Tidak Impor Belum Cukup, Petani Karawang Minta Pembenahan Banyak Sektor Vital
Sejumlah petani di Karawang, Jawa Barat, menyambut baik tidak adanya impor beras hingga Juni 2021. Lebih dari itu, mereka berharap agar pemerintah berfokus pada persoalan lain yang lebih prioritas.
Oleh
MELATI MEWANGI
·3 menit baca
KARAWANG, KOMPAS — Petani di Karawang, Jawa Barat, menyambut baik tidak adanya impor beras hingga Juni 2021. Pemerintah diminta fokus menyelesaikan persoalan krusial, yakni pemberdayaan petani, peningkatan harga, infrastruktur, dan ketersediaan pupuk bersubdisi.
Wakil Ketua Kontak Tani dan Nelayan Andalan Kabupaten Karawang Ijam Sujana menilai, keputusan batalnya impor beras penting untuk melindungi para petani dari anjloknya harga gabah saat panen raya. Di Karawang, panen raya diprediksi terjadi pada April dan Mei.
Dibandingkan impor beras, Ijam menyarankan pemerintah fokus meningkatkan pemberdayaan petani. Kemudahan mendapatkan pupuk bersubsidi dan menaikkan harga standar gabah kering panen, misalnya.
”Mungkin biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk mengimpor beras lebih murah ketimbang memberdayakan petani. Padahal, jika sektor pertanian diperkuat melalui pelatihan untuk anak muda dan akses permodalan, produktivitas panen pasti meningkat,” kata Ijam, Sabtu (27/3/2021) siang.
Selama bertahun-tahun, para petani terus diuji dengan berbagai kebijakan dan kendala klasik yang tak pernah ada habisnya. Tahun lalu, mereka kembali kesulitan mendapatkan pupuk bersubsidi. Sebagian petani harus mengeluarkan biaya pembelian pupuk nonsubsidi hingga dua kali lipat, hingga Rp 2 juta.
Biasanya, pemupukan dilakukan minimal dua kali dalam satu periode tanam. Pupuk digunakan untuk tanaman padi berumur 14 hari setelah tanam (hst) dan 30 hst. Ongkos yang dikeluarkan para petani untuk membeli pupuk bersubsidi sekitar Rp 800.000. Jumlah tersebut sudah mencukupi kebutuhan pemupukan selama masa tanam.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 1 Tahun 2020 tentang Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian Tahun Anggaran 2020, harga eceran tertinggi (HET) pupuk urea ditetapkan Rp 1.800 per kg. Sementara harga pupuk nonsubsidi yang dibeli para petani rata-rata di atas Rp 2.500 per kg.
Ijam juga meminta pemerintah mengupayakan perbaikan sarana irigasi. Tak sedikit saluran irigasi dan tanggul yang jebol sehingga berdampak pada pengairan ke sawah petani yang terlambat (kering) atau justru sebaliknya (kebanjiran).
Regenerasi petani juga masih terbatas. Berdasarkan hasil survei pertanian antarsensus tahun 2018 oleh Badan Pusat Statistik, mayoritas petani utama berada pada usia 45-54 tahun, yakni sebanyak 7,8 juta orang atau 44 persen.
Selanjutnya, data menyebutkan, petani berusia 35-44 tahun sebanyak 6,6 juta orang, usia 25-34 tahun (2,9 juta orang), dan usia di bawah 25 tahun (273.000 orang). Sementara Dinas Pertanian Karawang mencatat, jumlah kelompok petani muda hanya sekitar 17 unit, sementara kelompok dewasa mencapai 2.230 unit.
Ketua Kelompok Tani Tirta Berkah Desa Ciranggon Kecamatan Majalaya Asep Saepudin mengusulkan hal berbeda. Dia justru meminta kebijakan pupuk bersubsidi dihapuskan, tetapi harga pembelian pemerintah (HPP) dinaikkan menjadi Rp 5.000 per kg. Sebab, ketersediaan pupuk bersubsidi tak bisa menjamin akan meningkatkan produktivitas panen.
Sebagian petani kesulitan untuk mendapatkan pupuk bersubsidi karena stok habis atau langka saat masa pemupukan. ”Anggaran untuk pupuk bersubsidi sebaiknya dialihkan ke harga gabah saja. Bagaimana mau swasembada pangan, jika jatah pupuk dikurangi. Bahkan, sempat langka,” ujar Asep.
Saat ini, harga jual gabah kering panen (GKP) di tingkat petani mencapai Rp 3.800 per kg. Harga ini jauh di bawah harga pembelian gabah (HPP) yang ditetapkan oleh pemerintah, yakni Rp 4.200 per kg.
”Penawaran harga dari tengkulak bisa lebih tinggi, kalau gabahnya bagus harganya bisa mencapai Rp 4.700 per kg. Mereka melihat bagus-tidaknya gabah tanpa menggunakan alat pengukur kadar air,” kata Asep.