Dituduh Menganiaya Perambah, Dua Petani Perhutanan Sosial Ditahan
Dua anggota kelompok tani mitra perhutanan sosial di Kabupaten Langkat ditangkap atas tuduhan menganiaya perambah kawasan hutan. Selama ini, kelompok tani merehabilitasi hutan mangrove yang rusak parah.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
STABAT, KOMPAS — Dua anggota kelompok tani mitra perhutanan sosial di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, ditahan dengan tuduhan menganiaya perambah kawasan perhutanan sosial. Selama ini, kelompok tani meminta agar 65 hektar kebun sawit ilegal di area perhutanan sosial agar dikembalikan menjadi hutan mangrove kembali.
”Dua orang anggota kelompok kami ditetapkan sebagai tersangka di Kepolisian Sektor Tanjung Pura, Langkat. Mereka adalah Ketua Kelompok Tani Nipah Syamsul Bahri (53) dan anggota kelompok Samsir (32),” kata Sekretaris Kelompok Tani Nipah Ponirin (44), Kamis (11/2/2021). Mereka ditahan di Polres Langkat setelah pemeriksaan pertama oleh polisi pada Rabu (10/11/2020).
Konflik tersebut terjadi sejak Kelompok Tani Nipah melaksanakan perjanjian pengelolaan hutan berbasis kemitraan dengan Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) I Stabat seluas 242 hektar melalui skema perhutanan sosial pada 2018. Lokasinya di Desa Kwala Serapuh, Kecamatan Tanjung Pura, Langkat.
Kelompok itu pun mendapat legalitas pengelolaan hutan melalui Surat Keputusan Nomor SK.6187/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/9/2018 tentang Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan. Program perhutanan sosial adalah program yang dicanangkan Presiden Joko Widodo untuk mendistribusikan hak kelola hutan kepada masyarakat desa penyangga hutan agar hutan tetap lestari.
Saat pertama kali masyarakat mendapat hak kelola perhutanan sosial, kata Ponirin, kondisi hutan mangrove rusak parah. Di kawasan itu juga ada kebun sawit seluas 65 hektar. Kelompok tani pun sudah beberapa kali menyampaikan agar kebun sawit itu dihutankan kembali, tetapi tidak ada titik temu dengan perambah hutan tersebut.
Kelompok tani pun melakukan pemulihan di kawasan perhutanan sosial, seperti membuka paluh air ke hutan mangrove, melakukan pembibitan bakau, dan menanam bakau di area yang telah gundul. Setelah mangrove mulai tumbuh, mereka menikmati hasil hutan, terutama berbagai jenis ikan yang sudah kembali ke ekosistem mangrove.
”Kami mau hutan mangrove yang selama ini sudah dirusak dan dialihfungsikan menjadi kebun sawit dan tambak bisa lestari kembali. Kami menyadari hutan mangrove adalah sumber kehidupan kami,” kata Ponirin.
Kriminalisasi
Pada 18 Desember 2020, kata Ponirin, sekitar 30 anggota Kelompok Tani Nipah mulai merehabilitasi kawasan perhutanan sosial. Saat mereka sibuk, pekerja di kebun sawit bernama Harno Simbolon dan beberapa temannya datang dan merekam kegiatan mereka menggunakan kamera telepon seluler. Lalu, Syamsul mendekatinya dan bertanya tujuannya mengambil foto.
Namun, Harno justru menjawab dengan suara keras. ”Kenapa rupanya,” kata Harno ketika itu. Melihat sikap Harno, anggota kelompok tani lainnya mendekatinya. Harno lalu menjauh dan menelepon temannya. ”Aku dipukuli,” lapor Harno melalui panggilan telepon.
Beberapa saat kemudian, kata Ponirin, Harno terjun ke sungai dan berenang. Anggota kelompok tani pun menolongnya dengan perahu agar Harno tidak tenggelam. Anggota kelompok tani pun meminta klarifikasi dan Harno mengakui tidak dipukul. Pengakuan itu direkam kelompok tani. Setelah itu, Harno dan teman-temannya pulang. Demikian pula dengan kelompok tani.
Namun, warga kemudian terkejut karena Syamsul dan Samsir dipanggil ke Polsek Tanjung Pura untuk diperiksa sebagai tersangka penganiayaan, Rabu (10/2/2021). Setelah diperiksa tujuh jam, mereka ditetapkan sebagai tersangka.
Kepala KPH 1 Stabat Dinas Kehutanan Sumut Puji Hartono memastikan, kebun sawit seluas 65 hektar tersebut berada di kawasan perhutanan sosial yang hak kelolanya telah dimiliki Kelompok Tani Nipah. ”Namun, kebun sawit itu memang sudah ada sebelum kelompok tani mendapat hak kelola, tetapi itu ilegal,” kata Puji.
Kebun sawit seluas 65 hektar tersebut berada di kawasan perhutanan sosial yang hak kelolanya telah dimiliki Kelompok Tani Nipah. (Puji Hartono)
Puji mengatakan, kebun sawit itu sebelumnya berstatus kawasan hutan, tetapi dialihfungsikan oleh warga berinisial HIS menjadi kebun sawit. Mereka membenteng air sehingga area hutan mangrove menjadi kering dan ditanami sawit. Pihaknya pun sudah beberapa kali meminta agar dilakukan penghutanan kembali.
Sejumlah aktivis lingkungan dan kelompok masyarakat memprotes kriminalisasi terhadap anggota kelompok tani mitra perhutanan sosial, seperti Yayasan Srikandi Lestari, Lembaga Bantuan Hukum Medan, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sumut, Persatuan Nelayan Tradisional Indonesia, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Fosil Free Langkat, Green Justice, dan Lembaga Masyarakat Sipil.
Deputi I Bidang Advokasi dan Kampanye Walhi Sumut Roy Lumban Gaol pun menyesalkan penetapan tersangka dan penahanan terhadap dua anggota kelompok tani. ”Ini sangat melukai rasa keadilan. Di saat ada kelompok tani yang berjuang menyelamatkan lingkungan malah ditangkap dan dipenjara,” katanya.
Ketua Bidang Konservasi KNTI Tajrudin Hasibuan mengatakan, penahanan dua anggota kelompok tani akan berdampak pada kepastian hukum program perhutanan sosial. ”Padahal, program ini dicanangkan langsung oleh Presiden Joko Widodo,” katanya.
Kepala Kepolisian Resor Langkat Ajun Komisaris Besar Edi Suranta Sinulingga mengatakan, mereka melakukan penyelidikan dugaan penganiayaan secara profesional. ”Ini tidak ada kaitannya dengan sengketa lahan. Kami menyelidiki penganiayaan yang dilaporkan kepada kami,” kata Edi.
Berdasarkan pemeriksaan saksi dan hasil visum, kata Edi, ketika kejadian itu, Syamsul meludahi Harno dan mencekik lehernya dari belakang. Samsir yang merupakan anak Syamsul juga disebut membenturkan kepalanya ke kepala Harno. Syamsul dan Samsir kini ditahan di Polres Langkat.