Sikap Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Belum Terbangun di NTT
Sikap kedaruratan kesehatan masyarakat dalam memerangi pandemi Covid-19 di Nusa Tenggara Timur belum terbangun. Kegiatan penanggulangan pandemi selama 1 tahun terakhir ini masih sebatas kedaruratan medis.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Sikap kedaruratan kesehatan masyarakat dalam menanggulangi pandemi Covid-19 di Nusa Tenggara Timur belum terbangun. Kegiatan penanggulangan pandemi selama 1 tahun terakhir ini masih sebatas kedaruratan medis. Refokusing dana APBD pemprov dan pemkab/pemkot mestinya antara lain diarahkan untuk penerapan protokol kesehatan di tingkat RT/RW secara masif.
Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dr Hyron Fernandes di Kupang, Jumat (5/3/2021), mengatakan, sikap kedaruratan kesehatan masyarakat tidak dilihat sebagai sesuatu yang konkret, seperti pengadaan alat-alat kesehatan. Sikap itu terbangun ibarat menghadapi musuh yang tak kelihatan, merusak seluruh tatanan kehidupan masyarakat.
”Laboratorium PCR (polymerase chain reaction), mobil PCR, vaksin, rumah sakit, dan sumber daya petugas kesehatan itu penting. Namun, di samping itu, sikap kedaruratan itu perlu dimiliki seluruh jajaran pemda yang memiliki kuasa dan kewenangan untuk melawan pandemi Covid-19. Bahwa ancaman keselamatan nyawa warga sangat nyata di depan mata, tidak bisa dianggap enteng atau biasa-biasa saja. Keselamatan nyawa warga itu di atas segala-galanya,” tutur Fernandes.
Membangun sikap kedaruratan itu tidak semata mengadakan alat-alat kesehatan, memberi tunjangan insentif kepada petugas kesehatan, atau mengadakan sarana dan prasarana kesehatan dalam rangka penanggulangan virus korona jenis baru. Hal itu penting, tetapi lebih penting lagi adalah bagaimana menggerakkan seluruh elemen masyarakat untuk terlibat ”berperang” melawan pandemi Covi-19 yang tak kelihatan itu.
Peran RT/RW, pengusaha, lembaga swadaya masyarakat, akademisi, perguruan tinggi, dan lembaga-lembaga strategis lain belum digerakkan. Pemda tidak perlu menunggu inisiatif dari mereka, tetapi bagaimana membangun kerja sama dalam mengatasi pandemi yang menyebar begitu cepat sampai ke desa-desa di pedalaman NTT.
Ia mengatakan, kasus Covid-19 di NTT pada awalnya bergerak landai. Pada Maret-Agustus 2020 muncul sekitar 300 kasus Covid-19. Lonjakan kasus baru terjadi memasuki September-Desember 2020 yang menembus 5.000 kasus. Pada akhir Februari 2021, kasus telah mencapai 9.857 dan sampai 4 Maret 2021 menjadi 10.015 kasus.
Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk NTT saat ini, yakni 5,3 juta, jumlah kasus 10.015 itu termasuk sangat tinggi. Angka 10.015 itu hampir sama dengan beberapa provinsi di Pulau Jawa, tetapi jumlah penduduk di daerah itu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan NTT.
Lonjakan kasus itu terjadi di masyarakat bukan di rumah sakit atau puskesmas. Karena itu, pencegahan dari hulu, yakni di tingkat masyarakat, sangat penting dan mendesak. Penerapan protokol kesehatan, mengenakan masker, jaga jarak, menghindari kerumunan, dan kurangi mobilitas menjadi hal paling utama.
Peran RT/RW, pengusaha, lembaga swadaya masyarakat, akademisi, perguruan tinggi, dan lembaga-lembaga strategis lain belum digerakkan.
Fernandes mengatakan, Polri dan TNI sejak awal kasus, Maret 2020 sampai hari ini, justru lebih gencar melakukan sosialisasi protokol kesehatan, seperti penggunaan masker. Akan tetapi, itu belum cukup kalau penguasa daerah belum membangun koordinasi yang solid yang melibatkan RT/RW, kelurahan, dan masyarakat di lingkungan masing-masing untuk peduli terhadap masalah itu.
Kepedulian pemda mengatasi kedaruratan medis dalam mengambil kebijakan masih sebatas pada sarana prasarana, anggaran, tunjangan insentif, dan regulasi. Pemda menggunakan pendekatan ilmu kesehatan. Hal itu penting, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana memutus rantai penyebaran Covid-19 di masyarakat.
”Sosialisasi protokol kesehatan melalui media massa dan imbauan-imbauan itu penting, tetapi lebih penting menggerakkan semua elemen masyarakat sampai tingkat bawah. Lebih baik mencegah daripada memberi vaksin,” kata Fernandes. Sebab, lanjut dia, virus terus membentuk varian baru. Belum tentu vaksin yang ada saat ini cocok untuk virus varian baru tersebut.
Ia menilai refokusing APBD pemprov senilai Rp 300 miliar, pemkab/pemkot masing-masing berkisar Rp 20 miliar-Rp 80 miliar sangat tepat. Akan tetapi, anggaran itu harus dialokasikan ke jalur yang tepat, terutama sosialisasi praktik 5M, mengenakan masker, menjaga jarak, mencuci tangan dengan sabun di air mengalir, menghindari kerumunan, dan mengurangi mobilitas.
Apabila perlu, pemda mengadakan masker dalam jumlah tertentu, didistribusikan ke setiap RT/RW untuk dibagikan kepada masyarakat. Namun, itu juga perlu diawasi dan dikontrol sehingga tidak disalahgunakan. Setiap anggota di RT/RW perlu saling berkoordinasi membangun pemahaman yang sama untuk menerapkan protokol kesehatan yang ketat.
Ketika ada anggota RT/RW masuk-keluar lingkungan tidak mengenakan masker, misalnya, bisa diingatkan. Selain itu, dibangun saluran air untuk cuci tangan di lingkungan itu. ”Perlu sosialisasi ketua RT setempat sehingga tidak ada yang merasa tersinggung saat ditegur,” kata Fernandes.
Sekretaris Satgas Covid-19 NTT David Mandala dalam rilis data Covid-19 di NTT menyebutkan, sampai Kamis (4/3/2021) jumlah kasus di NTT sebanyak 10.015 orang. Total pasien sembuh 7.588 orang, masih dirawat sebanyak 2.155 orang, dan meninggal mencapai 272 orang.
”Terdapat tambahan kasus baru pada 4 Maret sebayak 88 orang. Kota Kupang sebanyak 48 orang, Timor Tengah Selatan 12 orang, Sumba Timur 12 orang, Timor Tengah Utara 7 orang, Kabupaten Kupang 5 orang, Lembata 2 orang, Sumba Barat Daya dan Kabupaten Manggarai Barat masing-masing 1 orang,” kata David.
Namun, angka kesembuhan terus menunjukkan kenaikan. Dari 102 orang yang dinyatakan sembuh sehari sebelumnya, naik menjadi 240 orang pada 4 Maret ini. Mereka berasal dari Kota Kupang sebanyak 159 orang, Ngada 20 orang, dan Manggarai Barat 17 orang. Selain itu, Belu 14 pasien sembuh dan Timor Tengah Utara 5 pasien sembuh.
Pemprov terus melakukan koordinasi dan kerja sama dengan kabupaten/kota, terutama Kota Kupang, untuk menekan kasus. Pekan lalu, pemprov mengirim 100 tenaga penelusuran, pengetesan, dan perawatan (3T) ke Pemkot Kupang. Kini, mereka ditempatkan di 12 puskesmas dan sejumlah rumah sakit di Kota Kupang.
Jika ada lonjakan kasus baru, lanjut David, hal itu merupakan hasil kegiatan 3T di lapangan. Dampak positif dari 3T ini akan kelihatan setelah 3-4 pekan ke depan. ”Apabila setelah satu bulan jumlah kasus di Kota Kupang cenderung menurun, fungsi tenaga 3T itu berhasil,” katanya.