industri kok, misalnya, mampu meraup omzet hingga miliaran rupiah per tahun. Dinas Tenaga Kerja dan Perindustrian Kota Tegal mencatat, rata-rata omzet penjualan kok pada 2019 mencapai Rp 14,39 miliar. Angka itu naik drastis dibanding rata-rata omzet 2013 yakni, Rp 2,69 miliar.
Kendati luas wilayahnya hanya sekitar 39 kilometer persegi, Kota Tegal menjadi pusat perdagangan di wilayah pantura barat Jawa Tengah. Tidak heran jika sejumlah pusat perbelanjaan dan tempat hiburan menjamur di daerah ini. Berdasarkan data Dinas Koperasi, UMKM, dan Perdagangan Kota Tegal, tahun 2014, ada 103 perusahaan perdagangan di wilayahnya. Rinciannya, 10 perseroan terbatas dan 93 bukan perseroan terbatas. Sektor perdagangan tersebut menyerap setidaknya 21.610 tenaga kerja.
Baca juga: Upah Kecil Hambat Regenerasi Pekerja Kok Kota Tegal
Sebagai daerah dengan julukan ”Kota Bahari”, Kota Tegal juga memiliki potensi perikanan yang cukup besar. Data Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Kota Tegal mencatat, dalam sehari, nelayan Kota Tegal mampu menghasilkan hingga 900 ton ikan berbagai jenis. Ikan-ikan itu kemudian didistribusikan ke 49 pabrik pengolahan ikan yang ada di kota tersebut dan sekitarnya.
Dengan berbagai potensi dan sumber daya alam tersebut, sejumlah pihak menyayangkan dua pucuk pimpinan di wilayah tersebut justru berkonflik. Alih-alih mengoptimalkan potensi daerah, keduanya justru terseret dalam ego masing-masing.
Dosen Kebijakan Publik di Universitas Pancasakti Tegal Hamidah Abdurrachman misalnya, berharap wali kota Tegal dan wakilnya kembali berdamai. ”Daripada berkonflik, lebih baik keduanya berdamai. Sebab, masih banyak persoalan yang lebih besar dan harus menjadi perhatian Wali Kota dan Wakil Wali Kota,” kata Hamidah.
Hamidah mencontohkan, dalam penanganan pandemi Covid-19, Kota Tegal tergolong belum maksimal. Hingga Sabtu (27/2/2021), jumlah kasus Covid-19 kumulatif yang dicatatkan Kota Tegal sebanyak 2.789 orang. Dari jumlah tersebut, 296 orang merupakan kasus aktif dan 242 orang meninggal.
Hamidah meminta Dedy dan Jumadi mengambil langkah-langkah luar biasa agar kasus Covid-19 di wilayahnya tidak terus meningkat. ”Jangan sampai karena ada konflik, pengendalian Covid-19 jadi terabaikan,” ucapnya.
Hamidah juga berharap Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tegal memikirkan cara menurunkan angka kemiskinan dan memulihkan perekonomian di daerahnya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Jateng, angka kemiskinan di Kota Tegal pada 2020 sebesar 7,80 persen. Angka ini naik 0,33 persen dari angka kemiskinan pada 2019 yang mencapai 7,47 persen.
Baca juga: Vaksinasi Tahap Kedua di Pantura Jateng, ASN hingga Jurnalis Jadi Target
”Ini pelajaran yang cukup berharga bagi keduanya. Ke depan, pola komunikasi di antara mereka harus diperbaiki. Yang salah harus minta maaf dan yang dimintai maaf harus memaafkan demi kebaikan bersama,” kata Hamidah.
Ruwatan
Konflik antara Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tegal bukan kali ini saja terjadi. Berdasarkan catatan Kompas, konflik serupa pernah terjadi pada tahun 2015. Wali Kota Tegal saat itu, Siti Masitha Soeparno, berseteru dengan wakilnya, Nursholeh. Perseteruan keduanya diduga berawal dari utang-piutang biaya pencalonan saat pilkada. Konflik itu membuat Aparatur Sipil Negara di lingkungan Pemkot Tegal terbelah menjadi dua kubu.
Menanggapi persoalan di lingkungan Pemerintahan Kota Tegal belakangan, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengaku prihatin. Ganjar sudah berkomunikasi dengan Dedy dan Jumadi. Dalam komunikasinya tersebut, Ganjar menyarankan agar keduanya duduk bersama, menyelesaikan persoalan, dan berdamai.
”(Kota Tegal) ini dari dulu ada-ada saja. Apa perlu diruwat ya? Kita buat istigasah, pengajian, dan wayangan biar adem lagi,” kata Ganjar.
Budayawan Tegalan Atmo Tan Sidik mengatakan, ruwatan adalah sebuah cara membersihkan individu atau keluarga dari sengkala (marabahaya) dan reribet (kesusahan) dengan kearifan lokal. Menurut Atmo, dalam ruwatan, individu atau keluarga yang tertimpa kesusahan dipertemukan dengan penyertaan fungsi-fungsi kesenian dan humor.
”Ruwat itu biasanya identik dengan wayang. Ruwat itu bisa diterjemahkan sebagai pertemuan dengan menyertakan fungsi-fungsi kesenian dan humor dengan tujuan untuk mengurangi kekauan dalam komunikasi,” ucap Atmo
Usulan Ganjar boleh jadi ada unsur guyonan. Meski demikian, hal itu mungkin saja adalah sebuah sentilan. Terlebih, kontroversi dan kegaduhan seolah tak pernah lepas dari peradaban Kota Tegal, bahkan sejak masa kemerdekaan.
Serajawan pantura, Wijanarto, mengungkapkan, dalam catatan sejarah, setelah proklamasi kemerdekaan, sejumlah masyarakat di tiga daerah, yakni Tegal, Pemalang, dan Brebes, menyambut bahagia kabar tersebut. Sebaliknya, sejumlah kalangan birokrat di Tegal menyambut kabar tersebut dengan perasaan ragu. Para birokrat kala itu juga khawatir dengan reaksi Jepang terhadap perjuangan rakyat.
Sejumlah birokrat saat itu, lanjut Wijanarto, sempat melarang masyarakat mengibarkan bendera Merah Putih. Mereka menganggap meski Jepang sudah kalah, penguasa lama, yakni Belanda bisa jadi datang lagi. Sikap ini kemudian membuat jurang pemisah antara birokratis dengan rakyat semakin lebar.
Baca juga: Memetik Hikmah Dangdutan Viral di Tegal
Perlawanan rakyat terhadap birokrat Tegal kala itu mulai diwujudkan dengan protes menuntut agar sejumlah pejabat diganti. Seiring berjalannya waktu, aksi tersebut semakin liar. Sejumlah pejabat desa dan kaum elite dibunuh karena dianggap menyengsarakan rakyat. Peristiwa ini kemudian menyedot perhatian Presiden Soekarno.
”Kala itu, (Presiden) Soekarno turun langsung ke Tegal kemudian berpesan agar peristiwa itu dihentikan. Tegal juga diminta tidak membuat negara sendiri,” ucap Wijanarto.
Kala itu, Soekarno turun langsung ke Tegal kemudian berpesan agar peristiwa itu dihentikan. Tegal juga diminta tidak membuat negara sendiri. (Wijanarto)
Islah
Wijanarto menambahkan, peradaban Kota Tegal yang selalu diwarnai kehebohan tak bisa lepas dari sifat dan karakter orang Tegal. Dia menjabarkan, watak orang Tegal sering digambarkan sesuai falsafah lokal yakni, banteng loreng binoncengan.
Orang Tegal diibaratkan seekor banteng yang akan bersikap tenang apabila dikendalikan seseorang yang mengetahui bagaimana banteng harus diperlakukan. Namun, orang Tegal juga akan bersikap seperti banteng yang mengamuk apabila tersakiti. Hal itu pernah dijabarkan Anton Lucas, Indonesianis berkebangsaan Australia dalam bukunya berjudul Peristiwa Tiga Daerah (1989).
”Orang Tegal juga memiliki sifat blakasuta atau apa adanya. Saat sedang ada sesuatu, ia cenderung akan terbuka dan lugas mengekspresikan perasaan,” kata Wijanarto.
Meski demikian, menurut Wijanarto, orang Tegal sebenarnya juga dikenal memiliki sifat mlastar atau berjiwa sosial tinggi. Saat kedatangan tamu, misalnya, orang Tegal akan menjamu tamunya dengan teh poci. Mengobrol sembari menyeruput teh poci diharapkan bisa mengakrabkan suasana dan membuat obrolan menjadi lebih panjang. Artinya, kekerabatan menjadi nilai hidup orang Tegal. Hal ini seyogianya juga diinsafi Dedy dan Jumadi.
Atmo Tan Sidik berharap kedua pemimpin di Kota Tegal yang sedang berseteru segera berdamai. Ia mengingatkan, Kota Tegal memiliki sesanti atau slogan berbunyi Purnaning Pangesthi, Wisiking Gusti yang berarti, kebeningan spiritual pemimpin mutlak diperlukan agar Kota Tegal selalu diberi petunjuk oleh Tuhan Yang Maha Kuasa dalam setiap perjalanannya.
”Kalau memang perlu mengekspresikan kemarahan, ekspresikanlah. Tetapi, tidak boleh berlarut-larut,” ucapnya.
Semua pihak berharap konflik di antara kedua pemimpin di Kota Tegal bisa segera diselesaikan. Jangan sampai, Kota Tegal hanya masyhur dengan kegaduhan yang negatif, tetapi minim prestasi.
Islah keduanya diharapkan bisa membuat pemerintah daerah kembali fokus mengerjakan pekerjaan rumah dengan memanfaatkan pelbagai potensinya. Dengan begitu, Tegal bisa kembali laka-laka, tiada duanya. Tentu dalam hal baik.
Baca juga: Pasokan Seret, Aktivitas Pelelangan Ikan di Tegal Lesu