Pelajaran Berharga dari Sri Jayanasa
Dapunta Hyang Sri Jayanasa, pendiri Kedatuan Sriwijaya, memberi pesan berharga bagi para pemimpin bangsa, yakni untuk menghargai alam demi kesejahteraan rakyat. Pesan itu banyak dilupakan kini.
Dapunta Hyang Sri Jayanasa, pendiri Kedatuan Sriwijaya, memberikan pesan berharga bagi para pemimpin bangsa, yakni menghargai alam demi kesejahteraan rakyat. Saat manusia menghargai alam, bencana enggan datang. Taman Sriksetra pun dibangun sebagai manifestasi pesan tersebut.
Eddy (40), warga Kawasan Talang Tuwo, Kecamatan Alang-Alang Lebar, Palembang, tidak pernah menyangka kawasan tempat ia tinggalnya itu dulunya adalah sebuah taman nan asri dengan beragam tanaman pangan bernama Taman Sriksetra. Wajar, karena jejak taman itu telah tiada, berganti rupa menjadi kebun kelapa sawit yang bersanding dengan ratusan rumah warga.
Keasrian taman tersebut hanya didengar Eddy dari penuturan Kepala Balai Arkeologi Sumatera Selatan Budi Wiyana saat berkunjung ke sana, Minggu (31/1/2021). Budi memperkirakan, 1.337 tahun lalu atau sekitar 684 masehi, kawasan Talang Tuwo merupakan Taman Sriksetra yang dibangun oleh pendiri Kedatuan Sriwijaya, Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Pembangunan taman itu sebagai wujud pengamalan ajaran Buddha Mahayana dan bentuk kecintaan sang raja pada rakyatnya.
Keberadaan Taman Sriksetra itu terpatri dalam Prasasti Talang Tuwo yang ditemukan pada 1920. Di taman itu tumbuh beragam tanaman seperti kelapa, pinang, aren, sagu, dan beragam tanaman kayu yang buahnya dapat dimakan. Ada juga bambu haur, waluh, patum, dan sebagainya.
Pada prasasti yang ditulis dengan aksara Pallawa berbahasa Melayu Kuno itu juga disebutkan beragam pesan dan harapan dari sang raja. Salah satunya agar taman tersebut dapat digunakan untuk kebaikan semua makhluk.
Baca juga: Lokasi Penemuan Prasasti Talang Tuwo Palembang Terancam Pembangunan
Dugaan bahwa kawasan Talang Tuwo dulunya adalah Taman Sriksetra diperkuat dengan keberadaan kolam berukuran 1,5 hektar yang kini dipenuhi dengan bunga teratai di atasnya. Sama seperti yang tertulis dalam prasasti bahwa di sekitar taman juga terdapat bendungan, dan kolam.
Sondang Martini Siregar Peneliti dari Balai Arekologi Sumsel memandang dari perspektif yang berbeda. Prasasti Talang Tuwo menggambarkan pola kepemimpinan Sri Jayanasa yang memahami kondisi wilayah yang dikuasainya. Alhasil, skema pembangunan infrastruktur pun disesuaikan dengan kondisi alam Palembang kala itu.
”Sang raja membangun bendungan, kolam, telaga, parit, dan kanal. Infrastruktur itu dibangun untuk mengatur volume aliran air yang mengalir agar ketika hujan turun tidak terjadi banjir sebaliknya ketika kemarau, lahan tak kering,” ujar Sondang.
Sri Jayanasa pun memerintahkan agar Taman Sriksetra ditanami beragam tumbuhan yang cocok ditanam di lahan basah (rawa) serta mendatangkan manfaat bagi mahluk hidup. Pohon aren dan sagu, misalnya, yang memang cocok ditanam di sepanjang daerah aliran sungai. Kedua komoditas itu pun menjadi bahan baku panganan warga. Bahkan, diduga menjadi cikal bakal munculnya pempek.
Selain itu, bambu aur, wuluh, dan betung pun dapat digunakan sebagai bahan peralatan rumah tangga atau pagar pembatas kampung. Tanaman itu pun bisa tumbuh dengan cepat sehingga dapat menghijaukan kembali lahan yang terbakar.
Sang raja membangun bendungan, kolam, telaga, parit, dan kanal. Infrastruktur itu dibangun untuk mengatur volume aliran air yang mengalir agar ketika hujan turun tidak terjadi banjir sebaliknya ketika kemarau, lahan tak kering. (Sondang Martini Siregar)
Berbeda dengan kondisi saat ini, menurut Sondang, kiblat pembangunan tidak lagi sesuai dengan kondisi lingkungan. Sebaliknya, alamlah yang selalu dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan pembangunan.
Hal ini terlihat dari penimbunan anak sungai untuk pembangunan perumahan atau menanam komoditas perkebunan yang rakus akan air. Akibatnya, lahan rawa pun menjadi kering. ”Alhasil, banjir dan kebakaran lahan kerap terjadi,” kata Sondang.
Baca juga: Kebakaran Lahan di Sumsel Memasuki Lahan Gambut
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumsel mencatat sepanjang tahun 2020 setidaknya sudah 149 kali bencana alam terjadi di Sumsel seperti banjir, tanah longsor, banjir bandang, angin kencang, dan beragam bencana lainnya. Ribuan warga Sumsel pun terdampak.
Penelusur sejarah dari Universitas Sriwijaya Muhammad Ikhsan menuturkan, kondisi Palembang masa lalu sebenarnya sudah tergambar dari namanya. Palembang diambil dari kata Lembang yang berasal dari bahasa Melayu Kuno ini berarti tanah rendah, tempat yang berserak-serak, atau akar yang membengkak karena terendam air.
Begitu pun dalam bahasa Melayu-Palembang, kata Palembang berasal dari Lembeng yang berarti rembesan air. ”Ini menandakan, sejak dulu sebagian besar lahan di Palembang merupakan lahan basah,” ungkap Ikhsan. Kalaupun ada lahan keras/kering, tempat itu biasanya disebut talang.
Tak sulit untuk menemukannya, lihat saja dari penamaan kawasan di Palembang seperti Talang Tuwo, Talang Keranggo, Talang Semut. Kemungkinan kawasan itu dulu merupakan tanah keras atau tinggi.
Dari sungai ke darat
Pengamat Perkotaan dari Universitas Indo Global Mandiri Palembang Bambang Wicaksono menyebutkan, sejak zaman Kedatuan Sriwijaya sampai masa Kesultanan Palembang Darussalam kehidupan masyarakat Palembang masih berorientasi pada sungai. Sistem pertanian, perekonomian, dan permukiman warga selalu mengikuti alur sungai. ”Karena bagi mereka, sungailah yang membentuk kehidupan,” ujar Bambang.
Pola kehidupan itu berangsur berubah pada masa kolonial Belanda. Hal itu ditandai dengan penimbunan sejumlah anak sungai untuk kemudian dijadikan akses jalan raya. Proses penimbunan dimulai sejak 1930. Kala itu, beberapa anak sungai di Palembang, seperti Sungai Tengkuruk, ditimbun untuk dijadikan jalan. Kini jalan itu bernama Jalan Sudirman.
Bagitu pun Sungai Kapuran yang kini telah berubah wujud menjadi Jalan Merdeka. ”Lambat laun, pola kehidupan warga yang tadinya berpusat pada sungai beralih ke darat,” ujarnya.
Dari segi politik, urai Bambang, pengalihan pola kehidupan ini juga bertujuan untuk mengurangi ancaman perlawanan masyarakat. ”Bangsa Eropa, termasuk Belanda, tidak terbiasa berperang di sungai. Karena itu, ketika pola kehidupan telah berganti ke fase darat, maka potensi perlawanan bisa diminimalisasi,” kata Bambang.
Skema kehidupan darat pun terus berlanjut hingga kini ditandai dengan terus ditimbunnya anak sungai. Dalam catatan sejarah milik Pemerintah Belanda yang dikutip dari budayawan Palembang, Djohan Hanafiah, pada 1930-an, Palembang memiliki sekitar 316 anak sungai, tetapi seiring pembangunan kota, seperti tercatat dalam situs Palembang.go.id, kota tertua di Indonesia ini sekarang hanya memiliki 108 anak sungai.
Rehabilitasi
Gubenur Sumatera Selatan Herman Deru mengatakan pihaknya berkomitmen untuk membenahi kawasan daerah aliran sungai (DAS) guna mencegah terjadinya bencana baik itu banjir maupun kebakaran lahan. Salah satu caranya adalah meginventarisasi kawasan kritis untuk segera direhabilitasi.
Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Selatan Pandji Tjahjanto mengungkapkan, setidaknya ada 38.369 hektar lahan DAS di Sumsel yang perlu direhabilitasi. Tugas rehabilitasi itu diemban oleh 84 perusahaan pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan.
Dari jumlah itu, ujar Pandji, baru 1.266 hektar lahan yang telah direhabilitasi oleh sembilan perusahaan sisanya masih dalam proses. Ke depan, pemerintah berencana tim percepatan agar proses rehabilitasi lahan kritis di DAS segera terealisasi.
Di sisi lain, tutur Herman, pembasahan lahan rawa dengan mekanisme teknologi modifikasi cuaca terus dilakukan agar kebakaran lahan di Sumsel tidak terulang. Kebakaran lahan memang kerap kali terjadi di Sumsel bahkan hampir setiap tahun. Pada tahun 2019 sekitar 428.356 hektar lahan di Sumsel terbakar. Pada tahun 2020 kebakaran hutan dan lahan (karhutla) menurun menjadi 946,33 hektar karena intensitas curah hujan yang tinggi.
Tahun ini, lanjut Herman, Pemprov Sumsel sudah mengalokasikan dana sebesar Rp 30,32 miliar dan mempercepat status Siaga karhutla yang akan dimulai pada Maret 2021 agar kebakaran lahan tidak terjadi pada tahun ini.
Direktur Perkumpulan Lingkar Hijau Hadi Djatmiko mengingatkan agar pola pembangunan harus berkesinambungan dengan mengedepankan kelestarian lingkungan. Hal ini penting untuk mencegah terjadinya bencana. ”Ketika pembangunan tidak memperhatikan lingkungan, bencana tinggal tunggu waktu,” ujarnya.
Karena itu, sebelum mulai membangun ada baiknya melakukan kajian terhadap dampak yang akan diterima. Selain itu, perlu dihitung ulang, apakah nilai ekonomi yang diperoleh pada proyek itu sebanding dengan potensi bencana yang ditimbulkan.
Mulailah memperhatikan lingkungan dengan memetik pelajaran dari para pendahulu, salah satunya dari Dapunta Hyang Sri Jayanasa.