Pemodal Pertambangan Emas Ilegal di Parigi Moutong Diburu
Pemodal yang membekingi penambangan emas tanpa izin yang longsor jelang akhir Februari 2021 ditetapkan menjadi tersangka. Masalah PETI di Sulteng diusulkan diselesikan dengan mekanisme izin pertambangan rakyat.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·4 menit baca
PALU, KOMPAS — Aparat Polda Sulawesi Tengah menetapkan tiga tersangka pertambangan emas tanpa izin yang longsor di Parigi Moutong, akhir Februari 2021. Namun, pemilik modalnya belum tertangkap dan hingga kini masih diburu.
”Pemodal kami jadikan DPO (daftar pencarian orang). Kami akan kejar,” kata Wakil Direktur Kriminal Khusus Polda Sulteng Ajun Komisaris Besar Sirajuddin Ramly dalam rapat dengar pendapat dengan DPRD Sulteng tentang penanganan pertambangan emas tanpa izin (PETI) di Palu, Sulteng, Senin (15/3/2021).
Sirajuddin menyebutkan, pemodal berinisial BBT. Ia diduga berasal dari luar Sulteng. Pihaknya telah berkoordinasi dengan kepolisian di wilayah hukum Sulteng dan daerah lain.
Terkait peran dalam PETI di Desa Buranga, Kecamatan Ampibabo, Parigi Moutong, itu, Sirajuddin menyebutkan BBT ”mengoordinasi semuanya”. Dua tersangka lainnya, JM dan KH, operator alat berat di lubang tambang, telah ditahan di Polres Parigi Moutong.
PETI Buranga longsor pada Rabu (25/2/2021) malam. Saat longsor, ada empat alat berat beroperasi dan lebih kurang 100 warga mendulang bijih emas di kubangan di dalam lubang tambang. Sebanyak tujuh orang tewas dalam kejadian itu.
Penyidikan kasus PETI tersebut pernah dijanjikan Kepala Polda Sulteng Inspektur Jenderal Abdul Rakhman Baso. Ia memastikan, kalau memang ada pemodal yang menyokong pertambangan, polisi akan menelusurinya. Keberadaan pemodal diketahui dari terlihatnya alat berat berupa eskavator di lokasi PETI.
Saat dihubungi, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Daerah Sulteng Abdul Haris menyatakan, penetapan tersangka pemodal PETI patut diapresiasi. Namun, ia menyayangkan pemodalnya masih berstatus DPO.
”Yang kami tahu, ia masih berada di lokasi tambang pada saat longsor. Artinya, jika ini diantisipasi dari awal, seharusnya tak perlu jadi DPO. Ini sangat mencurigakan,” katanya.
Semua yang terkait dengan alat berat itu harus diusut.
Ia juga meminta Polda Sulteng tidak hanya fokus pada aktivitas di lubang yang longsor. Semua orang, terutama pemodal atau penyandang dana untuk lubang-lubang lainnya di Buranga, harus ditelusuri.
Berdasarkan penelusuran Walhi Sulteng, ada empat alat berat yang beroperasi di lubang tambang yang longsor. Namun, ada juga sedikitnya 10 alat berat lain yang beroperasi di lubang yang tak jauh dari lokasi. ”Semua yang terkait dengan alat berat itu harus diusut,” ujar Abdul.
Di Sulteng, PETI cukup marak. Selain di Parigi Moutong, PETI juga tersebar di Kabupaten Sigi, Poso, Buol, dan Tojo Una-Una.
Pertambangan rakyat
Dalam rapat dengar pendapat di DPRD Sulteng, sejumlah anggota Dewan mengemukakan, PETI di Sulteng dilegalisasi dengan mekanisme izin pertambangan rakyat (IPR). Dengan cara itu, warga tetap bisa mengolah bijih emas untuk pemenuhan kebutuhan ekonominya. Namun, semuanya harus tetap diawasi dan dibatasi karena pertambangan harus tetap memperhatikan aspek lingkungan.
”Yang terpenting, pertambangan tersebut dijaga dan diawasi agar jangan ada pemodal yang masuk. Jika pemodal yang masuk, pasti akan meluas dan merusak lingkungan,” kata anggota DPRD Sulteng, Sonny Tjandra.
Sonny menyatakan, DPRD Sulteng bisa memfasilitasi berbagai pihak untuk bertemu dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta Kementerian Dalam Negeri. Koordinasi itu penting karena kewenangan pertambangan mineral saat ini berada di bawah kendali pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian ESDM.
Anggota DPRD lainnya, Huisman Brant, menyatakan, pengelolaan sumber daya alam harus berjalan pada koridor hukum. Jika memang ada ruang bagi masyarakat untuk mengelola sumber daya mineral, dalam hal ini bijih emas, hal itu harus dibuka. ”Intinya pengelolaan sumber daya mineral harus mengikuti ketentuan yang dapat dipertanggungjawabkan,” ucapnya.
Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Sulteng Christina Shandra Tobondo menyatakan, pemberian IPR untuk PETI bisa dilakukan asalkan memenuhi persyaratan. Ketentuan terkait IPR, antara lain, masuk dalam wilayah pertambangan rakyat yang terdata di Kementerian ESDM, luas wilayah pengelolaan tidak lebih dari 25 hektar, dan pertambangan tak berada di dekat sungai.
”Untuk hal ini (IPR), semua pihak harus duduk bersama. Kalau usul saya, kita harus membentuk tim membahas lebih lanjut terkait IPR,” ujarnya.
Pemimpin rapat yang juga Wakil Ketua DPRD Sulteng Muharram Nurdin menyatakan, rapat akan dijadwalkan lagi agar semua hal bisa disampaikan. Nantinya kesimpulan rapat akan dibuat agar ditindaklanjuti pemangku kepentingan.