Karena Gambang Semarang Tak Hanya ”Ampat Penari”...
Diselimuti berbagai tantangan peradaban, gambang semarang terus diperjuangkan sebagai identitas akulturasi Tionghoa dan Nusantara yang kaya makna. Perlu langkah nyata melambungkan gambang semarang secara utuh.
Lahir dari rahim akulturasi Tionghoa dan Nusantara pesisiran, gambang semarang bukan saja tari dan lagu seperti jamak dipahami banyak orang. Dilanda berbagai tantangan peradaban, gambang semarang terus diperjuangkan sebagai identitas budaya Semarang yang kokoh serta kaya akan makna.
Dengan masker terpasang di mulut, tujuh siswa Sanggar Tari Greget, Kota Semarang, Jawa Tengah, menari Tari Denok Deblong, Jumat (12/2/2021) sore. Sambil memegang kipas di kedua tangan, mereka mengayunkannya ke atas dan ke bawah. Sesekali, kipas dimasukkan ke sela-sela ikat kostum yang melingkar di perut. Dengan tangan kosong, gerakan tangan mereka begitu lentur.
Lenggak-lenggok tari semarangan yang merupakan pengembangan dari Gambang Semarang itu salah satunya ditunjukkan Maria Benita (17). Di tengah pandemi, siswi SMK Theresiana Semarang tetap bersemangat berlatih. Semangat itu selalu muncul setiap ia mendengar suara gamelan.
”Saya juga suka musik modern, tetapi musik gamelan Jawa itu sangat enak. Saya sangat ingin mengangkat tari semarangan, yang diiringi gambang semarang, agar semakin muncul. Saya harap kesenian asal Semarang ini bisa benar-benar dikenal, seperti daerah-daerah lain,” kata Benita, yang berlatih di sanggar itu sejak taman kanak-kanak.
Saat penari-penari muda coba melestarikan budaya, saksi perjuangan gambang semarang di jantung pantura Jawa Tengah terpampang di Gedung D Museum Ronggowarsito, Kota Semarang. Satu set gamelan dari perunggu itu tampak mengilap. Dudukan dan bingkai kayu berwarna merah mencolok. Di bingkai gong tertulis ”Sentra Gambang Semarang”.
Itulah Gambang Semarang peninggalan almarhum Dimyanto Jayadi, pendiri Sentra Gambang Semarang, yang juga legendaris kesenian tersebut. Peralatan itu yang menjadi koleksi Museum Ronggowarsito sejak sekitar 2008. ”Dari fisik, dibandingkan gamelan pada umumnya, jelas perbedaan ada pada warna merah yang merepresentasikan China. Ada juga lambang China-nya,” kata Kepala Seksi Pelestarian Museum Ronggowarsito Leila.
Sejak Maret 2020, karena pandemi Covid-19, Museum Ronggo Warsito tertutup untuk umum. Namun, dalam sejumlah kesempatan, museum milik Pemerintah Provinsi Jateng itu menggelar pameran virtual. Peralatan gambang semarang, yang ditempatkan di Ruang Budaya Jateng, juga menjadi salah satu koleksi yang dipamerkan.
Peralatan gambang semarang peninggalan Jayadi, yang terdiri dari peking, bonang, kendang, gong, dan tentu saja gambang, menjadi pembeda dari gamelan Jawa pada umumnya. Menurut Leila, perangkat tersebut dimainkan di pendopo museum pada akhir 2012, oleh Gambang Semarang Art Company (GSAC), salah satu kelompok yang memiliki perhatian akan kelestarian kesenian itu.
Baca juga: Potret Penari Gambang Semarang
Adapun gambang semarang, secara utuh, ialah kesenian yang terdiri dari seni musik, vokal, tari, dan lawak. Pola penyajiannya serupa dengan lenong di Jakarta. Kesenian itu pun, secara runut, memang berasal dari kesenian asal Batavia atau Betawi, gambang kromong.
Meski demikian, selama ini gambang semarang, bahkan oleh warga Semarang sendiri, lebih banyak dikenal sebagai lagu dan tarian. Itu tak terlepas dari lagu ”Gambang Semarang”, sebagian lagi menyebut ”Ampat Penari”, karya Oey Yok Siang, serta lirik oleh Sidik Pramono, yang diciptakan pada 1940-an. Lagu itu biasa dimainkan dalam kesenian gambang. Juga dinyanyikan, antara lain, oleh artis legendaris Benyamin Sueb, Mus Mulyadi, dan Ernie Djohan.
Di Semarang sendiri, melodi lagu itu sejak lama menjadi bel di Stasiun Semarang Tawang dan Semarang Poncol, sebagai penanda rangkaian kereta api datang. Di sejumlah acara, lagu tersebut juga diputar atau dimainkan untuk mengiringi tari semarangan, yang umumnya terdiri dari empat penari dengan busana kebaya encim. Berlenggak-lenggok, jongkok berdiri, seperti dalam syair lagu.
Namun, gambang semarang sebagai seni pertunjukan secara utuh jarang diketahui. ”Setahu saya gambang semarang itu tarian dan lagu. Paling sering dengar musiknya di stasiun. Kalau di acara-acara, biasanya ada tarian dan musiknya tinggal diputar. Kalau ada seperti lawaknya, saya enggak tahu,” kata Rahmawati (32), warga Kelurahan Jangli, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang.
Akulturasi
Awal mula gambang semarang ialah ketika pada 1930-an salah satu anggota volksraad (dewan rakyat), Lie Hoo Soen, berinisiasi mengadopsi gambang kromong dari Batavia, yang memadukan gamelan dengan alat-alat musik China. Saat itu, Semarang dinilai perlu memiliki kesenian khas serupa. Hal tersebut rupanya mendapat persetujuan dari burgemeester (wali kota). Maka, dibelilah alat musik gambang kromong dan dibawa ke Semarang.
Tak hanya alat, pelatih juga didatangkan untuk melatih pemain-pemain di Semarang. Di samping itu, menurut keterangan Jayadi, tantenya yang akrab disapa Mpok Neni dan Mpok Royom datang ke Kota Semarang untuk mengadu nasib sebagai biduan gambang dan keroncong. Sementara ayah Jayadi, Subadi, menyusul belakangan ke Semarang.
Kehadiran dua biduanita itu di Kota Semarang rupanya disambut hangat orang Semarang, terutama di kalangan keturunan Tionghoa di kawasan Pecinan. ”Tahun 1939, kedua mpok ayah saya itu membentuk kelompok gambang semarang. Mereka jadi sering bermain di Kelenteng Gang Pinggir (Pecinan),” ujar Jayadi (Kompas, 7 Agustus 2004).
Namun, pada masa kependudukan Jepang (berkisar 1941-1945), tragedi menyedihkan menimpa kedua biduanita tersebut. Kelompok Gambang Semarang yang dipimpin Lie Hoo Soen itu bermain di satu pasar malam di Magelang. Ketika itu, terjadi serangan dari tentara Jepang yang menyebabkan semua alat musik gambang semarang hancur. Kedua biduanita tersebut pun hilang. Sejak saat itu, kelompok Gambang Semarang dipimpin Subadi.
Masih pada 1940-an, Oey Yok Siang menciptakan lagu ”Gambang Semarang” atau sebagian menyebut ”Ampat Penari”, yang liriknya diciptakan Sidik Pramono. Keduanya bertempat tinggal di Magelang. Adapun primadona dalam gambang semarang saat itu ialah Nyah Sam (Ny Ong Sam Nio) yang menari dengan lemah gemulai, diiringi lagu ”Ampat Penari”. Gambang semarang pun digandrungi.
Seperti dikutip dari buku Kota Semarang dalam Kenangan karya pemerhati sejarah Semarang, Jongkie Tio, perkumpulan kesenian gambang semarang terus berkembang dan disukai masyarakat. Namun, hingga 1960-an mulai dilupakan orang. Setelah itu, sejarawan Amen Budiman mengangkat kembali ke permukaan hingga disukai kembali warga Semarang. Pada 1980, Amen mendirikan Paguyuban Kembang Goyang.
Ketua Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro (Undip) Dhanang Respati Puguh mengatakan, dalam perkembangannya, para pemain gambang semarang juga menggunakan tenaga di luar pemain gambang kromong. ”Sebagian orang-orang Jawa, dan beberapa di antaranya menekuni keroncong. Itu satu bentuk akulturasi,” katanya.
Dhanang, yang meneliti gambang semarang pada 1999, mengemukakan, dari kesaksian salah satu murid Nyah Sam, yang merupakan waria, diketahui bahwa dalam tari gambang semarang terdapat tiga ragam gerak baku. Ketiganya ialah ngondhek, ngeyek, dan genjot, yang semuanya berpusat pada gerakan pinggul.
Sejak awal 2000-an hingga sekarang, gambang semarang telah dicoba didorong dengan berbagai cara oleh berbagai pihak. Beberapa kali dilakukan lomba, baik tari semarangan maupun gambang semarang sebagai kesenian secara utuh, termasuk oleh pemerintah. Namun, kondisinya masih pasang surut. Belum ada pergelaran rutin. Gambang semarang sendiri lebih sering ditampilkan untuk acara-acara tertentu, seperti penyambutan.
”Sama seperti seni tradisi pada umumya, gambang semarang saat ini juga belum menjadi sebuah kebutuhan bagi masyarakat. Syarat seni bisa hidup dan berkembang ialah ada seniman dan masyarakat pendukunganya, yakni konsumen. Kini, (kelestarian gambang semarang) semua bertumpu pada kelompok kepedulian orang-orang tertentu,” kata Dhanang.
Pemuda tergugah
Kurang dikenal dan dimaknainya gambang semarang secara utuh, yang terdiri dari seni musik, vokal, tari, dan lawak, menggugah kepedulian sejumlah anak muda di Kota Semarang yang lalu mendirikan GSAC pada 2012. Cikal-bakal kelompok itu adalah unit kegiatan mahasiswa (UKM) Kesenian Jawa Undip, yang sudah berpentas gambang semarang sejak 2009.
Ketua GSAC Tri Subekso berharap semakin banyak anak muda yang peduli pada gambang semarang. Apalagi, maestro gambang semarang, Jayadi, sudah tutup usia pada 2012. Regenerasi mau tak mau menjadi syarat mutlak agar kesenian itu tetap lestari.
”Kami ingin gambang semarang dikenal, dimaknai sebagai ikon Semarang berupa seni pertunjukan, bukan hanya tarian empat penari. Kami juga berharap kesenian ini bisa merakyat sehingga warga Semarang bisa meresapinya sekaligus bangga akan itu,” ujarnya.
Baca juga: Cawan Akulturasi Empat Negeri
Tak hanya lagu-lagu semarangan, dalam pentas, GSAC juga menambahkan beberapa lagu Barat, serta tambahan alat musik seperti perkusi dan klarinet. Di sisi lain, unsur musik gesek dan tiup China juga dimasukkan, seperti pada awal perkembangan kesenian tersebut. Juga dilibatkan sejumlah pemain alat musik mandarin yang biasa berlatih di Kelenteng Tay Kak Sie, Semarang.
GSAC yang setiap pentas melibatkan sekitar 40 orang awalnya bisa sebulan dua kali pentas, tetapi seiring kesibukan para anggotanya kini, setidaknya pentas setahun sekali untuk skala besar. ”Mimpi kami, kelak ada festival tahunan seni pertunjukan gambang semarang. Banyak cerita menarik tentang kota ini yang bisa dimunculkan lewat pertunjukan. Juga, dengan semangat akulturasi yang harus diperjuangkan,” kata Tri.
Adapun pada 2020 GSAC sama sekali tak menggelar latihan dan pentas karena pandemi Covid-19. Tri menuturkan, pihaknya sudah merancang pentas virtual untuk disiarkan di Youtube. Ia berharap rencana yang terbagi dalam beberapa seri itu dapat terlaksana.
Lebih jauh, upaya melestarikan gambang semarang juga telah dilakukan pengasuh Sanggar Tari Greget Semarang, Yoyok B Priyambodo. Meski ada perdebatan kesenian itu milik siapa, Semarang atau Betawi, Yoyok tak memedulikannya karena sama-sama budaya pesisir etnis. Sejak lama, ia terus mengembangkannya, baik pada musik maupun tari.
Terlebih, gambang semarang juga sudah diakui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pada situs warisanbudaya.kemdikbud.go.id, gambang kromong dari DKI Jakarta ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda pada 2015 dengan nomor registrasi 201500224, sedangkan gambang semarang dari Jawa Tengah ditetapkan ditetapkan pada 2018 dengan nomor registrasi 201800726.
Yoyok menuturkan, ”Ampat Penari” hanya satu dari sekian lagu gambang atau gambang semarang. Selain itu, ada pula ”Lenggang Kangkung” dan ”Dayung Sampan”. Oleh Yoyok, lagu itu diaransmen dan direkam ulang, kemudian dibuat tarian versi Sanggar Greget. Sejumlah tarian yang diciptakan Yoyok di antaranya Denok Deblong, Manggar Warak, Kuntul Blekok, yang berkaitan dengan berbagai hal yang ada di Kota Semarang.
Hingga Eropa
Gambang semarang, termasuk dengan pengembangan musik dan tarian yang ia ciptakan, dipentaskan Yoyok di luar kota, seperti Taman Budaya Jateng Solo dan Taman Mini Indonesia Indah. Bahkan, ia mengajarkan tarian-tarian itu hingga Republik Ceko dan Maroko.
Ia sendiri prihatin dengan kesenian Gambang Semarang di Kota Semarang yang seperti mati suri. ”Kesulitan teman-teman sanggar itu pada gamelan, sarana, dan prasarana. Padahal, gamelan mutlak dibutuhkan. Kalau tidak ada, ya sudah, sulit,” ujar Yoyok.
Pada akhir 2020, ia dan para pengelola sanggar tari di Kota Semarang bersepakat bersama Pemerintah Kota Semarang dan Universitas Negeri Semarang (Unnes) menggelar Festival Tari Semarangan. Acara bertajuk ”Kami Masih Ada” itu digelar di Kampung Budaya Unnes pada 25 Oktober 2020. Lantaran tengah pandemi, acara itu dengan protokol kesehatan hanya disiarkan di kanal Youtube.
Kendati demikian, Yoyok berharap kegiatan menghidupkan kembali Gambang Semarang tak berhenti di situ. Perlu upaya lebih lanjut untuk agar kesadaran bersama terbangun, hingga kesenian itu semakin terpatri sebagai salah satu identitas budaya Kota Semarang.
Menurut Widodo, dosen Jurusan Seni Drama, Tari, dan Musik Fakultas Bahasa dan Seni Unnes, kesenian gambang semarang ibarat hidup segan mati tak mau. Salah satu kendala ialah digunakannya tangga nada khas, yakni slendro diatonik atau slendro mandarin. Perlu energi khusus, dalam hal ini tenaga ahli, untuk menggarap musik tersebut agar terus eksis.
Di Unnes, upaya konservasi pada gambang semarang menjadi perhatian para pengajar. ”Setahun terakhir ini ada materi musik Nusantara, yang antara lain berkonsentrasi pada seni khas pesisiran. Sejumlah dosen di Unnnes, karena merasa tinggal di Semarang, merasa bertanggung jawab untuk ikut berkontribusi agar gambang semarang terus eksis,” ujar Widodo.
Kepala Bidang Kesenian Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang Ade Bhakti Ariawan menuturkan, selama ini memang sebagian warga hanya tahu gambang semarang itu lagu atau tari, bukan suatu pertunjukan kesenian. Oleh karena itu, pihaknya akan terus menyajikan sejumlah kegiatan kesenian, termasuk di dalamnya seni tradisi gambang semarang.
Setelah Festival Tari Semarangan yang digelar di Unnes pada 25 Oktober 2020 lalu, sejumlah kegiatan lainnya juga disiapkan. ”Dengan terus dimainkan, bahkan bisa mengiringi lagu apa saja, kami harapkan nantinya semakin banyak warga yang benar-benar mengenal gambang semarang, bukan hanya dari suara,” kata Ade.
Di tengah derasnya arus budaya asing, sudah seharusnya gambang semarang dipandang sebagai aset. Merawat kesenian gambang semarang berarti merawat Kota Semarang. Diharapkan ada langkah dan lompatan nyata dalam memunculkan kembali kesenian itu, serta mengambil hati warga. Layaknya empat penari yang membuat hati senang, seperti dalam penggalan lirik lagu ”Ampat penari”.
Bersuka ria, gelak tertawa/ Semua orang/kar\'na hati tertarik gerak-gerik/si tukang gendang/
Ampat penari membikin hati/ menjadi senang, aduh.../ Itulah dia malam gembira/ Gambang Semarang/