Ki Narto Sabdo dan Penanda Zaman di Kawasan Semarang Lama
Patung dada maestro dalang dan karawitan Ki Narto Sabdo di Jalan Pemuda, sekitar Pasar Johar, Kota Semarang, Jawa Tengah, diresmikan pada Selasa (30/3/2021).
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
SEMARANG, KOMPAS - Patung dada maestro seni pedalangan dan karawitan Ki Narto Sabdo (25 Agustus 1925-7 Oktober 1985), di Jalan Pemuda, sekitar Pasar Johar, Kota Semarang, Jawa Tengah, diresmikan pada Selasa (30/3/2021). Patung tersebut menjadi salah satu pengingat kebesaran sang dalang, yang berpengaruh besar pada perkembangan dunia pedalangan di Tanah Air.
Patung yang terbuat dari tembaga, dengan tinggi 1,7 meter (3,5 meter dengan penyangga) tersebut merupakan inisiasi pribadi dari pianis, komponis, musisi, dan budayawan, yang juga salah satu tokoh kelompok usaha Jamu Jago, Jaya Suprana. Itu sebagai penghormatan karena Jaya pernah belajar pada Ki Narto Sabdo.
Ini merupakan patung kedua Ki Narto Sabdo di Kota Semarang. Sebelumnya, patung tokoh yang juga pentolan Wayang Orang (WO) Ngesti Pandowo itu terdapat di Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang yang diresmikan tahun 1998. Letaknya persis di depan gedung yang juga memakai namanya, yang selama ini menjadi tempat pertunjukan WO Ngesti Pandowo.
Jaya berterima kasih kepada Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi atas izin pendirian patung itu. "Ki Narto Sabdo mahaguru saya dalam bidang filsafat musik jawa dan pewayangan. Nama harum Ki Narto Sabdo bukan saja semerbak di Semarang, tetapi juga di Indonesia, bahkan mancanegara," kata Jaya, dalam sambutan yang dibacakan Direktur Utama PT Jamu Jago, Ivana Suprana, Selasa.
Jaya menambahkan, peresmian monumen itu menjadi langkah awal perjalanan panjang warga Semarang, untuk menobatkan Ki Narto Sabdo, sebagai pujangga musik, menjadi Pahlawan Nasional. "Sama halnya dengan Ismail Marzuki sebagai pujangga musik yang telah dinobatkan menjadi Pahlawan Nasional," lanjutnya.
Perwakilan keluarga Narto Sabdo, Dhanang Respati Puguh, menuturkan, patung itu menjadi penanda bagi satu memori kolektif. "Harus diingat masyarakat Semarang bahwa di kota ini pernah berkiprah seorang seniman yang melegenda dalam dunia seni karawitan dan seni pedalangan," kata Dhanang, yang juga Ketua Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro.
Dhanang menjelaskan, Narto Sabdo tidak memiliki anak biologis. Namun, sejumlah anak, seperti keponakannya, tingggal bersama, sehingga sudah seperti anak sendiri. Di antaranya yakni Dhanang, serta kakaknya, Jarot Sabdono. Keduanya hadir dalam peresmian patung Ki Narto Sabdo, pada Selasa.
Sebelum mendalang, Soenarto, nama asli Narto Sabdo, yang lahir di Wedi, Klaten, Jateng, dikenal sebagai pentolan Ngesti Pandowo, kelompok WO yang berdiri di Madiun, Jawa Timur. Narto Sabdo diajak bergabung dalam kelompok itu oleh pendirinya, Ki Sastrosabdo. Seiring waktu, selain menjadi pemain 9 gendang dan 3 tambur, Soenarto dipercaya menjadi pemimpin karawitan.
WO Ngesti Pandowo pun dibawanya menjadi kian berkembang dan digandrungi. Atas jasanya, Soenarto diizinkan Sastrosabdo untuk menyematkan ”Sabdo” di belakang namanya. Sejak itu, ia dikenal sebagai Narto Sabdo. Atas dorongan Sastrosabdo, Narto Sabdo lalu mengembangkan kemampuannya pada dunia pedalangan.
Benar saja, kariernya makin cemerlang. Memulai debut pentas mendalang di Jakarta dan disiarkan Radio Republik Indonesia (RRI) pada 1958, Narto Sabdo menjelma menjadi dalang paling top pada masanya, terutama pada 1970-an. Ia dikenal akan guyonan-guyonan yang membuat pertunjukan wayang lebih hidup dan tak membuat kantuk.
Namun, karena sering melucu, Narto Sabdo juga kontroversial. Sejumlah dalang wayang kulit lain pada masa itu menilainya telah menyimpang dari pakem. Meski demikian, ada juga suara-suara yang tak mempermasalahkan hal tersebut karena itu bentuk keterbukaan pada perkembangan, tanpa menghilangkan nilai tradisi.
Catatan Kompas, pada 1995, atau 10 tahun setelah meninggal, ia mendapat tanda kehormatan Bintang Mahaputera Nararya dari pemerintah dan menjadi dalang pertama yang mendapat penghargaan itu. Sementara, pada 2010, seperti dikutip dari Kompas.com, Narto Sabdo mendapat tanda kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma.
Pada 7 Oktober 1985, di rumahnya Jalan Anggrek X/7 Semarang, pukul 07.45, Narto Sabdo meninggal dan dikebumikan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Bergota, Semarang. Ia meninggalkan istri bernama Tumini. Semasa hidup, ia menciptakan ratusan gending. Salah satu karyanya yang populer ialah "Gambang Suling".
Barometer
Dalang muda asal Kota Semarang, Sindhunata Gesit Widiarto, mengatakan, Ki Narto Sabdo merupakan barometer dunia pedalangan, termasuk bagi generasi muda. Itu antara lain pada ontowecono (dialog) dan sastra gending.
"Ki Narto Sabdo menggabungkan gagrak Solo dan Yogya serta memasukkan genre Banyumasan. Lantaran beliau di Semarang, maka dikenal dengan gaya semarangan. Bagi dalang-dalang muda, lakon-lakon beliau selalu menjadi acuan untuk menggarap atau memperbarui lakon-lakon. Pasti kami dengarkan dulu karya beliau," ujarnya.
Seniman asal Semarang, Hartono, menyebut patung Ki Narto Sabdo sebagai penanda zaman. Hal-hal terkait itu dapat dimanfaatkan untuk dunia pendidikan dan hal-hal lain pada sektor ekonomi, politik, atau kebudayaan. Hal itu diharapkan juga turut menjadi penunjang kemajuan Kota Semarang.
Sekretaris Daerah Kota Semarang Iswar Aminuddin mengatakan, diresmikannya patung Ki Narto Sabdo, yang merupakan salah satu tokoh besar di Semarang, ialah perwujudan kerja sama. Selain diinisiasi oleh pihak Jamu Jago, juga terjalin komunikasi antara Pemkot Semarang dengan para seniman.
"Ditempatkannya patung Ki Narto Sabdo di wilayah ini karena ada perjalanan sejarah Kota Semarang. (Di sekitarnya) ada Masjid Agung Semarang dan alun-alun yang dibangun kembali, serta Pasar Johar," kata Iswar.
Sebelumnya, pada Juli 2020, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan Semarang Lama sebagai cagar budaya peringkat nasional. Kawasan tersebut mencakup antara lain kawasan Kauman, Kampung Melayu, dan Pecinan. Jika ditotal, luas keseluruhannya sekitar 100 hektar.