Gerak Sesar Lawanopo Semakin Mengancam, Peta Zonasi dan Likuefaksi Belum Ada
Gempa-gempa dari aktivitas Sesar Lawanopo mengguncang Konawe Utara, Sabtu (6/3/2020). Mitigasi di kawasan itu hingga kini masih rentan menghadapi bencana.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·3 menit baca
KENDARI, KOMPAS - Tiga kejadian gempa mengguncang Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, Sabtu (6/3/2021). Gempa-gempa itu berasal dari aktivitas Sesar Lawanopo. Pemetaan daerah rawan bencana hingga zonasi likuefaksi di Sulawesi Tenggara mendesak dilakukan.
Pada Sabtu malam, gempa Magnitudo 4,1 mengguncang kawasan Labungga. Dua gempa sebelumnya, M 3,5 pada Sabtu, sekitar pukul 13.04 Wita. Sejam kemudian, muncul gempa susulan M 2,9.
“Berdasarkan laporan, dua gempa awal tidak merusak. Hanya dirasakan seperti truk lewat di sejumlah lokasi. Untuk gempa M 4,1, ada tembok rumah yang retak kecil. Kerusakan ringan," kata Rudin, Kepala Stasiun Geofisika Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Kendari, Sabtu siang.
Sejumlah gempa di wilayah Konawe Utara ini merupakan jenis gempa dangkal akibat aktivitas Sesar Lawanopo di barat daya Labungga. Pusat gempa di darat dengan kedalaman 10 kilometer. Sesar Lawanopo adalah salah satu sesar aktif di Sultra.
Berdasarkan data Stasiun Geofisika Kendari selama tahun 2020, ada 33 gempa di Sesar Lawanopo. Namun, hanya tiga kejadian yang dirasakan warga. Tahun ini, tercatat tiga kali gempa dan semuanya dirasakan masyarakat.
Menurut Rudin, Sesar Lawanopo memiliki pergerakan sebanyak 5-7 milimeter dalam setahun. Pergerakan sesar ini bergeser ke arah kiri atau disebut juga sesar geser (strike-slip fault).
Rudin mengatakn, gempa ini tetap harus diwaspadai. Alasannya, bisa menunjukkan adanya peningkatan aktivitas sesar. Di satu sisi, masyarakat dihimbau tidak percaya berita bohong dan melaporkan kejadian ke BMKG.
Ketua Forum Pengurangan Risiko Bencana Sultra Jamhir Safani mengatakan, Sesar Lawanopo tergolong sesar aktif, yang merupakan satu sistem sesar panjang. Sesar ini membentang dari perbatasan Sulawesi Tengah, melintasi Konawe Utara, Kendari, Konawe Kepulauan, hingga ke Laut Banda.
Dengan wilayah episentrum di Konawe Utara, terang Jamhir, penting diwaspadai masyarakat dan pemerintah daerah setempat. Sebab, di daerah ini, kontur dan morfologi daerah telah berubah masif akibat pertambangan skala besar.
“Dengan kondisi batuan yang berubah, gunung yang menjadi tebing, maka saat terjadi gempa, atau aktivitas sesar yang meningkat, bisa menyebabkan longsor. Lebih berbahaya lagi ketika longsoran berdekatan dengan fasilitas umum atau pemukiman karena bisa menimbulkan korban jiwa,” terangnya.
Oleh sebab itu, Jamhir berharap peta rawan bencana segara dibuat dan diterapkan di wilayah-wilayah rentan bencana, khususnya gempa. Peta ini penting sebagai dasar mitigasi hingga arah pembangunan ke depan.
Tidak hanya itu, riset terkait likuifaksi juga mendesak dilakukan, khususnya di wilayah pemukiman. Sebab, sejauh ini belum ada riset khusus yang memetakan potensi dan wilayah renta terdampak likuifaksi di Konawe Utara atau Sultra.
“Riset terkait peta bencana dan likuifaksi adalah dua hal yang mendesak dilakukan pemerintah. Riset ini bisa menggandeng BMKG atau akademisi agar segera ada peta komprehensif terkait bencana. Sejauh yang saya tahu, peta likuifaksi belum pernah dilakukan di wilayah ini,” ucap Jamhir.
Di wilayah Sultra, terdapat sejumlah sesar yang aktif. Selain Sesar Lawanopo, juga terdapat Sesar Buton, Sesar Naik-Tolo, Sesar Kendari, dan Sesar Tolo. Wilayah Buton, yang merupakan kepulauan, termasuk daerah rawan gempa. Sejumlah gempa terjadi pada 2020 hingga akhir Februari lalu.
Sesar Buton, merupakan salah satu sesar aktif di wilayah Sultra. Sesar ini memiliki pergerakan 0,1 milimeter per tahun. Sesar ini memiliki dua segmen, yaitu A sepanjang 60 kilometer di Pulau Muna, dan B sepanjang 29 kilometer di Pulau Buton.
Riset oleh Barbara Neumann di jurnal PLOS One (2015) juga menyebutkan, Indonesia merupakan satu dari lima negara di Asia dengan jumlah penduduk paling banyak tinggal di pesisir yang rentan bencana alam, baik oleh peningkatan muka air laut karena perubahan iklim, banjir, maupun tsunami.
Seiring waktu, risiko bencana tsunami di Indonesia meningkat karena tren pertumbuhan kota-kota ke arah pesisir. Apalagi, lima tahun terakhir pemerintahan memprioritaskan pembangunan infrastruktur di pesisir demi mendukung tol laut dan pengembangan kawasan pantai (Kompas, 21/11/2019).