Punya Variasi Genetik Berbeda, Pesut Teluk Balikpapan Butuh Perhatian
Hingga kini belum ada penetapan status kawasan lindung di Teluk Balikpapan. Hal itu berpotensi merusak habitat para satwa yang tentunya akan berpengaruh pada kehidupan warga, khususnya nelayan sekitar.
Teluk Balikpapan tak sekadar jalur migrasi pesut, tetapi terdapat indikasi kuat ada pesut yang memiliki habitat asli di sana. Pesut di Teluk Balikpapan yang kini masih terus diteliti tersebut diduga berbeda dengan pesut mahakam yang menggunakan teluk tersebut sebagai jalur berpindah dari satu kawasan perairan ke kawasan perairan lain.
Pada Rabu (10/3/2021) siang, kawasan Teluk Balikpapan bagian hilir sampai tengah begitu sibuk. Puluhan kapal menarik tongkang pengangkut batubara hilir mudik. Termasuk juga kapal-kapal minyak, nelayan, dan feri.
Setidaknya ada dua kelompok pesut yang terlihat siang itu. Salah satu kawanan sedikitnya terdiri atas tiga pesut. Mereka gesit berenang, bermain ke sana kemari, sesekali menyembulkan kepala lantas menukik cepat ke dalam air dan sekejap menampakkan ekornya melambai-lambai di atas permukaan laut.
Kawanan pesut muncul di tengah perairan, seakan sebisa mungkin menjaga jarak dari lalu lalang berbagai jenis kapal. Namun, begitu pesut terlihat, beberapa nelayan langsung mengarahkan kapalnya mengikuti kelompok pesut itu.
Ada indikasi pesut di Teluk Balikpapan memang memiliki habitat asli di sana. Untuk itu, ekosistem di Teluk Balikpapan membutuhkan perhatian besar dan perlindungan khusus agar tidak terusik, apalagi rusak. (Danielle Kreb)
Peneliti dari Yayasan Konservasi Rare Aquatic Species of Indonesia (RASI), Danielle Kreb, Senin (8/3/2021), menjelaskan, di mana ada kelompok pesut di perairan, nelayan akan mengikuti mereka sebagai penanda bahwa di tempat pesut terlihat itu terdapat banyak ikan. Apalagi, nelayan mengetahui persis kalau pesut hanya memakan ikan besar, bukan ikan kecil. Pesut sebagai predator puncak memang berfungsi vital untuk menjaga keseimbangan ekosistem di tempat hidupnya yang juga bermanfaat bagi kehidupan manusia.
”Jadi, kehadiran pesut tidak hanya berfungsi menjaga ekosistem, tetapi juga menjadi penentu arah para nelayan sehingga kehadirannya sangat penting,” ungkap Kreb.
Yang lebih spesial lagi, dari hasil sementara penelitian yang terus berkembang, diketahui ada indikasi variasi genetik yang membedakan antara pesut di Teluk Balikpapan dan pesut yang berada di Sungai Mahakam. Hal ini diutarakan oleh Ni Luh Astria Yusmalinda dari Indonesian Biodiversity Research Center yang artikelnya berjudul ”Identifikasi Jenis pada Kejadian Cetacea Terdampar di Indonesia dengan Teknik Molekuler” terbit dalam Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis tahun 2017.
”Sampel dari Teluk Balikpapan teridentifikasi sebagai haplotype baru yang menjadi sister taxa dari haplotype 5 dan memiliki jarak genetik 0,01 dari sekuen yang ditemukan di Sungai Mahakam,” tulis Yusmalinda.
Dengan memiliki variasi genetik berbeda, Kreb menyatakan ada indikasi pesut di Teluk Balikpapan memang memiliki habitat asli di sana dan ada kemungkinan mereka tidak bermigrasi seperti kawanan pesut lain di Sungai Mahakam. Untuk itu, ekosistem di Teluk Balikpapan membutuhkan perhatian besar dan perlindungan khusus agar tidak terusik, apalagi rusak.
Pesut di Teluk Balikpapan, sesuai dengan data Yayasan RASI, kini ada sekitar 73 ekor. Pesut termasuk mamalia laut dan normalnya hanya bisa melahirkan satu pesut setiap tiga tahun sekali.
Terancam
Jauh sebelum rencana pemindahan ibu kota negara (IKN) bergulir, pesut dan satwa liar lain sudah masuk dalam kategori satwa yang dilindungi di Teluk Balikpapan. Meskipun demikian, keberadaan satwa liar tersebut terus terancam, terutama akibat aktivitas industri yang ada indikasi juga terus meluas di pesisir teluk dari muara hingga merasuk ke hulu.
Untuk itu, para pegiat pelestarian lingkungan di Kalimantan Timur, terutama di Teluk Balikpapan, mendorong pemerintah pusat dan daerah agar menetapkan kawasan lindung di teluk tersebut. Rencana pembangunan ibu kota negara di Kalimantan Timur yang berdekatan dengan Teluk Balikpapan menguatkan kembali desakan tersebut.
Mengapa isu IKN berkorelasi dengan ekosistem Teluk Balikpapan? Jika ditarik garis lurus melalui aplikasi Google Earth, Kelurahan Pemaluan, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajem Paser Utara (PPU), yang sempat dikunjungi Presiden Joko Widodo pada 2019 dan disebut-sebut sebagai calon titik nol IKN hanya berjarak sekitar 1 kilometer ke Teluk Balikpapan bagian hulu. IKN sendiri, sesuai data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, akan berada di lahan seluas sekitar 260.000 hektar atau empat kali lipat luas Jakarta. IKN akan meliputi sebagian Kecamatan Sepaku di PPU serta Samboja dan Muara Jawa di Kabupaten Kutai Kartanegara.
Teluk Balikpapan yang luasnya lebih kurang 16.000 hektar itu dipenuhi oleh populasi pesut, bekantan (Nasalis larvatus), juga biota laut lainnya. Mereka adalah satwa liar dilindungi.
Letak teluk tersebut diapit dua wilayah, yakni PPU dan Balikpapan. Kini, di bagian tengah teluk itu sudah dibangun Jembatan Pulau Balang bentang panjang dan bentang pendek yang menghubungkan PPU dan Balikpapan. Meski belum selesai, proses pembangunan itu membuat teluk tersebut kian ramai.
Dari hulu ke hilir, Teluk Balikpapan merupakan perairan dengan luas sekitar 150 kilometer persegi. Dahulu, teluk yang bermuara ke Selat Makassar ini penuh rerimbunan bakau primer atau pepohonan bakau berumur lebih dari 20 tahun.
Baca juga: Siapkan SDM Kaltim Sebelum Ibu Kota Resmi Pindah
Kepala Program Kelompok Kerja Pesisir Husein Suwarno mengungkapkan, hingga kini belum ada penetapan status kawasan lindung di Teluk Balikpapan. Hal itu berpotensi merusak habitat para satwa yang tentunya akan berpengaruh pada kehidupan warga, khususnya nelayan sekitar.
”Fakta di lapangan banyak sekali spekulan-spekulan yang sudah mematok lahan di kawasan konservasi atau kawasan lindung, itu bahaya sekali. Kami minta pemerintah tetapkan dulu kawasan yang akan dilindungi (di Teluk Balikpapan). Kalau tidak ada akan menimbulkan kekacauan di lapangan,” kata Husein.
Husein menjelaskan, selepas tahun 1990, baik industri maupun permukiman, mulai mengokupasi pohon bakau atau mangrove di Teluk Balikpapan. Lalu, pada tahun 2000-an ekspansi batubara makin ramai dan teluk itu menjadi wilayah pelintasan kapalnya. Hal tersebut dilakukan dengan membuat dua kawasan ekonomi, yakni Kawasan Industri Karingau (KIK) di Balikpapan dan Kawasan Industri Buluminung (KIB) di PPU.
”Dengan adanya dua kawasan industri itu, maka kawasan alaminya tersisa sedikit. Ini, kan, mengancam ekosistem penting di Teluk Balikpapan dan hal itu sudah terjadi jauh sebelum rencana IKN ini muncul,” ungkap Husein.
Perbaiki aturan tata ruang
Dari pantauan Kompas, kawasan bakau di wilayah hilir sudah didirikan pabrik pengolahan minyak kelapa sawit, pelabuhan loading batubara, dermaga-dermaga sandaran kapal perusahaan, galangan kapal, dan permukiman.
Sementara itu, dalam Rancangan Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kaltim, peta alokasi ruang untuk wilayah Teluk Balikpapan diutamakan untuk pelabuhan. Hal tersebut membuat Husein, juga aktivis lingkungan lainnya, khawatir jika pelabuhan untuk penunjang IKN akan dibangun di sekitar teluk bagian hulu yang saat ini belum ditetapkan status kawasannya.
”Harus menghindari wilayah hulu, buatlah pelabuhan di lokasi hilir yang sudah ada sehingga tidak merusak kawasan hulu yang saat ini menjadi habitat pesut dan bekantan,” ungkap Husein.
Sebelumnya, Kepala Bidang Perencanaan Pengendalian dan Evaluasi Pembangunan Daerah Bappeda Provinsi Kalimantan Timur Charmarijaty menjelaskan, daerah hulu Teluk Balikpapan menjadi perhatian pembangunan ibu kota negara kelak. Dalam konsep rancangan induk yang pemerintah daerah terima dari Bappenas, pembangunan ibu kota negara bakal tetap melindungi daerah rawan yang memiliki ekosistem spesifik.
”Saat ini sedang disesuaikan antara masterplan dan tata ruang yang sudah kami buat, itu dibahas dalam perubahan tata ruang wilayah provinsi,” ungkap Charmarijaty.
Baca juga: Selamatkan Pesut, Perlu Zonasi Lindung Sebelum Ibu Kota Pindah