Memperjuangkan Hak Anak Pekerja Migran Melalui Forum Anak
Anak pekerja migran kerap menjadi korban kekerasan dari masyarakat. Beruntung, masih ada pihak yang memperjuangkan hak mereka, seperti Forum Anak Pandan Wangi, di Desa Pandan Wangi, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.
Beberapa anak berlari melewati gerbang bambu bertuliskan ”Kampung Ramah Anak” di Dusun Mungkik, Desa Pandan Wangi, Rabu (3/3/2021). Sebagian anak menuju taman bermain di dekat gerbang. Lainnya ke sebuah balai, sekitar 20 meter dari gerbang.
Balai yang dalam bahasa Sasak (suku asli Lombok) disebut berugakitu berupa bangunan semipermanen tanpa dinding dengan enam kaki dan tiang. Atapnya dari seng dan lantainya dari rajutan bambu. Di salah satu sudut, ada rak berisi buku-buku.
Berugak itu berdiri di tepi sawah dan di bawah naungan pohon asam. Lingkungan itu membuat balai tersebut nyaman. Tidak heran, pada siang hari, banyak anak-anak, termasuk orangtua, ada di sana sambil membaca buku atau berkumpul.
Balai itu merupakan sekretariat Forum Anak Pandawa atau Forum Anak Pandan Wangi. Forum itu, menurut ketuanya Cindy Purnama Putri (16), berdiri pada 10 Desember 2017.
Forum ini adalah wadah partisipasi untuk anak-anak dalam menyalurkan aspirasi, partisipasi, dan kreativitas dalam memenuhi hak kami sebagai anak.
”Forum ini adalah wadah partisipasi untuk anak-anak dalam menyalurkan aspirasi, partisipasi, dan kreativitas dalam memenuhi hak kami sebagai anak,” kata Cindy yang saat ini masih duduk di bangku kelas II SMAN 1 Keruak.
Menurut Cindy, Forum Anak Pandawa beranggotakan anak-anak dari 15 dusun di Pandan Wangi. Tiap dusun memiliki tiga perwakilan sebagai anggota dengan usia antara 11 tahun dan 18 tahun (duduk di bangku SMP hingga SMA).
”Itu untuk anggota saja. Namun, semua anak di Pandan Wangi tetap dilibatkan jika kami mengadakan kegiatan,” kata Cindy.
Menurut Cindy, forum itu memang sejak awal diperuntukkan untuk semua anak. Akan tetapi, lebih khusus ke anak-anak pekerja migran. Pandan Wangi memang menjadi salah satu desa di Lombok Timur dengan jumlah anak pekerja migran (APM) yang cukup besar.
Data Yayasan Tunas Alam Indonesia (lembaga swadaya masyarakat yang selama ini fokus pada isu perlindungan anak, pemberdayaan kelompok muda, perempuan, dan kelompok marginal) mencatat, ada 423 APM di desa itu.
Cindy menyebutkan, sejak berdiri, mereka melakukan berbagai kegiatan terkait APM. Misalnya, membuat perpustakaan keliling sambil melakukan verifikasi data APM.
”Dari sana, diketahui jika banyak APM tidak memiliki identitas, seperti akta kelahiran dan kartu keluarga. Maka, kami bersama Santai, pihak desa, dan kader terkait mengadakan pelayanan administrasi kependudukan secara langsung,” kata Cindy.
Baca Juga: Anak Pekerja Migran Masih Terabaikan
Selain itu, mereka juga mengadakan kegiatan pengembangan kreativitas, baik untuk APM maupun anak lainnya di Pandan Wangi, misalnya mendaur ulang sampah dengan menjadikannya produk kerajinan. ”Termasuk melatih anak-anak untuk memainkan musik tradisional gendang beleq, khususnya untuk anak laki-laki yang kurang berkegiatan karena tidak sekolah,” kata Cindy.
Forum itu juga memiliki perpustakaan Rumah Baca. Di sana, mereka mengajar anak-anak sekolah dasar untuk membaca. Selain di perpustakaan, mereka juga memanfaatkan bangunan pusat kegiatan masyarakat di kantor desa untuk belajar bahasa inggris dan maenggambar.
”Di masa pandemi ini, kami juga mengadakan latihan taekwondo. Ini untuk mengalihkan waktu mereka sehingga tidak habis untuk main gim di ponsel,” kata Cindy.
Latihan taekwondo dilakukan di tiga dojang di tiga dusun. Saat ini, ada 30 anak yang ikut berlatih dua kali seminggu. Kegiatan itu gratis kecuali untuk kostum latihan.
Pelapor dan pelopor
Pendamping Forum Anak Pandawa yang juga kader di Forum Pemerhati Perempuan dan Anak Pandan Wangi, Muhammad Fahrul Azmi (22), mengatakan, anggota Forum Anak Pandawa juga didorong menjadi pelapor dan pelopor untuk berbagai isu, termasuk kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, dan pekerja anak.
”Dengan kata lain, forum ini ada untuk mendorong pemenuhan hak-hak anak, termasuk anak pekerja migran yang ditinggal orangtuanya ke luar negeri,” kata Azmi.
Hal itu penting. Apalagi, tindakan yang merampas hak anak di Pandan Wangi kerap terjadi, seperti kekerasan, baik fisik maupun psikis. Misalnya, ketika anak tidak mau sekolah, pengasuh memukul mereka.
”Ada juga yang karena tidak mau mengaji, dimarahi, diomeli, atau dibentak dengan nada-nada yang keras. Itu tentu akan membuat si anak tertekan,” kata Cindy.
Forum itu juga melakukan pembelasan atau menghentikan pernikahan usia anak. Sepanjang 2020 hingga 2021, kata Cindy, mereka sudah menangani 13 kasus. Dari kasus itu, lima orang di antaranya adalah APM.
Pernikahan usia anak kadang terjadi karena tidak ada orangtua yang memperhatikan serta kondisi ekonomi pengasuh. Kondisi itulah yang membuat APM memutuskan menikah dengan orang yang dianggap bisa memenuhi kebutuhan mereka.
Dalam melaksanakan pembelasan, Forum Anak Pandawa bekerja sama dengan berbagai pihak, mulai dari kepala dusun, desa, tokoh masyarakat, kader FP2A, kepolisian, hingga dinas terkait.
”Kami bertemu dengan anak-anak yang akan menikah. Lalu, kami jelaskan berbagai hal, termasuk dampaknya. Itu berhasil membuat mereka mau membatalkan rencana menikah. Sementara dari pihak orangtua, pendekatan dilakukan oleh kader dan pihak terkait,” tutur Cindy.
Tidak mudah melakukan pembelasan. Satu kasus bisa diselesaikan sekitar seminggu, bahkan ada yang satu bulan. Sebagian besar berhasil dicegah, tetapi ada juga yang akhirnya tetap menikah.
”Agar tidak trauma dan down, setelah pembelasan, kami tetap dampingi. Menghibur, ajak bermain dan ikut kegiatan forum anak,” kata Cindy.
Pendampingan itu diperlukan. Apalagi, di Pandan Wangi, muncul stigma bagi mereka yang tidak jadi menikah. Oleh karena itu, selain ke anak yang tidak jadi menikah, mereka juga sosialisasi ke masyarakat.
”Sosialisasi itu juga terkait perundungan yang diberikan kepada APM dengan menggunakan istilah seperti anak sawit, anak unta, juga anak oleh-oleh yang menurut kami seharusnya tidak dilakukan,” papar Cindy.
Bagi Cindy dan Azmi, upaya mereka melalui Forum Anak Pandawa tidak selalu berjalan mulus. Terutama agar masyarakat ikut mendukung pemenuhan hak-hak atas anak.
Di awal, sosialisasi yang mereka lakukan tidak serta-merta berjalan mulus. Selama hampir setahun sejak berdiri, penolakan dari masyarakat kerap mereka terima.
”Kami sosialisasi dengan berkeliling ke rumah-rumah warga. Penolakan terjadi. Kami diremehkan karena masih anak-anak,” kata Cindy.
Akan tetapi, mereka tidak patah semangat. Mereka mencari solusi dengan pendekatan ke kepala dusun serta tokoh masyarakat. Kepala dusun dan tokoh itu yang kemudian ikut menjelaskan kepada warga tentang pentingnya sosialisasi.
”Lalu, secara perlahan, kami diterima,” kata Cindy yang sejak 2018 selalu diundang pada perayaan Hari Anak Nasional sebagai pembicara terkait anak pekerja migran.
Selain kepada orangtua, mereka juga menemui anak-anak ketika sedang berkumpul atau bermain. Termasuk memanfaatkan momen hari besar dengan mengadakan lomba. ”Saat Covid-19, kami pindah ke media sosial, seperti Instagram, Facebook, Tiktok, dan membuat komik,” kata Cindy.
Forum Anak Pandawa juga meyakinkan warga dan orangtua bahwa anak-anak yang mereka libatkan bisa berprestasi. Salah satunya ketika anak-anak yang mengikuti taekwondo berhasil meraih juara di pertandingan tingkat Provinsi dalam rangka ulang tahun NTB pada 2020.
”Dari enam anak yang kami bawa, semuanya dapat medali. Dua dapat emas dan empat dapat perak,” kata Cindy.
Sejauh ini, para orangtua memang mendukung kegiatan yang dilakukan Forum Anak Pandawa. Termasuk orangtua anak pekerja migran. Nurmayani (30), yang punya dua anak, memberikan kepercayaan penuh kepada sang anak untuk ikut dalam semua kegiatan forum.
”Anak saya termasuk yang kemarin dapat medali di pertandingan taekwondo. Itu membanggakan karena dia bisa berprestasi sejak kecil. Ikut taekwondo juga melatih dia agar bisa melindungi diri,” kata Nurmayani.
Menurut Nurmayani, kehadiran forum membantunya sebagai orangtua tunggal ketika suaminya saat ini berada di Malaysia. Apalagi, anaknya termasuk aktif dan tidak mau ketinggalan kegiatan forum.
Baca Juga: Anak Pekerja Migran di Tepi Jurang Kemiskinan
Berbagai upaya yang dilakukan Forum Anak Pandawa layak diapresiasi. Akan tetapi, agar apa yang mereka perjuangkan terwujud, dukungan dari semua pihak juga harus terus diberikan.