Stok Garam Jatim Melimpah 2,9 Juta Ton, Audit Ulang Stok Nasional
Meski produksi garam rakyat tahun lalu turun akibat anomali cuaca, stok di sentra produksi garam di Jatim melimpah karena daya serap pasar rendah. Optimalkan serapan garam rakyat dan audit ulang stok garam nasional.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI/AMBROSIUS HARTO
·6 menit baca
Kompas/Bahana Patria Gupta
Petani membawa karung ukuran 50 kilogram berisi garam di Sentra Produksi Garam Kecamatan Sedati, Kabupaten Sidoarjo, Rabu(21/10/2020). Hujan yang mulai turun menandai berakhirnya masa produksi garam di kawasan tersebut. Saat ini, harga garam dari petani Rp 200 per kilogram.
SURABAYA, KOMPAS — Meski produksi garam rakyat tahun lalu turun akibat anomali cuaca, stok di sentra produksi Jatim melimpah karena daya serap pasar rendah. Petambak bahkan kesulitan tempat penyimpanan untuk menjaga kualitas garamnya. Pemerintah harus mengoptimalkan serapan garam rakyat dan audit ulang stok garam nasional sebagai landasan kebijakan importasi.
Data Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jatim menunjukkan stok garam sebanyak 2,9 juta ton. Stok tersebut didominasi oleh garam Kualitas Produksi (KP) 1 sebesar 2,7 juta ton atau 94 persen dari total stok. Sementara itu, stok garam KP 2 hanya 152.265 ton dan KP 3 sebanyak 15.511 ton. Garam dengan kualitas produksi 1 memiliki kadar NaCl lebih dari 97 persen atau memenuhi kualifikasi garam untuk kebutuhan industri.
Tingginya volume produksi garam rakyat dengan kualitas tinggi terjadi karena mayoritas petambak telah menerapkan teknologi geomembran dalam proses produksinya. Lebih dari 60 persen petambak menerapkan teknologi tersebut secara swadaya ataupun dengan bantuan program pendanaan dan pendampingan dari Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) dan Pemprov Jatim.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jatim Gunawan Shaleh mengatakan, dari stok sebesar 2,9 juta ton, hanya sebagian kecil yang merupakan produksi tahun 2020, yakni sekitar 600.000 ton dari total produksi selama setahun sebanyak 714.724 ton. Selebihnya, sebanyak 2,3 juta ton merupakan sisa produksi tahun sebelum-sebelumnya yang tidak terserap pasar.
”Realiasasi produksi garam 2020 memang rendah, yakni hanya 714.724 ton dari target produksi 1,3 juta ton yang dicanangkan oleh pemerintah. Penyebabnya rendahnya produksi tersebut beragam, salah satunya kegairahan petambak yang merosot karena daya serap pasar rendah,” ujar Gunawan Shaleh, Senin (15/3/2021).
Kompas/Bahana Patria Gupta
Petani memindahkan garam yang baru dipanen di sentra produksi garam di Kecamatan Sedati, Sidoarjo, Jawa Timur, Senin (14/9/2020). Petani garam di kawasan itu mengkhawatirkan hujan yang bisa turun sewaktu-waktu di musim kemarau. Sepuluh hari sekali, jika panas terik, para petani bisa memanen garam.
Rendahnya daya serap pasar berimplikasi pada anjloknya harga jual garam. Garam KP 1 yang seharusnya dihargai Rp 700 per kg jatuh tinggal Rp 300 hingga Rp 350 per kg. Padahal, biaya produksi garam ditingkat petani menyentuh Rp 450-Rp 550 per kg. Garam KP 2 dan KP 3 harganya tinggal Rp 200.000 per kg, bahkan lebih rendah lagi.
Jatim merupakan sentra produksi garam nasional dengan kontribusi lebih dari 60 persen. Luas lahan garam mencapai 5,9 juta hektar yang tersebar di 13 kabupaten, antara lain Sampang, Pamekasan, Sumenep, Sidoarjo, Gresik, dan Surabaya. Lahan garam terluas terdapat di Pulau Madura sehingga mendapat julukan Pulau Garam.
Total luas lahan di Pulau Madura sebanyak 5,8 juta ha atau 98 persen dari total luas lahan di Jatim. Adapun lahan tersebut tersebar di empat kabupaten, yakni Sampang, Sumenep, Pamekasan, dan Bangkalan. Jumlah petambak garam di Madura sebanyak 6.038 orang atau 76 persen dari total petambak garam di Jatim sebanyak 7.910 orang.
Ketua Himpunan Masyarakat Petambak Garam Jatim Muhammad Hasan mengatakan, petambak garam saat ini mengalami pukulan bertubi-tubi. Pukulan itu berupa hasil panen yang tidak terserap oleh pasar sehingga menumpuk di gudang garam. Bahkan, petambak kewalahan menyimpan hasil produksi tahun lalu karena gudang masih dipenuhi stok 2019.
Penyimpanan garam yang tidak standar mengancam kualitas dan membuat garam tidak tahan lama. Dengan kualitas yang turun, harga garam bakal semakin anjlok. Pukulan terhadap petambak garam semakin telak setelah dibukanya kembali keran impor yang justru semakin lebar.
Kompas/Bahana Patria Gupta
Petani memanen garam di sentra produksi garam di Kecamatan Sedati, Sidoarjo, Jawa Timur, Senin (14/9/2020). Petani garam di kawasan tersebut mengkhawatirkan hujan yang bisa turun sewaktu-waktu di musim kemarau. Sepuluh hari sekali, jika panas terik, para petani bisa memanen garam.
Impor garam tahun ini diprediksi 3.07 juta ton, naik dibandingkan tahun lalu yang 2,7 juta ton. Impor itu diklaim untuk mengimbangi produksi garam nasional 2021 yang diprediksi 2,1 juta ton, sedangkan kebutuhan garam nasional diperkirakan mencapai 4,67 juta ton. Produksi garam dipenuhi dari lahan produksi seluas 21.000-22.000 ha.
Kenaikan impor garam diklaim untuk memenuhi kebutuhan garam industri 3 juta ton per tahun, naik dari sebelumnya 2 juta ton per tahun. Industri mensyaratkan garam dengan kadar NaCl 97-98 persen, sedangkan garam rakyat memiliki kadar NaCl di bawah 97 persen.
Hasan mendesak pemerintah mengaudit stok garam nasional. Hasil audit itu menjadi acuan bagi semua kementerian terkait dalam menyusun kebijakan importasi. Menurut dia, impor 3 juta ton garam itu kebijakan yang keterlaluan mengingat stok garam nasional masih tinggi.
HMPG juga mendorong pemerintah agar mendesak industri pengolahan merealisasikan penyerapan garam rakyat sebagai bahan baku produksi. ”Ada indikasi industri pengolahan enggan menyerap garam rakyat karena membanjirnya garam impor. Terkait hal itu, pengawasan tata niaga garam harus diperketat agar tidak terjadi penyalahgunaan garam impor,” kata Hasan.
Pengawasan yang ketat juga diperlukan untuk memastikan garam impor tidak merembes ke pasar garam konsumsi yang selama ini menyerap garam rakyat. Masih menurut Hasan, pemerintah harus segera memasukkan garam sebagai barang kebutuhan pokok/penting dan menetapkan harga pokok pembelian (HPP) untuk melindungi petani.
Perjuangan panjang telah ditempuh petambak garam Jatim demi terwujudnya swasembada garam nasional. Namun, mereka butuh dukungan kuat dari pemerintah selaku pemangku kebijakan. Hanya dengan kebijakan yang berpihak pada usaha garam rakyat, produktivitas petambak akan meningkat dan keberlangsungan usaha mereka sebagai tulang punggung ekonomi regional tetap terjaga.
Di Madura, stok garam petani Sampang dan Sumenep setidaknya 200.000 ton. Jumlah itu belum termasuk stok petani garam Bangkalan dan Pamekasan serta stok PT Garam yang mayoritas produksinya juga di pulau tersebut.
”Kami tidak anti-impor, tetapi sebaiknya pemerintah menyerap terlebih dahulu garam rakyat,” ujar petani garam sekaligus Kepala Desa Pinggir Papas, Kalianget, Sumenep, Ubaid saat dihubungi dari Surabaya, Senin (15/3/2021).
Ubaid mengklaim, stok kalangan petani di Sumenep lebih dari 100.000 ton. Stok itu sekitar 20 persen merupakan hasil produksi 2018 dan 2019, sedangkan mayoritas merupakan produksi tahun lalu. Stok belum terserap oleh pasar atau industri meski karakteristik garam tahan lama.
Padahal, karakteristik garam untuk industri aneka pangan dan garam rakyat amat mirip. Kami kembali khawatir bahwa impor nantinya akan disalahgunakan sehingga harga garam rakyat di pasar jatuh.
Mftahul dari Asosiasi Petani Garam Sampang mengatakan hal serupa, yakni masih terdapat sekitar 100.000 ton garam rakyat yang belum terserap. Garam itu hasil produksi 2018-2020.
Adapun sejak Oktober 2020, produksi garam di Madura yang mayoritas di Jatim terhenti karena musim hujan. Produksi akan kembali pada musim kemarau dengan perkiraan tercepat Juni 2021.
Di Jatim, menurut Ubaid dan Miftahul, harga tertinggi yang bisa dinikmati petani adalah Rp 600 per kilogram. Harga itu sudah termasuk komponen biaya pengiriman dari tambak atau gudang ke pabrik di Madura, Surabaya, Sidoarjo, Gresik atau kabupaten/kota lainnya di Jatim.
”Harga itu di bawah kondisi minimal yang diharapkan Rp 750 per kilogram. Harga yang rendah mengakibatkan kalangan petani, khususnya di Sampang, ditambah pandemi Covid-19 tidak produksi garam,” kata Miftahul.
Kalangan petani yang membiarkan sementara tambaknya ialah mereka yang lokasi rumah ke tambak terlalu jauh. Lokasi tambak petani bisa terletak di luar kabupaten tempat mereka tinggal. Komponen transportasi yang akan tinggi jika tetap berproduksi, sementara harga garam tidak tinggi mengakibatkan petani garam memilih pekerjaan lain.
Ubaid dan Miftahul mengingatkan, kalangan petani tidak anti-impor. Namun, pemerintah diminta jujur untuk membuka data berapa sebenarnya kebutuhan garam untuk industri yang harus dipenuhi impor. Petani garam Madura menghendaki revisi Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 88 Tahun 2014 tentang Peta Panduan Pengembangan Klaster Industri Garam. Regulasi itu sebagai perubahan atas Permenperin No 134/2009.
Dalam aturan 2009, garam konsumsi meliputi garam rumah tangga dan aneka pangan. Industri garam rumah tangga dan aneka pangan harus menyerap garam rakyat. Dalam aturan 2014, garam aneka pangan dimasukkan dalam kluster garam industri yang pemenuhannya bisa lewat impor.
Dengan kata lain, aturan 2014 menekan potensi penyerapan garam rakyat oleh industri aneka pangan. ”Padahal, karakteristik garam untuk industri aneka pangan dan garam rakyat amat mirip. Kami kembali khawatir bahwa impor nantinya akan disalahgunakan sehingga harga garam rakyat di pasar jatuh,” kata Ubaid.