Sebagian daerah yang mengalami bencana longsor sebenarnya telah dipetakan risikonya, tetapi mitigasi dan pencegahan belum berjalan baik. Ini termasuk longsor yang memakan korban jiwa terbaru di Nganjuk, Jawa Timur.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian daerah yang mengalami bencana longsor sebenarnya telah dipetakan risikonya, tetapi mitigasi dan pencegahan belum berjalan baik. Kecamatan Ngetos, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, yang mengalami longsor pada Minggu (14/2/2021), telah berada dalam Peta Prakiraan Terjadi Gerakan Tanah bulan Februari dalam kategori menengah hingga tinggi.
”Dalam Peta Prakiraan Terjadi Gerakan Tanah bulan Februari 2021 yang kami susun, Kecamatan Ngetos ini termasuk dalam potensi gerakan tanah tingkat menengah hingga tinggi. Namun, longsor terjadi di satu titik sementara area rentan luas sehingga sulit diprediksi mana yang akan dilanda bencana,” kata Koordinator Kelompok Mitigasi Gerakan Tanah Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Agus Budianto, Selasa (16/2/2021).
Menurut Agus, peta ini disusun berdasarkan prediksi curah hujan yang dibuat Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang dipadukan dengan peta geologi tentang potensi gerakan tanah. Peta dimutakhirkan setiap bulan dan kemudian dikirim ke daerah sebagai peringatan dini.
Selain Kecamatan Ngetos, terdapat 11 kecamatan lain di wilayah Kabupaten Nganjuk yang telah dipetakan memiliki kerentanan longsor kategori menengah hingga tinggi pada Februari 2021 ini. Peta ini dimutakhirkan PVMBG setiap bulan.
Menurut Agus, tanpa ada upaya mitigasi yang serius dari daerah, peta prakiraan longsor yang dikeluarkan tiap bulan tidak akan banyak berguna. ”Peta ini perlu dikuatkan dengan mitigasi lokal dan terutama jadi pengetahuan penduduk untuk mengenali risiko di wilayahnya dan ciri-ciri sebelum terjadi longsor,” kata Agus.
Menurut Agus, ciri-ciri longsor sebenarnya bisa dikenali sejak awal, misalnya munculnya retakan tanah di daerah dengan kelerengan tinggi. Retakan tanah ini seharusnya segera ditutup, selain perlu dibuat drainase untuk mengalihkan aliran air agar tidak masuk ke rekahan.
Tanpa ada peningkatan kesadaran bahaya longsor dan upaya mitigasi, saya khawatir bencana longsor ini akan terus berulang dan menelan korban. (Agus Budianto)
”Untuk longsor di Ngetos ini kemungkinan karena tanah pelapukan dari endapan vulkanik tebal yang gembur dengan posisi kemiringan lereng yang curam. Dalam banyak kejadian longsor rata-rata hal ini penyebabnya, ditambah lagi jika ada kerusakan lahan karena penggundulan hutan di hulu, pasti akan lebih berisiko,” kata Agus.
Agus menambahkan, sebagian wilayah yang terkena longsor sebenarnya juga pernah mengalami kejadian serupa. Misalnya, Desa Cijangkar, Kecamatan Nyalindung, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, yang dilanda longsor pada 9 Februari 2021 lalu juga pernah mengalami kejadian serupa tiga tahun sebelumnya. Desa ini dalam Peta Prakiraan Terjadi Gerakan Tanah bulan Februari 2021 juga masuk kategori menengah dan tinggi serta 30 rumah rusak dalam bencana kali ini.
Menurut Agus, sekitar 60 persen wilayah Indonesia berada di zona rawan longsor yang mengancam 40,6 juta penduduk. Memasuki puncak musim hujan, kondisi tanah saat ini sudah jenuh air sehingga meningkatkan risiko longsor. ”Tanpa ada peningkatan kesadaran bahaya longsor dan upaya mitigasi, saya khawatir bencana longsor ini akan terus berulang dan menelan korban,” katanya.
Masih hilang
Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Raditya Jati mengatakan, bencana longsor di Desa Ngetos ini menyebabkan 9 orang meninggal, 10 orang masih dicari, dan 16 orang luka-luka.
”Sebanyak 54 KK atau 175 jiwa terdampak, sedangkan 156 jiwa mengungsi ke rumah kepala desa dan kerabat dekat. Sementara kerusakan bangunan sebanyak 8 rumah rusak berat,” katanya.
Data Geospasial Kebencanaan Indonesia-BNPB menunjukkan, sepanjang 2021 ini sudah terjadi 85 bencana longsor yang menewaskan 59 orang. Mayoritas bencana longsor ini terjadi di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Sementara itu, banjir terjadi sebanyak 255 kali dan menyebabkan 91 orang meninggal dunia.
Kepala Subbidang Peringatan Dini Iklim BMKG Supari pekan lalu telah memperingatkan, potensi hujan lebat hingga ekstrem di bagian tengah dan selatan Pulau Jawa yang berpeluang terjadi hingga akhir Februari 2021. Hal ini terjadi seiring dengan pergeseran zona konvergensi antartropis (inter tropical convergence zone/ ITCZ), yang terjadi berbarengan dengan menguatnya puncak musim hujan.
"Zona konvergensi ini bergeser perlahan, jika sebelumnya ada di atas wilayah Kalimantan Selatan dan di awal Februari ada di atas Jawa bagian utara, kemudian akan semakin ke selatan sampai akhir Februari 2021," kata dia.