Aklimatisasi Petani Menyintas Pandemi
Petani tidak berhenti berusaha di tengah pandemi. Mereka tetap gigih mengupayakan ragam komoditas baru untuk ditanam dan mengembangkan pemasaran hingga ke luar negeri.
Meski turut terpukul pandemi, sektor pertanian terbukti punya daya lenting di tengah krisis. Para petani di sejumlah daerah tetap adaptif dan inovatif dalam situasi sulit. Komoditas baru dibudidayakan sebagai bentuk aklimatisasi terhadap perubahan.
Awal Oktober 2020, di tengah keterpurukan kondisi ekonomi di masa pandemi Covid-19, asa baru justru ditangkap Suratmi (51), warga Desa Kebonrejo, Kecamatan Candimulyo, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Rona ungu bunga telang (Clitoria ternatea) tak saja indah dipandang, tetapi juga menawarkan manfaat dengan nilai ekonomi menjanjikan.
“Bagi saya, tanaman ini (bunga telang) adalah pohon duit,” ujar Suratmi disusul tawa lebar, Kamis (18/2/2021). Tidak berlebihan jika disebut sebagai pohon duit atau uang, karena setiap kelopaknya berharga rupiah.
Suratmi memiliki sekitar 100 tanaman bunga telang, yang 50 pohon di antaranya siap dipetik bunganya setiap hari. Sekitar 1 kilogram bunga telang kering laku dijual ke perusahaan eksportir di Jakarta dengan harga Rp 600.000. “Jika dihitung-hitung pemasukan selama sebulan, hasil dari bunga telang ini bisa membantu untuk biaya sekolah anak-anak dan kebutuhan rumah tangga sehari-hari,” ujarnya.
Aktivitas menanam bunga telang dimulai Suratmi pada Oktober 2020. Ketika itu, eksportir yang semula menyerap gula semut organik buatan Kelompok Wanita Tani (KWT) Srikandi Tani, tempat Suratmi menjadi pengurus, meminta tambahan varian komoditas lain yaitu bunga telang, dengan target negara sasaran, Jerman. Di negara tersebut, bunga telang banyak diolah untuk pewarna alami makanan serta minuman.
Bagi warga Desa Kebonrejo termasuk Suratmi yang selama ini lebih terbiasa dengan tanaman unggulan seperti kelapa dan durian, bunga telang menjadi sesuatu yang sama sekali baru. Namun, bukan berarti kemudian tawaran itu diabaikan.
Baca juga : Di Tengah Pandemi Covid-19, Jabar Ekspor 30 Ton Ubi Jalar ke Hong Kong
Mendapatkan bantuan dari eksportir sebanyak 200 bibit bunga telang, KWT Srikandi Tani dibantu warga lain, awalnya mampu mengembangkan 120 tanaman. Tak puas dengan pencapaian itu, warga berupaya mencari, membeli bibit, dan mengembangkannya lagi.
Bagi saya, tanaman ini (bunga telang) adalah pohon duit. (Suratmi)
Para petani mencari-cari di marketplace, kemudian membeli 1.000 biji tanaman telang. Dari jumlah tersebut, 300 biji berhasil disemai menjadi bibit, yang kemudian dibagi-bagikan kepada anggota KWT Srikandi Tani lainnya. Mereka juga membagikan pada tiga kelompok tani di dua dusun di Desa Kebonrejo dan satu kelompok tani di Desa Bateh yang selama ini menjadi mitra kerja KWT, dalam pengadaan gula semut.
Di tangan mereka, tanaman telang di Kecamatan Candimulyo terus berkembang. Sebanyak 80 anggota KWT Srikandi Tani kini telah memiliki sekitar 450 tanaman bunga telang yang terus berbunga dan bisa dipetik setiap hari. Adapun tiga kelompok tani lain di daerah tetangga, telah memiliki 100 tanaman dan terus berkembang.
Rintisan
Suratmi mengakui, usaha budidaya bunga telang yang saat ini dijalankan bersama rekan-rekan petani lainnya adalah usaha rintisan yang dikembangkan semasa pandemi. Terlebih, di masa pandemi, sendi-sendi kehidupan ekonomi warga terpukul.
Bunga telang menjadi inovasi terkini Suratmi dan anggota sejumlah kelompok tani di Candimulyo. Sebelumnya mereka telah membuat gula semut dari nira kelapa, berkreasi membuat keripik bonggol pisang, serta teh celup sereh dari bahan empon-empon sereh. Selain diekspor, mereka berencana membuat teh celup bunga telang.
Meski baru lima bulan dijalankan, budidaya bunga telang untuk komoditas ekspor cukup menjanjikan. Menurut Suratmi, para petani di Candimulyo mampu mengirim 1-2 kg bunga telang kering kepada eksportir. Meski begitu, volume itu masih jauh di bawah permintaan yang mencapai 15 kg per minggu.
Namun, menurut Suratmi, volume produksi belum bisa optimal karena petani masih dalam tahap pengembangan awal. Setiap pekan, petani hanya mampu menyetor 50-60 gram, dan maksimal 100 gram. KWT Srikandi Tani biasa membeli kembang telang petani dengan harga Rp 500.000 per kg untuk dikemas ulang lalu dijual ke eksportir dengan harga Rp 600.000 per kg.
Dengan melihat peluang permintaan pasar bunga telang yang besar, satu per satu Candimulyo pun ikut menanamnya. Suratmi juga kerap mengajak warga lain melihat-lihat budidaya bunga telang di pekarangan rumahnya. “Belakangan, mereka juga sering mengambil biji-bijinya langsung dari tanaman telang yang masih tumbuh di halaman rumah,” ujarnya.
Budidaya bunga telang yang dilakukan KWT Srikandi Tani ini juga didukung kaum petani pria yang tergabung dalam Kelompok Tani Ngudirejo. Suami Suratmi, Komarudin, yang juga ketua Kelompok Tani Ngudirejo, bahkan membuat mesin pengering untuk mengeringkan bunga telang dalam sehari, lebih cepat dibandingkan proses pengeringan di bawah sinar matahari yang membutuhkan waktu dua hari.
Tak hanya di Candimulyo, budidaya bunga telang di Kabupaten Magelang juga merebak di daerah lain yakni Desa Margoyoso, Kecamatan Salaman. Ahmad Tarwiyadi (36), ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Karya Maju di Desa Margoyoso menuturkan, enam bulan lalu, dia mulai mencari-cari benih bunga telang. Sempat putus asa karena tidak kunjung mendapatkannya, dia justru ditawari untuk mengambil biji bunga telang dari salah seorang temannya di Sleman, DIY.
Diberi kesempatan mengambil hingga 10.000 biji bunga telang, dia pun membagi-bagikan biji tersebut kepada enam kelompok tani yang tergabung dalam Gapoktan Karya Maju. Ahmad sendiri kini sudah mengembangkan 500 tanaman bunga telang, yang biji-binya juga terus dibagikan pada petani lain. Selain di lingkup desanya sendiri, sebagian biji dibagikan hingga desa tetangga seperti Desa Krasak.
Gapoktan Karya Maju baru satu kali mengirimkan bunga telang untuk diekspor ke Jerman, dengan volume pengiriman 0,5 kg. Ahmad menyadari, volume produksi belum tinggi karena ratusan petani di Desa Margoyoso baru memulai mengembangkan jenis bunga ini.
Namun, Ahmad pun tetap bersemangat mengajak banyak orang menanam bunga telang. Ia, misalnya, sengaja menyajikan minuman bunga telang dalam setiap acara desa dan membagi-bagikan stok bunga telang kering yang disimpannya di rumah. Dia juga banyak bercerita tentang budidaya telang.
Selain karena bernilai ekonomis tinggi, Ahmad bersemangat mengajak orang lain menanam telang karena merasa bunga tersebut bermanfaat bagi kesehatan, termasuk menyehatkan dan meningkatkan stamina. “Saya berharap banyak orang juga merasakan dampak positif dari bunga telang,” ujarnya.
Bunga telang diketahui bermanfaat mencegah diabetes, mencegah obesitas, memiliki sifat antioksidan, antikanker serta antiinflamasi.
Beragam komoditas
Inovasi yang dilakukan petani Candimulyo dengan bunga telang bukan hal baru. Untuk komoditas gula semut, misalnya, menurut Suratmi, KWT terus berupaya memperluas jaringan dengan petani lain demi memenuhi permintaan pasar luar negeri yang mencapai 10 ton per bulan. Adapun KWT Srikandi Tani bersama kelompok tani di dua dusun dan satu desa lain, baru mampu menghasilkan 5 ton gula semut per bulan.
Produksi dan upaya ekspor gula semut adalah cerita panjang petani yang sudah dimulai sejak tahun 2012. Berupaya sendiri menarik minat eksportir yang sebenarnya berkunjung ke desa lain, lahan kelapa milik warga Desa Kebonrejo akhirnya berhasil disertifikasi organik, dan gula semut produksi mereka akhirnya mampu diekspor ke Jerman, Belgia, dan Belanda.
Adapun di Desa Margoyoso, bunga telang juga bukan satu-satunya primadona. Bunga berwarna ungu itu baru dibudidayakan sejak tahun lalu, sedangkan sejak 2017, warga sudah terlebih dahulu mengembangkan dan mengekspor kemukus atau yang juga dikenal dengan lada Jawa ke Jerman. Permintaan Jerman mencapai 20 ton per tahun, sedangkan Desa Margoyoso baru bisa memproduksi 5 ton kemukus per tahun.
Ahmad mengatakan, dalam memenuhi kebutuhan ekspor, tahun ini dia mendorong enam kelompok tani anggota Gapoktan Karya Maju untuk menambah 1.000-2.000 tanaman kemukus. “Dalam waktu tiga tahun, hasilnya akan kami amati, dan mereka yang dinilai sukses mengembangkan akan kami beri hadiah sepasang kambing,” ujarnya.
Ekspor kemukus dilakukan Gapoktan Karya Maju secara mandiri, setelah berkenalan dengan salah seorang karyawan perusahaan eksportir, yang sehari-hari juga berpofesi sebagai petani di lain kecamatan. Sempat ragu mengirim, belakangan, Gapoktan Karya Maju justru menambah komoditas ekspor dengan mengirimkan tujuh sampel empon-empon ke Australia.
Ekspor kemukus dilakukan Gapoktan Karya Maju secara mandiri, setelah berkenalan dengan salah seorang karyawan perusahaan eksportir, yang sehari-hari juga berpofesi sebagai petani di lain kecamatan. Sempat ragu mengirim, belakangan, Gapoktan Karya Maju justru menambah komoditas ekspor dengan mengirimkan tujuh sampel empon-empon ke Australia.
“Salah satu empon-empon yang menjadi unggulan kami adalah kencur,” ujarnya. Saat ini, Gapoktan Karya Maju juga berupaya memproses bibit kencur lokal desa mereka agar bisa mendapatkan label kencur lokal bermerk Sakurdi. Mereka pun berharap bibit kencur dari Desa Margoyoso bisa dikembangkan di daerah-daerah lain.
Baca juga : Di Tengah Pandemi Korona, Sumut Ekspor Produk Pertanian Senilai Rp 86,3 Miliar
Kebutuhan
Pelaksana tugas Kepala Bidang Perkebunan Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Magelang, Widiarto Tri Saksono, mengatakan, gairah menanam bunga telang di masyarakat, baru mulai terlihat tahun lalu. Minat budidaya tumbuh seiring munculnya tren mengonsumsi bunga telang sebagai minuman. Ada pula informasi untuk memanfaatkan bunga telang sebagai bahan menanak nasi dan menbuat aneka kue, serta marak publikasi bahwa tanaman tersebut bermanfaat bagi kesehatan
Karena masih merupakan tanaman baru yang dibudidayakan, menurut dia, kebanyakan warga baru memulainya sebagai usaha rintisan, untuk kebutuhan sendiri saja. Tanaman ini sudah tersebar di seluruh kecamatan di Kabupaten Magelang, tetapi total luasan lahan belum diketahui.
Tumbuhnya minat menanam telang di tengah pandemi, menurut dia, membuktikan bahwa aktivitas pertanian di desa-desa, terus bergerak dan tidak mudah terpuruh oleh beragam gangguan, termasuk pandemi. “Aktivitas bertani tidak pernah mati, dan terbukti warga pun tetap mau berinisiatif, mencoba beragam komoditas baru di lahannya,” ujarnya.
Untuk pengembangan atau perluasan areal tanaman, pemerintah daerah tidak bisa membantu saat bibit tanaman tersebut tidak bersertifikat resmi dari pemerintah pusat. Namun, di tengah kondisi tersebut, petani yang biasanya tidak mempedulikan perihal sertifikasi, akan mengupayakan secara mandiri.
Dengan gairah dan semangat kemandirian itu, petani mengembangkan ragam komoditas yang ditanam dan mengupayakan jaringan pemasarannya sendiri. Mereka membuktikan, dengan adaptasi, pertanian akan selalu menghidupi.