600.000 Bibit Jati Ditanam di Muna, Komoditas Lain Penting Dikembangkan
Selama lima tahun, perusahaan berencana mengembangkan 5.000 hektar kawasan untuk 2,5 juta tanaman jati. Ke depan, pemanfaatan jati akan dikembangkan untuk industri turunan, serupa mebel, atau produk turunan lainnya.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Penanaman bibit jati di Muna, Sulawesi Tenggara, terus dilakukan untuk mengembangkan kembali jati di wilayah ini. Sebanyak 600.000 bibit disiapkan pada tahap pertama di lokasi seluas 1.233 hektar di kawasan hutan produksi selama satu tahun ke depan. Pengembangan diharapkan tetap memperhatikan masyarakat, hilirisasi industri, hingga sektor komoditas lain ke depan.
Penanaman jati di Muna dilakukan oleh PT Sele Raya Agri sejak pekan lalu. Perusahaan ini memiliki izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Tanaman pada Hutan Produksi seluas 18.980 hektar di Muna dan Muna Barat.
”Kami sudah mulai untuk penanaman bibit di tahap pertama. Sebanyak 600.000 bibit disiapkan untuk lahan seluas 1.233 hektar. Kami mulai bertahap dan berharap bisa menuntaskan dalam satu tahun ke depan,” kata Wahyu dari Humas PT Sele Raya Agri, dihubungi dari Kendari, Sultra, Selasa (16/3/2021).
Menurut Wahyu, sebanyak 600.000 bibit yang disiapkan tersebut menggunakan sistem perbanyakan vegetatif stek pucuk. Saat tumbuh, akan menghasilkan akar tunggang majemuk yang tumbuh lebih cepat dari model konvensional. Masa panen menjadi maksimal 12 tahun, dari masa normal yang mencapai 30 tahun.
Bibit yang disiapkan, tambah Wahyu, berasal dari sejumlah tempat pengembangan. Beberapa di antaranya adalah jati nuklir yang merupakan pengembangan LIPI dan Batan, balai benih, dan lainnya. Jati Malabar Muna yang selama ini menjadi bibit unggulan di wilayah ini juga termasuk yang sedang dikembangkan.
Model pengembangan dilakukan berbasis sistem kemitraan kehutanan. Saat ini telah ada empat kelompok masyarakat yang telah terbentuk dengan jumlah anggota sebanyak 200 orang. Kelompok masyarakat ini akan menanam tanaman tumpang sari, seperti jagung, kacang-kacangan, dan tanaman lainnya.
”Nanti akan ada bagi hasil. Untuk tanaman tumpang sari sebesar 40 persen ke mitra dari hasil bersih, sementara untuk tanaman utama, yaitu jati, sebesar 15 persen ke mitra dari hasil kotor penjualan,” ucap Wahyu.
Pengembangan jati di wilayah Muna, ia menerangkan, merupakan bagian besar untuk mengangkat kembali identitas jati yang tersohor dari wilayah ini. Selama berpuluh tahun, jati Muna terkenal dan banyak dikembangkan, baik untuk dalam negeri maupun pasar luar negeri.
Selama lima tahun, perusahaan berencana mengembangkan 5.000 hektar kawasan untuk 2,5 juta tanaman jati. Ke depan, pemanfaatan jati akan dikembangkan untuk industri turunan, serupa mebel, atau produk turunan lainnya. ”Minimal setengah jadi yang kami kirim,” tambah Wahyu.
Sebelumnya, dalam penandatanganan kerja sama dengan Pemkab Muna, awal Maret lalu, Bupati Muna Rusman Emba mendukung pengembangan jati di wilayah. Hal ini diyakini bisa meningkatkan pendapatan masyarakat hingga perekonomian wilayah.
”Melalui penanaman jati, itu bisa membantu masyarakat, terutama terkait peningkatan pendapatan dari penanaman jati maupun tanaman tumpang sari,” kata Rusman dalam video yang diterima.
Dihubungi secara terpisah, Kepala Laboratorium Ilmu Ekonomi Universitas Halu Oleo (UHO) Syamsir menjabarkan, penanaman jati dalam skala industri merupakan investasi jangka panjang. Dalam rentang waktu panjang, penyiapan sumber daya manusia hingga fasilitas perlu disiapkan agar hasil jati ke depan bisa dikelola dan memberi nilai tambah untuk masyarakat.
Sebab, dengan lahan ribuan hektar, berarti ada masyarakat yang penghasilannya hilang setelah hutan tempat mereka bertanam beralih menjadi hutan jati. Masyarakat ini harus diberi ruang dan kesempatan agar bisa memiliki penghasilan baru dan sumber mata pencarian yang lebih baik.
”Karena jati merupakan investasi jangka panjang, yang harus dipikirkan adalah jangka pendek dan jangka menengahnya. Jika bisa ditanami jagung, misalnya, seperti apa pengelolaannya? Bagaimana nilai tambah jagung untuk masyarakat sehingga bisa mendapatkan penghasilan yang lebih baik dari sebelumnya,” ucap Syamsir.
Selain jati, tambah Syamsir, Muna adalah kawasan yang memang cocok untuk pengembangan jagung. Sebab, dengan kontur tanah dan budaya masyarakat, jagung menjadi tanaman yang telah turun-temurun dimanfaatkan untuk makanan hingga untuk kebutuhan lainnya.
Tanaman ini memiliki potensi besar untuk dikembangkan, dengan sasaran besar adalah industri pakan ternak. ”Kami telah lakukan riset sebelumnya bersama Bappenas, dan hal ini sangat potensial untuk dikembangkan. Ini yang harus ditangkap oleh pemerintah daerah maupun provinsi agar ada rencana jangka pendek dan menengah yang matang bagi masyarakat,” ujarnya.