Muhammad Ali, Pemetik Kata dari Teluk Keriting
Muhammad Ali (80) piawai menulis pantun. Selama puluhan tahun, dia setia merawat tradisi lisan Melayu.
Orang-orang mengenalnya sebagai maestro pantun. Namun, ia lebih suka menyebut diri sebagai pak tua yang gemar berteman dengan kata. Seperti pesulap menarik kelinci dari dalam topi, laki-laki itu bisa memetik kata-kata dari alam sekitar lalu dalam sekejap merangkainya menjadi sebait pantun yang merdu.
”Kapal baru temberang baru / Baru sekali masuk Melaka / Abang baru adik pun baru / Baru hari ini bertemu muka,” sambut Muhammad Ali dengan raut jenaka sambil tersenyum ramah dari serambi rumah, Rabu (10/2/2021).
Pak tua yang suka berseloroh itu mengaku lahir 80 tahun yang lalu di Turki. Ia tertawa geli melihat lawan bicaranya tampak kebingungan, kemudian buru-buru menjelaskan, ”Turki itu kependekan dari Teluk Keriting,” tukasnya tak berhenti tertawa.
Teluk Keriting adalah nama sebuah kawasan tepi laut di Kota Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Ketika lahir, orangtua dia memberi nama Muhammad Ali. Namun, saat kecil, badannya bulat sekali dan kulitnya terlampau kuning untuk ukuran orang Melayu. Maka, orang-orang lalu memanggilnya Jepun karena ia mirip dengan para penjajah yang saat itu menduduki Indonesia.
”Lama-lama bunyi ’Pun’ pada kata Jepun berubah menjadi Pon. Maka, sampai sekarang, orang memanggil saya Ali Pon,” ucapnya.
Di tempat tinggalnya, Tanjung Pinang, Ali adalah pemantun yang paling masyhur. Orang bilang ketangkasannya dalam berpantun tiada tanding. Ia bak kamus berjalan yang setiap saat bisa menemukan kata-kata dengan rima selaras untuk dirangkai menjadi pantun.
”Saya mengenal pantun dari bunda yang sering membacakan pantun dan menyanyikan syair untuk pengantar tidur. Mungkin pengalaman masa kecil itu lalu melekat di hati sampai saya dewasa,” kata Ali.
Meski demikian, Ali baru punya kesempatan berpantun di depan umum ketika usianya hampir kepala tiga. Semuanya berawal dari tidak sengaja. Kala itu, 1970, pemantun kampung yang diundang tetangganya untuk acara pernikahan tiba-tiba tak bisa hadir. Entah dulu apa pertimbangannya, si tetangga akhirnya meminta Ali menggantikan pemantun yang mangkir dari tugasnya itu.
Awalnya, Ali ragu-ragu karena sebelumnya ia hanya gemar membuat pantun untuk bercanda dengan kawan-kawannya. Namun, kali ini, perkaranya bukan main-main. Nasib perkawinan anak orang ada di tangannya. Ia kemudian menanyakan siapa saja tamu yang hadir. Kebetulan, saat itu, yang datang kebanyakan orang Jawa. Ali kemudian berpikir sejenak, rasanya tak ada salahnya mencoba, toh, tamu yang datang hari itu sepertinya tak terlalu mengerti pantun Melayu.
”Tinggi-tinggi batang pinang / Lebih tinggi lagi batang gajus / Nampak di luar begitu tenang / Tapi hati di dalam nak meletus,” pantun itu secara spontan meluncur dari mulut Ali. Sepintas, pantun itu seperti menggambarkan perasaan mempelai laki-laki yang tegang menghadapi ijab kabul. Padahal, pantun itu mencerminkan perasaan Ali yang grogi di atas panggung.
Ali tertawa saat bercerita mengenang masa itu. Tidak ada yang menyangka, setelah peristiwa itu, ia lalu dengan cepat dikenal sebagai pemantun ulung. Sejak saat itu, hampir setiap akhir pekan, ia harus mengelilingi Tanjung Pinang untuk memenuhi undangan memandu acara-acara budaya orang Melayu yang mengharuskan hadirnya pemantun seperti Ali.
Penuntun
Di Tanjung Pinang, juga daerah lain di Kepri pada umumnya, pantun sangat melekat dalam segala sendi kehidupan orang Melayu. Pantun meresap ke dalam berbagai jenis kesenian Melayu, seperti dialog para tokoh dalam teater tradisional dan juga lirik lagu pengiring tarian adat. Belakangan, pantun juga menjadi hal wajib diucapkan pejabat saat acara-acara resmi.
Biasanya, jika ada kabar presiden atau menteri dari Jakarta akan berkunjung ke Tanjung Pinang, pada satu malam sebelumnya, para ajudan kepala daerah tergopoh-gopoh mendatangi rumah Ali yang letaknya tak jauh dari jalan menuju kantor Gubernur Kepri. Itu tandanya ada kepala daerah yang minta dibuatkan pantun kepada Ali untuk menyambut rombongan pejabat dari pusat.
Ali piawai membuat pantun dengan sangat cepat untuk berbagai situasi, mulai dari menyambut tamu datang sampai mengantar mempelai ke pelaminan. Kata dia, inspirasi pantun didapat dari hidup yang akrab dengan alam sekitar. Sampiran pantun dipetik dari hijau pepohonan dan biru lautan. Sementara isi pantun disarikan dari makna terdalam kisah hidup manusia.
Bagi orang Melayu, pantun berfungsi sebagai pendidikan nonformal untuk mengajari anak-anak mengenal nilai-nilai keutamaan dalam hidup. Kata ”tun” pada pantun diyakini berasal dari kata penuntun. Oleh karena itu, orang Melayu pada umumnya, termasuk juga Ali, sudah mengenal pantun sejak bayi saat para ibu menyanyikan lagu mengulik atau pengantar tidur.
Di Indonesia, catatan tertua soal pantun termaktub dalam buku Perhimpunan Pantun Melayu yang terbit di Batavia pada 1877. Buku itu ditulis Haji Ibrahim, bangsawan Kesultanan Riau-Lingga asal Pulau Penyengat. Ia hidup satu zaman dengan penulis masyhur Raja Ali Haji yang membakukan tata bahasa Melayu. Tak heran, jika dulu pulau seluas 2 kilometer persegi yang terletak di seberang Tanjung Pinang itu pernah dikenal sebagai bustan al-katibin atau taman para penulis.
Sejumlah pantun penuntun pemimpin dalam buku karangan Haji Ibrahim tersebut mencerminkan budaya bangsa Melayu yang terbuka dan setara. Dengan pantun, rakyat sah-sah saja mengkritik pemimpin agar tidak sembrono dalam mengemban tanggung jawabanya. Hal itu dimungkinkan dengan corak pola komunikasi dalam pantun yang sangat santun dan pesannya serba tersirat.
Menurut Ali, tradisi pantun memang tidak terbatas di lingkungan pejabat atau budayawan. Pantun Melayu justru bernapas dan menemukan hidup yang sejati di tengah rakyat biasa. ”Pantun, seperti juga bahasa, adalah barang milik semua orang. Kalangan atas, menengah, atau bawah, semua bebas berpantun untuk menyampaikan isi hatinya dengan jujur,” ucapnya.
Maestro
Sejak 1979 hingga 2001, pekerjaan utama Ali adalah mengajar bahasa Inggris di sebuah SMP Negeri. Meski demikian, kegiatan berpantun tetap ia lakukan pada akhir pekan. Hal itu ia kerjakan dengan sepengetahuan kepala sekolah tempatnya bekerja.
Dukungan dari lingkungan kerja dan keluarga membuat Ali dapat setia merawat seni tradisi lisan Melayu tersebut. Hingga akhirnya, pada 2007, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata memberi dia Anugerah Kebudayaan dan Maestro Seni Tradisi Pantun. Penghargaan itu diberikan setelah ia bertahan malang melintang sebagai pemantun di Tanjung Pinang selama 36 tahun.
”Kalau boleh jujur, sebenarnya saya tidak tahu mengapa saya dirasa pantas mendapat penghargaan itu. Namun, saya gembira karena setidaknya hal itu menandakan yang saya lakukan selama ini ternyata ada gunanya untuk orang lain,” ujar Ali.
Baca juga : Krismono, Ikan Lokal demi Masa Depan
Kini, di usia 80 tahun, Ali sudah mulai jarang tampil di atas panggung untuk berbalas pantun. Pendengaran pensiunan guru itu sudah tak lagi prima. Meski demikian, ia masih tekun mencatat pantun-pantunnya untuk dibukukan agar karyanya bisa abadi. Ia terinspirasi Haji Ibrahim yang pantunnya terus dikenal sampai sekarang walaupun penciptanya telah lama pergi.
Selain menulis buku pantun, Ali mengatakan, sudah tak menyimpan keinginan lain. Hal yang ia nantikan seumur hidup telah terwujud pada pertengahan Desember 2020. Pantun diakui sebagai warisan budaya tak benda oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).
”Mimpi saya sebagai seorang pemantun sudah tercapai. Sekarang, saya tidak berpantun sendirian lagi. Ada banyak orang lain, bahkan dunia, kini menaruh minat pada seni tradisi lisan Melayu ini,” kata Ali.
Muhammad Ali
Lahir: Tanjung Pinang, 1 Maret 1941
Istri: Nong Azamah
Anak: 5
Pendidikan: D-2 Bahasa Inggris Universitas Terbuka
Penghargaan: Anugerah Kebudayaan dan Maestro Seni Tradisi Pantun dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (2007)