Nusa, Desa Wisata yang Menawarkan Keindahan di Tanah Rencong
Aktivitas wisata di Desa Nusa, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh, mendorong peningkatan pendapatan warga. Dalam setahun, perputaran uang dari wisatawan sekitar Rp 100 juta.
Menjelang senja adalah waktu yang tepat untuk berkunjung ke Desa Nusa, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Langit yang biru, hijaunya pegunungan, dan padi yang menguning bak pemandangan dalam lukisan yang ditawarkan desa wisata itu nyaman dinikmati saat matahari mulai bergulir ke barat.
Minggu (7/2/2021) jelang sore, Rubama (36) bersama beberapa perempuan lain sedang mengecat huruf bertuliskan nama desa di halaman mushala. Sementara belasan anak remaja memperbaiki pagar di tepi sungai. Beberapa warga terlihat menghalau burung pipit agar tidak memakan buah padi.
”Selama pandemi Covid-19, wisatawan sepi. Kami manfaatkan waktu untuk membenahi fasilitas,” kata Rubama, inisiator desa wisata Nusa.
Tahun 2020, nyaris tidak ada pengunjung ke Desa Nusa. Padahal, tahun-tahun sebelumnya jumlah pengunjung dalam setahun bisa mencapai 8.000 orang. Akan tetapi, Rubama optimistis, tahun 2021 aktivitas wisata kembali bangkit.
Pandemi membuat Desa Nusa sepi pengunjung. Namun, memasuki masa vaksinasi, Nusa mulai membuka diri kembali. Pengunjung masih didominasi warga lokal. Belum ada pengunjung dari Nusantara atau mancanegara.
Rubama mengatakan, setiap pengunjung diingatkan untuk menggunakan masker. Mereka juga menyediakan fasilitas cuci tangan di sekretariat pengurus. ”Kami belum terima tamu asing karena masih ada pembatasan kegiatan kerumunan. Sebab, akan sulit mengatur orang menerapkan protokol kesehatan secara ketat,” kata Rubama.
Baca juga: Desa Wisata Leuser Tarik Minat Turis Asing
Rubama adalah salah satu penggerak wisata Desa Nusa. Desanya menjadi desa wisata dimulai dari gerakan pengelolaan sampah berbasis masyarakat pada 2013. Perempuan yang menyelesaikan studi S-1 di Jurusan Biologi Universitas Islam Negeri Ar Raniry, Banda Aceh, itu mengajak ibu-ibu di Desa Nusa untuk mengolah sampah sebagai sumber ekonomi baru dengan membuat kerajinan tangan. Ia membentuk Bank Sampah Nusa.
Langkah itu mudah ia lakukan karena ia lahir dan besar di Desa Nusa. Ia juga aktif di lembaga swadaya masyarakat (LSM) perempuan dan banyak komunitas yang berkaitan dengan isu lingkungan.
Kala itu banyak komunitas yang belajar ke Desa Nusa terkait sistem pengelolaan sampah. Saat berkunjung ke Nusa, tamu-tamu itu dijamu dengan makanan khas Aceh dan penampilan seni budaya. Untuk menikmati kuliner dan sajian seni budaya, tamu dikenai biaya.
Rubama mulai menyadari desa ini akan semakin berkembang jika dikelola sebagai desa wisata. Desa wisata Nusa pun diluncurkan pada 2015. Pengelolaan di bawah Lembaga Pariwisata Nusa yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Kepala Desa Nusa.
Tahun 2020, nyaris tidak ada pengunjung. Padahal, tahun-tahun sebelumnya jumlah pengunjung dalam setahun bisa mencapai 8.000 orang. Akan tetapi, Rubama optimistis, tahun 2021 aktivitas wisata kembali bangkit.
Desa Nusa terletak di tepi jalan nasional Banda Aceh-Meulaboh. Jaraknya hanya 9,5 kilometer dari Banda Aceh, ibu kota Provinsi Aceh. Desa ini berada di kaki bukit dan tidak terlalu jauh dari laut. Saat tsunami 2004 melanda Aceh, separuh desa juga terkena tsunami.
Untuk sampai ke Desa Nusa, pengunjung dari Banda Aceh dapat menggunakan angkutan umum jurusan Banda Aceh-Meulaboh. Pengunjung bisa juga menggunakan jasa angkutan daring. Jika mau lebih santai, sebaiknya pengunjung menyewa sepeda motor atau mobil sehingga bisa singgah di obyek wisata lain, seperti Rumah Cut Nyak Dhien atau pusat oleh-oleh yang berada di jalur menuju Desa Nusa.
Selain pemandangan yang indah, desa ini juga sangat menarik karena rumah-rumah panggung yang dibangun tahun 1970-an mudah ditemui di sana. Warga merawatnya dengan baik. Keberadaan rumah klasik itu menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan.
Rumah-rumah tersebut dibangun saat warga desa menikmati kemakmuran sebagai petani cengkeh. Namun, sayangnya, tahun 1980-an petani cengkeh ”dibunuh” oleh mafia perdagangan dengan memonopoli harga. Warga yang sebagian besar petani kini tidak lagi menanam cengkeh. Mereka menanam padi di sawah dan menanam palawija di kebun. Adapun sebagian kecil warga berprofesi sebagai pedagang dan pegawai di kantor pemerintah.
Baca juga: Penggunaan Dana Desa, Saatnya untuk Pemberdayaan Bumdes
Memanfaatkan potensi
Nusa menjadi desa wisata selain memiliki pemandangan yang indah, kekayaan seni budaya, sejarah, dan kuliner yang memadahi, juga karena karakter warga yang terbuka. Potensi itulah yang dikelola sebagai komoditas wisata.
Ketua Lembaga Pariwisata Nusa Nurhayati mengatakan, sebelum pandemi, pada 2018 dan 2019 dalam setahun pengunjung mencapai 8.000 orang. Sebagian besar pengunjung justru wisatawan dari Malaysia.
Biasanya mereka menginap satu atau dua malam di rumah-rumah warga yang disulap menjadi penginapan (home stay). Saat ini terdapat 45 kamar home stay dengan biaya menginap Rp 60.000 per malam. Semua pemilik penginapan mendapat jatah bergiliran untuk menerima tamu.
Biaya menginap satu malam itu sudah termasuk sarapan pagi. Sementara untuk makan siang dan makan malam dikenai biaya tambahan, besarannya tergantung dari jenis menu yang dipesan.
Adapun wisatawan yang datang tanpa menginap dikenai biaya tiket masuk Rp 5.000 per orang. Selama di Nusa, wisatawan diajak berkeliling kampung, berfoto di sawah, memancing di sungai, atau belajar kerajinan tangan dari sampah.
Wisatawan juga bisa mencoba permainan tradisional seperti patok lele dan galah, belajar tarian daerah, atau ikut bertani. Jika sedang musim tanam padi, tamu belajar menanam padi atau menghalau burung pipit saat padi mulai tumbuh. Penampilan seni budaya juga ditampilkan.
Biasanya, setelah puas bermain, wisatawan dijamu dengan makanan tradisional, seperti kuah pliek u, bu kulah, keumamah, boh itek masen, kuah on murong, dan teh sereh. Kuliner tradisional itu menggunakan rempah lokal. Kuah plik u, misalnya, dimasak menggunakan kelapa yang sudah dikeringkan, dicampur beragam sayur-mayur. Sementara keumamah adalah ikan tongkol yang telah direbus dan dijemur hingga kering.
Setiap paket wisata dikenai biaya Rp 25.000 hingga Rp 60.000 per orang. ”Kami ingin mereka merasakan suasana Gampong (Desa) Nusa yang natural. Mereka tidak keberatan mengeluarkan sedikit uang untuk sebuah pengalaman baru,” ucap Nurhayati.
Pendapatan warga
Aktivitas wisata di Nusa mendorong peningkatan pendapatan warga. Dalam setahun perputaran uang dari wisatawan sekitar Rp 100 juta. Uang itu mengalir ke pemilik penginapan, penyedia kuliner, kelompok tari, pemandu, dan pemilik sawah.
Kami ingin menuju desa yang berdaulat. Kami tidak menyulap, tetapi merawat dan memperkuat kekayaan yang ada.
Seorang pengunjung, Mutia, menyebutkan, keindahan alam Nusa menghadirkan ketenangan. Selama pandemi sudah dua kali dia berkunjung ke sana. Dia terkesan pada keindahan alam dan keramahan warga di sana. ”Harus dipertahankan sebab desa seperti ini sangat langka,” kata Mutia, warga Kota Banda Aceh.
Pengembangan wisata Desa Nusa dibantu oleh Pemerintah Aceh, Bank Indonesia Perwakilan Aceh, PT Solusi Bangun Andalas (pabrik semen), dan beberapa pihak lain.
Kepala Dinas Pariwisata Aceh Jamaluddin mengatakan, Desa Nusa termasuk desa wisata unggulan di Aceh. Banyak kegiatan wisata digelar di sana, seperti kemah bersama, atraksi seni budaya, dan pembuata mural desa. ”Banyak tamu yang kami bawa ke Nusa. Kami juga membantu promosi Nusa ke nasional,” ujarnya.
Saat ini, di Aceh terdapat 22 desa wisata. Desa-desa itu memiliki keindahan alam dan budaya yang unik. Desa wisata itu lahir atas kesadaran warganya mengelola potensi yang mereka miliki.
Baca juga: Desa Wisata di Aceh, Dulu Angker, Kini Wisata Favorit
Jamaluddin menuturkan, minat warga mengelola wisata semakin tumbuh. Warga juga mulai memanfaatkan dana desa untuk mengembangkan wisata. ”Kesadaran warga terhadap wisata menjadi modal penting bagi pemerintah membangun pariwisata,” katanya.