Pemerintah dan pemangku kepentingan energi dihadapkan pada tantangan memaksimalkan eksplorasi sebagai awal dari kegiatan hulu minyak dan gas bumi.
Oleh
AMBROSIUS HARTO, AGNES SWETTA PANDIA
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS – Pemerintah dan pemangku kepentingan energi dihadapkan pada tantangan memaksimalkan eksplorasi sebagai awal dari kegiatan hulu minyak dan gas bumi. Sebabnya, dunia melalui sejumlah perusahaan besar berada dalam masa transisi yang relatif singkat 5-10 tahun untuk beralih dari energi fosil ke energi hijau.
Meski dunia sedang beralih ke energi hijau, pada 2030 konsumsi energi fosil atau bahan bakar minyak dan gas bumi masih cukup besar yakni 40 persen. Pada 2050, konsumsi energi fosil juga tetap besar yakni 36 persen dari bauran pemakaian energi dunia. Situasi ini memperlihatkan bahwa masih ada potensi yang bisa dioptimalkan dari energi fosil sepanjang sumber daya alam masih ada dan pemanfaatan bernilai ekonomi tinggi.
“Kebutuhan energi fosil masih akan dominan sehingga secara nasional butuh upaya luar biasa untuk pemenuhan kebutuhan,” kata Nanang Abdul Manaf, tenaga ahli Komisi Pengawas SKK Migas dalam keterangan tertulis, Rabu (23/2/2021).
Salah satu upaya ialah memaksimalkan eksplorasi. Cadangan baru migas tidak akan ada tanpa proses eksplorasi yang baik. Eksplorasi penting karena setiap barel produksi minyak bumi dimulai dari temuan new field wildcat well atau sumur eksplorasi baru. Masa mudah mendapatkan minyak sudah lewat sehingga industri hulu dihadapkan pada tantangan produksi menurun, area eksplorasi menjauh ke perairan, waktu komersialisasi penemuan terlalu lama, investor kurang tertarik lagi untuk eksplorasi di Indonesia, dan minim terobosan aturan investasi migas.
Nanang mengungkapkan, Indonesia memiliki 128 basin atau cekungan potensi migas. Sebanyak 20 cekungan sudah berproduksi, 27 basin dibor dengan penemuan, 13 basin dibor tanpa penemuan, dan 68 cekungan belum dieksplorasi. Setidaknya 70 persen cadangan migas Nusantara berada di perairan dan kegiatan terutama eksplorasi menuntut biaya amat besar (80-100 juta dollar AS).
Padahal, tingkat pengembalian investasi rendah sedangkan periode eksplorasi pendek. Masa waktu (lead time) dari penemuan ke produksi pertama 8-26 tahun bergantung pada jenis lapangan. Rata-rata masa waktu di Indonesia 10,5 tahun sehingga menurunkan minat investor untuk eksplorasi di Indonesia.
Iklim investasi migas di Indonesia terendah di Asia Tenggara. Untuk itu, Kementerian ESDM menyiapkan sejumlah strategi. Yang terutama ialah meningkatkan prospektivitas eksplorasi, pendekatan fiscal, kepastian regulasi, dan stabilitas politik keamanan. “Diharapkan Indonesia bisa keluar dari situasi kriris peningkatan investasi energi untuk menutupi jurang kebutuhan energi dalam masa transisi,” kata Nanang.
Pertamina EP Asset 4, salah satu Kontraktor Kontrak Kerjasama energi fosil berkomitmen mencukupi kebutuhan energi nasional. Pertamina akan terus melaksanakan eksplorasi meski tantangan besar untuk menjaga ketersediaan energi dari fosil sampai puluhan tahun mendatang.
Diharapkan Indonesia bisa keluar dari situasi kriris peningkatan investasi energi untuk menutupi jurang kebutuhan energi dalam masa transisi
"Kami tetap optimistis untuk ketersediaan energi Indonesia, dan kami komitmen untuk terus melakukan eksplorasi, salah satunya yang sedang disiapkan sumur Eksplorasi Kasuari Emas di Kabupaten Bojonegoro (Jawa Timur)", ujar Deddy Syam, Asset 4 General Manager PT Pertamina EP.
Deddy menambahkan, kegiatan eksplorasi membuahkan hasil temuan cadangan yang besar sehingga dapat memperpanjang masa energi fosil di Indonesia. Temuan itu akan menjamin keberlangsungan usaha Pertamina sekaligus memelihara komitmen pemenuhan energi nasional.
Nanang mengatakan, negara-negara lainnya yang meski memiliki sumur-sumur tua menempuh perbaikan untuk menarik minat investor guna eksplorasi migas. Indonesia harus mengadaptasi fiscal terms dunia sehingga turut menarik minat penanam modal. Bisa juga mengecilkan tingkat risiko investasi sehingga unggul daripada negara lain.
"Hasil analisis kami menunjukkan perbaikan fiscal terms berdampak pada peningkatan keuntungan bagi kedua belah pihak, kontraktor dan pemerintah, dari sisi investasi maupun pendapatan," kata Nanang.
Ada pergeseran aktivitas hulu migas dari lapangan on shore yang sudah berumur tua ke daerah lepas pantai dan laut dalam. Tantangan eksplorasi laut dalam adalah biaya tinggi 80-100 juta dolar AS untuk pengeboran satu sumur, tingkat pengembalian investasi (IRR) rendah, dan periode eksplorasi pendek yakni 10 tahun. Untuk itu, perlu ada perbedaan strategi pengelolaan lapangan baru dan lama (mature). Jika bisa menyelesaikan tantangan untuk mengelola lapangan-lapangan tua, perusahaan energi terutama Pertamina bisa bertahan.
"Di Pertamina EP ada lapangan sudah 40 tahun, 50 tahun, bahkan Talang Akar ditemukan pada 1920 sedangkan Rantau pada 1940. Yang luar biasa, semua masih bertahan, masih bisa berproduksi dengan bernilai ekonomis atau menghasilkan keuntungan,” kata Nanang. Situasi ini perlu didukung dengan iklim investasi dan berusaha yang kondusif.