Tak Perlu Impor, Universitas Trunojoyo Madura Tawarkan Produksi Garam Terintegrasi
Universitas Trunojoyo Madura menawarkan sistem produksi garam terintegrasi dengan sasaran petambak, kelompok, dan koperasi untuk memaksimalkan produksi. Rencana impor 3,07 juta ton garam agar dibatalkan.
Oleh
AMBROSIUS HARTO/AGNES SWETTA PANDIA
·3 menit baca
BANGKALAN, KOMPAS — Universitas Trunojoyo Madura, Jawa Timur, menyayangkan keputusan pemerintah yang akan mengimpor 3 juta ton lebih garam krosok. Impor tidak diperlukan jika industri garam rakyat dimaksimalkan, salah satunya dengan produksi terintegrasi.
”Dalam kajian akademis kami, stok garam krosok yang ada masih mencukupi kebutuhan dalam negeri. Keputusan impor amat disayangkan,” ujar Rektor Universitas Trunojoyo Madura (UTM) Muhamad Syarif, Rabu (24/3/2021). Syarif juga Pembina Himpunan Masyarakat Petambak Garam Jatim di Bangkalan.
Menurut data Dinas Kelautan dan Perikanan Jatim, stok garam di daerah mencapai 2,9 juta ton. Sebanyak 2,7 juta ton atau 94 persen garam kualitas produksi (KP) 1 dan 152.265 ton atau 5,2 persen KP 2. Adapun kategori KP 3 sebanyak 15.511 ton atau 0,5 persen.
Melihat data itu, lanjut Syarif, keputusan mengimpor garam terkesan terburu-buru dan mengabaikan keberadaan jutaan jiwa rakyat di sentra-sentra produksi garam. Sorotan terhadap rencana impor itu akhirnya mendorong Kementerian Perindustrian meminta penambahan serapan garam rakyat oleh industri. Syarif menilai, seharusnya peningkatan serapan itu yang ditempuh, bukan impor.
Apabila untuk memenuhi kebutuhan di masa depan, seusai musim hujan, paling cepat Mei, produksi garam oleh rakyat akan dimulai. Syarif berpendapat, untuk itu, pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan perlu mendorong optimalisasi produksi garam sehingga berkualitas dan mampu menyejahterakan rakyat petambak garam.
UTM pun menyarankan intensifikasi tambak garam segera ditempuh. Saat ini, tambak yang produktif diperkirakan 24.000 hektar se-Indonesia. Produksi per hektar yang 100 ton bisa dioptimalkan menjadi dua kali lipat.
Dengan demikian, nantinya produksi total nasional mencapai 4,8 juta ton dan jumlah tersebut cukup untuk seluruh kebutuhan industri dan konsumsi rakyat. ”Kami juga mendorong pemanfaatan teknologi peningkatan kualitas sehingga produksi rakyat memenuhi standar industri,” kata Syarif.
UTM siap mendampingi produksi garam terintegrasi di 64 lokasi sebaran potensial di Indonesia. Teknologi yang ditawarkan ialah percepatan penuaan air tua, pemurnian air umpan, dan manajemen koperasi garam tingkat kelompok tani.
Syarif mengklaim, teknologi yang dikembangkan UTM untuk produksi garam terintegrasi dapat mengolah garam krosok menjadi kebutuhan standar industri dengan nilai investasi yang terjangkau. Dalam skala laboratorium, peralatan dan perlengkapan produksi garam yang dikembangkan UTM dapat menekan kehilangan sekaligus meniadakan partikel cemaran.
Secara terpisah, anggota Komisi B DPRD Jatim Daniel Rohi menyatakan keberatan dengan rencana impor garam. Setiap tahun, jumlah impor garam cenderung meningkat dan belum ada jaminan produk tersebut tidak merembes ke pasar tradisional sehingga mengganggu harga garam produksi rakyat.
Pada 2016, impor garam sebanyak 2,1 juta ton. Tahun berikutnya, impor garam 2,5 juta ton. Pada 2018, impor naik lagi menjadi 2,8 juta ton. Pada 2019, impor garam turun ke 2,6 juta ton, tetapi tahun berikutnya naik menjadi 2,7 juta ton. Tahun ini, Indonesia membuat rekor baru dengan impor 3,07 juta ton garam. ”Impor menyakiti perasaan rakyat, terutama petambak garam yang stok garamnya belum diserap,” kata Rohi.
Petambak garam di Kabupaten Sampang, Miftahul, yang dihubungi terpisah, mengatakan, menjaga stok garam juga menuntut biaya. Sejauh garam tidak terkena air, kualitasnya tidak akan turun. Namun, jika kantong kemasan rusak, petani harus mengeluarkan biaya pengganti untuk membeli karung sekaligus biaya buruh untuk pengemasan garam.