Stok Masih Berlimpah, Petani Garam di Karawang Kian Terpuruk
Melimpahnya stok yang belum diserap pasar hingga anjloknya harga membuat petani garam di Karawang, Jawa Barat, mengurungkan niat untuk kembali berproduksi pada musim ini. Belum lagi ditambah dengan kebijakan impor.
Oleh
MELATI MEWANGI
·3 menit baca
KARAWANG, KOMPAS — Stok melimpah akibat belum diserap pasar hingga harga yang anjlok membuat petani di Karawang, Jawa Barat, mengurungkan niat memproduksi garam pada musim ini. Nasib petani semakin rentan terpuruk akibat kebijakan impor garam yang bakal dilakukan pemerintah.
Ketua Koperasi Garam Segara Jaya Karawang Aep Suhardi, Senin (15/3/2021), mengatakan, sejumlah petani garam menghadapi tantangan tidak mudah selama beberapa tahun terakhir. Hal itu dipicu harga garam yang tidak stabil hingga stok garam yang melimpah di tingkat petani. Tahun lalu, hanya 60 persen dari 160 hektar lahan yang diolah petani.
”Tahun kemarin, harga garam anjlok Rp 250-Rp 300 per kilogram. Akibatnya, petani enggan memproduksi garam. Modal yang dikeluarkan tidak sebanding. Kami malah merugi,” katanya.
Sekitar empat tahun lalu, stok garam akan habis terjual pada bulan Mei. Kemudian, petani garam akan kembali mengolah lahan pada Juni. Namun, belakangan, jumlah produksi garam selalu tidak habis terjual dan menumpuk di gudang.
”Banyak pengepul tidak membeli garam karena stok panen garam tahun lalu masih tersedia. Stok garam produksi tahun lalu di koperasi saja masih tersisa sekitar 400 ton,” ucapnya.
Saat ini, harga garam berkisar Rp 600-Rp 700 per kg. Harga ini lebih rendah dibandingkan awal musim panen pada bulan Juni 2018. Saat itu, harga garam di tingkat petani Rp 1.500- Rp 2000 per kg. Pada puncak musim produksi garam (Agustus-September 2018), harganya mulai turun Rp 800- Rp 1.000 per kg.
Kami kesulitan menjual karena permintaan rendah. Sejumlah petani garam menjadi tidak bergairah memproduksi garam pada musim ini.
Menurut Aep, harga garam pada musim hujan ini seharusnya lebih tinggi dibandingkan awal musim panen. Sebab, tidak ada petani yang akan mengolah garam pada musim ini. Harga jual yang rendah tidak menutup biaya produksi yang dikeluarkan para petani sebesar Rp 300-Rp 500 per kg.
”Kami kesulitan menjual karena permintaan rendah. Sejumlah petani garam menjadi tidak bergairah memproduksi garam pada musim ini,” ujar Aep.
Bahkan, stok garam milik Bakri (41), pembudidaya garam di Kecamatan Cilamaya Kulon, Karawang, misalnya, masih menumpuk dan belum terjual. ”Stok garam milik saya masih tersedia dan tidak ada yang beli. Di tempat saya pribadi dari tahun 2018 masih ada 30 ton,” ucapnya.
Pertengahan tahun 2019, pada awal musim panen, harga garam berkisar Rp 500- Rp 700 per kg. Harga garam yang kian merosot ini tak sebanding dengan ongkos produksi yang dikeluarkan Bakri sebesar Rp 300- Rp 400 per kg.
Semangat petani garam kini semakin luntur karena kebijakan impor garam yang dilakukan pemerintah. Menurut Aep, hal ini akan berdampak pada penyerapan garam lokal di dalam negeri.
Ia menyadari, produk garam lokal para petani masih belum memenuhi standar industri, yakni kandungan natrium klorida (NaCl) yang diminta industri di atas 96 persen. Sementara kandungan NaCl garam dalam negeri masih di bawahnya.
”Seharusnya tidak boleh saling mematikan. Jangan impor dulu, pemerintah juga sebaiknya menyerap produksi garam dalam negeri supaya roda perekonomian petani garam tetap berjalan,” kata Aep.