Garam Rakyat di Nusa Tenggara Timur Menumpuk, Pemerintah Diminta Tidak Impor
Saat ini, stok garam rakyat di Provinsi Nusa Tenggara Timur menumpuk di gudang karena rendahnya daya serap pasar. Dalam kondisi itu, pemerintah justru meningkatkan jumlah impor garam hingga 3,07 juta ton tahun ini.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·3 menit baca
Kompas/Agus Susanto
Petani garam, Nur Haini, menjaga perapian untuk membuat garam halus di Desa Nangahale, Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka, NTT, Selasa (1/8/2017). Dalam sehari, ia bisa memasak tiga karung garam kasar untuk dijadikan garam halus. Kini, mendapatkan satu karung pun ia sudah bersyukur.
KUPANG, KOMPAS — Rencana pemerintah meningkatkan impor garam industri hingga 3,07 juta ton tahun ini dikhawatirkan semakin menyulitkan produksi garam petambak rakyat. Pemerintah diharapkan bisa menghentikan atau setidaknya menunda rencana itu, lantas fokus kepada penyerapan garam rakyat yang saat ini menumpuk karena tidak terserap pasar.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Sabu Raijua Nusa Tenggara Timur Lagabus Pian saat dihubungi dari Mataram, Senin (15/3/2021), mengatakan, saat ini, stok garam di Sabu menumpuk di gudang. Hingga akhir 2020, kata Lagabus, jumlahnya mencapai 20.716 ton.
Menurut Lagabus, stok yang kini menumpuk di gudang itu merupakan produksi 2020 ditambah dengan sisa stok sepanjang 2018 hingga 2019. Pada 2020, dari 102 hektar ladang garam yang dikelola 882 orang, Sabu mampu memproduksi 11.700 ton. Sementara untuk 2018, mereka masih memiliki sisa stok 3.588 ton dan pada 2019 sebanyak 6.793 ton.
”Gudang-gudang penuh semua sehingga garam itu ditampung hingga luar gudang. Itu pun cuma ditutup pakai terpal. Karena musim hujan, banyak yang kena air. Sekitar 400-500 ton sudah dipastikan mencair,” kata Lagabus.
Menurut Lagabus, garam yang cair bisa semakin banyak. Apalagi, tidak sedikit gudang yang sekarang mengalami kerusakan karena hujan datang disertai badai.
Gudang-gudang penuh semua sehingga garam itu ditampung hingga luar gudang. Itu pun cuma ditutup pakai terpal. Karena musim hujan, banyak yang kena air. Sekitar 400-500 ton sudah dipastikan mencair.
Lagabus mengatakan, besarnya stok yang menumpuk di gudang karena daya serap pasar rendah. Pengiriman garam ke Surabaya, Jawa Timur, yang menjadi satu-satunya tujuan penjualan, hanya berlangsung dua kali per tahun dengan total 1.500 ton.
”Padahal, kami punya kapal kargo dan tol laut. Hanya tidak ada pembeli,” kata Lagabus.
Kondisi itu, kata Lagabus, adalah dampak dari kebijakan impor garam yang dilakukan pemerintah. Akibatnya, harga anjlok ditambah pandemi sehingga permintaan pasar lesu.
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA
Tambak garam di Oeteta, Kabupaten Kupang, siap dipanen. NTT memiliki potensi garam cukup besar, ada di semua kabupaten/kota, tetapi belum dikelola.
Saat ini, harga garam berada di kisaran Rp 500-Rp 600 per kilogram. Padahal, ongkos produksi di Sabu Rp 900 per kilogram. Itu karena upah tenaga kerja yang tinggi.
”Banyak pembeli yang kadang suka membandingkan harga garam kami dengan garam impor yang lebih murah. Namun, tidak mungkin juga kami jual dengan harga Rp 100 per kilogram. Bisa makin sengsara,” ujarnya.
Ragu
Lagabus menambahkan, saat ini, Sabu belum memasuki masa produksi karena masih musim hujan. Ladang garam mereka saat ini mencapai 102 hektar yang dikelola 882 tenaga kerja tambak.
Panen garam di Sabu dilakukan pada Agustus-September dengan produksi sekitar 15-30 ton per bulan per hektar. Pada puncak musim kemarau, yakni September-Oktober, panen dilakukan tiga kali sebulan dengan total mencapai produksi garam mencapai 45 ton.
KOMPAS/ZULKARNAINI
Anwar (43), petani garam tradisional di Desa Lamnga, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Minggu (9/92020), saat sedang bekerja di dapur garam miliknya. Usaha garam itu menjadi penopang kehidupan keluarganya.
”Secara kualitas, garam industri kami masuk kualitas satu dengan kadar NaCl 96,2 persen. Meski demikian, sulit pemasaran karena pembeli sepi,” kata Lagabus.
Pabrik garam beryodium yang mereka miliki dengan pasar Sabu dan Kupang memang jadi alternatif. Produksinya sekitar 1-2 ton per hari. Hanya saja, stoknya juga menumpuk karena tidak banyak pembeli.
Menurut Lagabus, produksi seharusnya dimulai pada Mei mendatang. Akan tetapi, jika melihat kondisi itu, ditambah adanya peningkatan jumlah impor garam, mereka ragu untuk berproduksi.
”Musim hujan, harapan kami permintaan dari Jawa naik. Namun, impor tetap dibuka. Jadi, kami tidak bisa berharap banyak,” kata Lagabus.
Kompas/Bahana Patria Gupta
Petambak garam, Arifin Jami’an, memanen garam di ladang garam prisma miliknya di Desa Sedayulawas, Kecamatan Brondong, Kecamatan Lamongan, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, Jumat (3/7/2020). Pengolahan garam dengan metode rumah prisma tersebut memungkinkan Arifin panen sepanjang tahun. Garam hasil olahannya dijual Rp 900 per kilogram.
Dihubungi secara terpisah, pemerhati garam di Sabu Raijua, Paulus Dira Tome, menambahkan, industri garam di Sabu Raijua bisa dianggap dalam keadaan mati. ”Maksudnya, produksi garam meningkat, tetapi pasarnya tidak tersedia,” katanya.
Menurut Paulus, jika memang produksi melimpah dan harga garam turun, seharusnya tidak ada impor garam. Alih-alih tetap impor, pemerintah semestinya fokus pada bagaimana memastikan pemasaran garam Tanah Air.
”Kami berharap pemeritah menghentikan atau menunda impor. Kemudian menyerap garam dalam negeri sehingga industri bisa dipacu. Kalau tidak terserap, kami tidak bisa produksi karena tidak ada tempat. Gudang-gudang penuh,” ujar Lagabus.
Selain itu, Lagabus menagih janji pemerintah untuk menghubungkan produsen garam dengan industri yang membutuhkan. ”Sampai sekarang belum ada realiasasi. Kalau ada kepastian pasar, produsen tentu tetap mau produksi,” katanya.