Sertifikasi Kebersihan dan Kesehatan Hidupkan Wisata MICE
Sertifikasi kebersihan, kesehatan, keamanan, dan kelestarian lingkungan modal menghidupkan wisata pertemuan, insentif, konvensi, dan pameran yang terpuruk karena pandemi.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
PARAPAT, KOMPAS — Sertifikasi kebersihan, kesehatan, keamanan, dan kelestarian lingkungan atau CHSE menjadi modal utama menghidupkan wisata pertemuan, insentif, konvensi, dan pameran yang terpuruk di tengah pandemi Covid-19. Namun, proses sertifikasi belum maksimal karena terbatasnya tim penilai dan kesulitan akses dari hotel atau restoran.
”Selama pandemi Covid-19, industri pariwisata, khususnya di bidang pertemuan, insentif, konvensi, dan pameran (MICE) sangat terdampak. Ke depan, mudah-mudahan bisa bangkit kembali,” kata Koordinator Promosi dan Pendukung Direktorat Wisata MICE Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Titik Wahyuni, di Parapat, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, Selasa (16/2/2021).
Titik menyampaikan hal tersebut dalam acara Sosialisasi dan Simulasi Panduan Pelaksanaan CHSE pada Penyelenggaraan Kegiatan MICE di Destinasi Super Prioritas Danau Toba. CHSE juga mencakup protokol kesehatan Covid-19. Hadir manajemen hotel dari kawasan Danau Toba, dinas pariwisata sejumlah daerah di Sumut, dan pelaku usaha wisata.
Titik mengatakan, wisata MICE merupakan pilar bisnis penting dalam industri hotel dan restoran. Sebelum pandemi, kontribusi MICE terhadap bisnis hotel dan restoran mencapai 50 persen.
”Saat ini wisata MICE terpuruk akibat pandemi. Kami coba mulai bangkitkan kembali wisata MICE, khususnya untuk menggarap pasar domestik,” kata Titik.
Titik mengatakan, Kota Medan menjadi satu dari tujuh kota MICE yang diprioritaskan selama pandemi. Kota lainnya yakni Bali, Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, dan Makassar.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumut Ria N Telaumbanua mengatakan, saat ini ada 264 usaha pariwisata yang sudah mendapat CHSE di Sumut, di antaranya 74 hotel dan 168 restoran. Usaha pariwisata lainnya yakni homestay, jasa MICE, toko suvenir, arung jeram, dan jasa transportasi.
Manajer Hotel Atsari Parapat Nike Wijaya Sinaga mengatakan, pihaknya hingga kini belum mendapat sertifikasi MICE karena belum ada tim penilai yang datang ke hotel mereka. ”Sudah tiga bulan lalu kami mendaftar melalui situs web Kemenpar, tetapi sampai sekarang belum ada tim penilai yang datang,” kata Nike.
Nike mengatakan, meskipun belum mendapat sertifikat, pihaknya tetap melaksanakan prinsip CHSE. Menurut Nike, saat ini keterisian hotel mulai naik mencapai rata-rata 50 persen.
Biaya penerapan CHSE itu tidak murah, tetapi itu harus kami lakukam agar bisa bertahan di tengah pandemi. (Janter Sidabutar)
General Manager Hotel JTS Samosir Janter Sidabutar mengatakan, pihaknya sudah mendapat sertifikat CHSE. Namun, saat ini wisata MICE yang mereka layani baru pertemuan oleh Pemerintah Kabupaten Samosir.
Janter mengatakan, keterisan hotel di Samosir saat hari biasa kini hanya berkisar 10 persen. Pihaknya pun hanya berharap pada libur akhir pekan atau libur panjang akhir pekan dengan keterisian 70-80 persen.
Menurut Janter, penerapan CHSE menjadi napas industri hotel di tengah pandemi. ”Biaya penerapan CHSE itu tidak murah, tetapi itu harus kami lakukam agar bisa bertahan di tengah pandemi,” katanya.
Untuk hotel menengah, kata Janter, biaya protokol kesehatan bisa mencapai 10-20 persen dari biaya operasional meliputi pembelian alkohol, bahan dan peralatan sanitasi, masker karyawan, serta penambahan karyawan pengawas.
Kepala Dinas Pariwisata Samosir Dumos Pandiangan mengatakan, banyak hotel, restoran, dan homestay menyatakan tidak sanggup menanggung beban operasional protokol kesehatan, khususnya yang berskala menengah ke bawah. ”Bayar air dan listrik saja mereka banyak yang menunggak saat ini,” kata Dumos.
Menurut Dumos, pengusaha pariwisata banyak yang marah ketika diminta membeli termometer atau sanitasi. Di awal pandemi, sejumlah hotel di Samosir tutup total berbulan-bulan. Saat ini, masih banyak hotel belum bisa menutup biaya operasional.