Peredaran Narkotika dari Lapas di Kendari Belum Terbendung
Berturut-turut, kasus narkoba yang dikendalikan oleh narapidana di wilayah Sulawesi Tenggara diungkap aparat.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·5 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Berturut-turut, kasus narkoba yang dikendalikan oleh narapidana di wilayah Sulawesi Tenggara diungkap aparat. Aparat Polres Kendari bahkan menyita telepon genggam milik seorang narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Kendari yang diduga kuat sebagai pengendali. Pihak lapas seakan tidak berdaya mengawasi para narapidana yang terus leluasa menjalankan bisnis haram tersebut.
Tim Satuan Narkoba Polres Kendari menangkap RI (35) di sebuah hotel di Kecamatan Puuwatu, akhir pekan lalu. Sebanyak 33 bungkus kecil sabu ditemukan dengan berat total 53,36 gram. RI diduga kuat hanya seorang kurir dari seorang narapidana yang saat ini menjalani masa tahanan di Lapas Kelas II A Kendari.
”Berdasarkan informasi yang kami terima, ada seorang pria yang memiliki narkoba di sebuah hotel di Kendari. Setelah dilakukan pengintaian dan dilanjutkan dengan pengeledahan, RI ditemukan di kamar hotel dengan barang bukti berupa sabu seberat 53,356 gram,” kata Kepala Satuan Narkoba Polres Kendari Ajun Komisaris Andi Agusfian Pranata di Kendari, Kamis (18/2/2021).
Setelah diinterogasi, lanjut Andi, RI mengaku mendapat sabu dari seseorang yang ia tidak kenal. Ia mendapat perintah dari HN (30), seorang narapidana di Lapas Kelas II A Kendari, untuk mengambil sabu tersebut dengan sistem tempel tanpa mengenal siapa yang memberi. Barang haram ini lalu dijual di wilayah Kendari atau Konawe.
Selain barang bukti sabu dan alat membungkus sabu, aparat juga menyita telepon genggam milik RI. Dari situ, penyidikan dilanjutkan, khususnya komunikasi dengan HN. Aparat lalu bergerak ke lapas untuk melakukan pemeriksaan.
”Kami koordinasi dengan pihak lapas dan diberi izin masuk. Terhadap tersangka HN, kami mendapatkan telepon genggam yang digunakan untuk berkomunikasi dengan RI di dalam tahanan. HN ini merupakan terpidana kasus narkotika yang telah menjalani hukuman beberapa tahun terakhir,” ucap Andi.
Berdasarkan penyidikan sementara, Andi menambahkan, tersangka RI telah tiga kali melakukan pengambilan sabu dari HN. Di kali pertama dan kedua, RI hanya diberi sabu seberat 20 gram untuk dijual kembali. Setelah mendapat kepercayaan HN, RI diberi sabu lebih dari dua kali lipat pada pengambilan ketiga, yaitu 53 gram.
Menurut Andi, pihaknya masih melakukan pengembangan kasus ini. Pemeriksaan HN baru akan dilakukan beberapa hari ke depan. Dalam pemeriksaan awal, HN menolak tuduhan sebagai pengendali sabu dari pengakuan RI. Namun, percakapan di telepon menjadi bukti kuat untuk ditelusuri lebih lanjut.
Kasus narapidana yang mengendalikan peredaran narkotika dari dalam lapas bukan merupakan hal baru di Kendari. Catatan Kompas, kurang dari dua bulan terakhir, telah ada lima kasus peredaran narkotika yang terungkap dan melibatkan narapidana sebagai pengendali. Selain ditangani Polres Kendari, sejumlah kasus ini diungkap oleh Direktorat Reserse Narkoba Polda Sultra hingga Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Sultra.
Awal Februari lalu, BNNP Sultra menangkap seorang penjual ikan dengan barang bukti berupa sabu seberat 713 gram. Pelaku LDS (31) diketahui telah beberapa kali menjalankan aksi dengan upah Rp 500.000 setiap kali transaksi. Pengakuan tersangka, ia mendapat perintah dari narapidana yang mendekam di lapas.
Pada Januari lalu, Polda Sultra bahkan menangkap seorang pegawai negeri sipil (PNS) Balai Pemasyarakatan yang ketahuan memiliki sabu seberat 34,23 gram. LU (35), pegawai itu, mengaku dikoordinasi oleh seorang narapidana di lapas.
”Bahkan, dari penyelidikan awal, tersangka LU pernah membawa paket sabu sebesar 20 gram ke dalam Lapas Kendari. Hal tersebut sesuai perintah dari bandar yang juga narapidana,” kata Direktur Reserse Narkoba Polda Sultra Komisaris Besar M Eka Faturrahman, 5 Januari lalu.
Pada pertengahan 2019, KA, seorang sipir Lapas Kelas IIA Kendari, ditangkap petugas BNNP Sultra karena kepemilikan sabu. Pelaku juga disebutkan menjadi pemasok sabu ke dalam lapas tempatnya bekerja.
Kepala Lapas Kelas IIA Kendari Abdul Samad Damu mengatakan, pihaknya berupaya memaksimalkan pemeriksaan dan penggeledahan blok kamar dan mereka yang memiliki akses masuk-keluar. Pemeriksaan rutin dilakukan sekali dalam seminggu, sementara mereka yang masuk-keluar dilakukan setiap waktu.
Kalau orang bilang ini jadi ”markas” narkoba, itu mungkin hanya anggapan. Memang, banyak yang disebut, tetapi yang terbukti sejauh ini hanya beberapa narapidana.
”Seorang narapidana yang ditugaskan membersihkan di halaman depan kami dapatkan memasukkan telepon yang diplakban di paha. Kami langsung beri sanksi terhadap narapidana tersebut. Untuk yang kasus Polres Kendari kemarin, itu kami dapatkan handphone-nya di bawah bantal,” kata Samad.
Saat dilakukan pemeriksaan, ia melanjutkan, narapidana HN mengaku mendapatkan telepon tersebut dari seorang narapidana yang telah bebas. Akan tetapi, saat ditanya lokasi menyembunyikan telepon itu selama ini, HN tidak mau menjawab hal tersebut.
Terkait kemungkinan keterlibatan sipir dengan maraknya keberadaan telepon genggam, Samad tidak mau menduga-duga. Ia mengaku terus memberikan pemahaman kepada 44 sipir yang bertugas, baik di dalam maupun di bagian depan lapas.
”Kalau orang bilang ini jadi ’markas’ narkoba, itu mungkin hanya anggapan. Memang, banyak yang disebut, tetapi yang terbukti sejauh ini hanya beberapa narapidana. Yang pasti, kami akan meningkatkan pengawasan, khususnya pemeriksaan kamar dari satu kali seminggu menjadi dua kali seminggu dalam waktu dekat,” ujarnya.
Jumlah narapidana di Lapas Kelas II A Kendari sebanyak 480 orang. Sebanyak 291 orang di antaranya atau 60 persen merupakan tahanan kasus narkoba. Selebihnya adalah tahanan kasus korupsi dan kasus umum.
Menurut Samad, hal yang juga diduga membuat peredaran narkotika semakin marak karena semua narapidana narkoba kelas kakap ditahan di lapas ini. ’Sudah mendesak ada lapas khusus narkoba di Sultra,” katanya.
Iqrak Sulhin, kriminolog Universitas Indonesia, menjabarkan, lapas yang menjadi sarang baru peredaran narkotika merupakan cerita lama yang terus berulang. Penjara sebagai komunitas serba rahasia selalu memiliki mekanisme sendiri sehingga peredaran narkotika yang dikoordinasikan oleh narapidana terus terjadi. Selain melibatkan narapidana, tidak menutup kemungkinan juga adanya keterlibatan oknum sipir atau penjaga.
Sebab, di dalam itu secret society, semuanya bisa terjadi.
”Handphone bisa masuk itu karena cara penyelundupannya yang canggih, sudah ada di dalam, tinggal beli kartu, atau memang karena keterlibatan petugas? Mau dari mana lagi? Sebab di dalam itu secret society, semuanya bisa terjadi,” katanya.
Menurut Iqrak, selain menyeleksi betul orang yang bisa dipenjara atau tidak, perlu ada klasifikasi terhadap tahanan, khususnya mereka yang terindikasi sebagai bandar besar narkoba. Hal ini bisa dilakukan dengan memindahkan bandar di lapas dengan pengawasan yang ketat.
Namun, kondisi ini perlu dibarengi mekanisme reward and punishment (hadiah dan hukuman) yang jelas terhadap prestasi dan pelanggaran petugas agar tidak menjadi kaki tangan bandar narkoba tersebut.