Pemerintah Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, menawarkan kembali program pemindahan (relokasi) sekaligus mitigasi atau pencegahan bencana kepada warga Dusun Selopuro, Desa Ngetos, yang terdampak tanah longsor.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·4 menit baca
NGANJUK, KOMPAS — Pemerintah Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, menawarkan kembali program pemindahan atau relokasi kepada warga Dusun Selopuro, Desa Ngetos, Kecamatan Ngetos, yang terdampak tanah longsor. Relokasi yang diperkuat dengan berbagai upaya mengurangi risiko bencana di masa depan atau mitigasi merupakan solusi terbaik.
Relokasi dan mitigasi kembali ditawarkan mengingat kedua upaya itu sudah berkali-kali diajukan kepada kalangan warga Selopuro yang terdampak tanah longsor. Bencana terjadi pada Minggu (14/2/2021) sekitar pukul 19.00. Tanah longsor menimbun 21 orang, merusak 15 rumah, dan memaksa 175 orang mengungsi.
Operasi pencarian dan pertolongan (SAR) dilaksanakan seusai bencana terjadi. Hingga Selasa (16/2/2021) atau hari ketiga operasi, tim terpadu telah menemukan dan mengevakuasi 14 orang dari 21 orang yang tertimbun. Dua orang dalam kondisi selamat, sedangkan 14 orang lainnya meninggal dunia. Tim terpadu masih mencari 7 orang yang tertimbun dan masa operasi SAR telah diputuskan akan berlangsung selama dua pekan.
Sementara itu, Selasa siang, Menteri Sosial Tri Rismaharini meninjau lokasi pengungsian warga terdampak tanah longsor di gedung SD Negeri 3 Ngetos, Kabupaten Nganjuk.
Selain menyapa pengungsi, Risma yang didampingi Bupati Ngajuk Novi Rahman Hidayat juga sempat berdialog, lalu ke tenda darurat sebagai tempat bermain sekaligus lokasi pemulihan trauma bagi anak-anak. Mantan Wali Kota Surabaya itu berkunjung ke Puskesmas Ngetos dan selanjutnya menuju dapur umum yang berjarak 200 meter dari puskesmas.
Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidayat mengatakan, penanganan terbaik terhadap warga terdampak adalah menawarkan kembali program relokasi. Upaya ini pernah ditawarkan, tetapi tidak diterima warga. Padahal, warga paham permukiman tempat mereka tinggal di RT 001 RW 006 Dusun Selopuro sangat berisiko diterjang tanah longsor.
”Saya prihatin jika akhirnya solusi diterima setelah peristiwa yang menyedihkan ini terjadi,” kata Novi.
Saat tim terpadu melaksanakan operasi pencarian dan pertolongan, aparatur Ngetos dan Nganjuk akan mencari lokasi paling memungkinkan untuk membangun permukiman baru bagi warga. Lokasi sebaiknya tidak terlalu jauh dari permukiman lama, tetapi aman dari ancaman bencana.
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa juga menekankan pentingnya program relokasi dan mitigasi untuk penanganan bencana di Selopuro, bahkan di seluruh daerah rawan di provinsi tersebut. Aparatur dan masyarakat harus dapat mengambil pelajaran berharga dari bencana yang terjadi.
Saya prihatin jika akhirnya solusi diterima setelah peristiwa yang menyedihkan ini terjadi. (Novi Rahman)
Khofifah menyadari bahwa 22 daerah dari 38 kabupaten/kota di Jatim berkategori amat rawan bencana karena sebagian wilayah berada dalam gugus pegunungan, jalur gempa, dan atau dibelah sungai besar. Populasi yang 40,7 juta jiwa juga patut menjadi perhatian karena bencana dahsyat bisa berdampak fatal, yakni angka kematian korban yang tinggi.
Tidak luas
Dilihat dari skala luasan tanah longsor di Selopuro, cakupannya tidak terlalu luas karena berdampak pada satu rukun tetangga (RT). Namun, karena menghantam permukiman, dampak fatal terlihat dari korban yang tewas ternyata tinggi. Pada 9 April 2017, juga terjadi tanah longsor di Dusun Dalopo, Desa Kepel, Kecamatan Ngetos, 2-3 kilometer dari lokasi bencana di Selopuro. Saat itu, tanah longsor menimbun lima orang yang sampai sekarang belum berhasil ditemukan.
Skala longsor di Dalopo dan Selopuro relatif serupa. Kedua lokasi bencana juga berada pada gugus perbukitan yang sama di kaki Pegunungan Wilis. Yang membedakan adalah situasi lokasinya. Di Dalopo, tanah longsor terjadi di lahan budidaya atau ladang yang ketika itu ada lima orang di sana. Di Selopuro, tanah longsor menerjang permukiman sehingga dampak terhadap kematian manusia lebih tinggi.
Amien Widodo, peneliti senior Pusat Penelitian Mitigasi, Kebencanaan, dan Perubahan Iklim Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, berpendapat, relokasi pada prinsipnya adalah bagian dari mitigasi. Keberhasilan mitigasi untuk kasus bencana di Selopuro pada masa depan juga bergantung pada penerimaan masyarakat untuk dipindahkan.
Program relokasi sudah pernah ditawarkan, tetapi ditolak sehingga aparatur mencoba menekan risiko bencana dengan menutupi retakan-retakan pada tebing. Selain itu, juga dipasang tanda rawan bencana, bahkan peralatan sistem peringatan dini (EWS). Namun, itu semua tak mampu melindungi warga Selopuro dari dampak fatal tanah longsor.
Amien mengatakan, penanganan retakan dan pemasangan EWS belum cukup untuk menurunkan risiko bencana. Yang terpenting justru pada masyarakat apakah paham dan mau tanggap, sigap, serta waspada kebencanaan. Tanah longsor pada Minggu itu terjadi setelah Nganjuk diguyur hujan deras sejak siang. Hari-hari sebelumnya juga demikian. Situasi itu seharusnya mendorong warga untuk sigap dengan menyingkir guna mencegah diri menjadi korban.
Di Desa Ngetos sebenarnya ada beberapa lokasi dengan tanda khusus sebagai titik kumpul warga jika ada bencana yang berpotensi mematikan. Salah satunya di pertigaan Jalan Selopuro-Kepel di antara persawahan, sekitar 100 meter dari lokasi yang dihantam tanah longsor.