Timur Kalimantan Pun Berpotensi Gempa dan Tsunami
Terdapat tiga sesar lokal aktif di sisi timur di Pulau Kalimantan yang perlu diantisipasi. Perspektif tentang Kalimantan yang aman dari gempa harus diubah.
Salah satu alasan Kalimantan Timur dipilih menjadi lokasi ibu kota negara baru karena wilayah ini memliki risiko gempa rendah. Meskipun demikian, bukan berarti Kalimantan Timur dan sekitarnya benar-benar aman dari gempa.
Pulau Kalimantan memang area di Indonesia yang memiliki seismisitas paling rendah, tetapi terdapat tiga sesar lokal aktif di sisi timur yang perlu diantisipasi. Persepsi mengenai Pulau Kalimantan sebagai wilayah yang aman dari gempa perlu diubah.
Jumat (29/1/2021) pukul 01.42 Wita, gempa berkekuatan magnitudo 4,1 mengguncang Berau dan sekitarnya di Kalimantan Timur. Gempa itu menjadi gempa pertama yang terjadi pada 2021 akibat sesar lokal di Pulau Kalimantan.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat, gempa itu berpusat di laut, 76 kilometer sebelah tenggara Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Gempa merupakan gempa dangkal di kedalaman 10 kilometer. Guncangan dirasakan di Kecamatan Tanjung Redeb dan Kecamatan Tabalar dengan kekuatan II-III MMI (modified mercalli intensity).
Pada kekuatan II MMI, getaran dirasakan oleh beberapa orang dan ditandai dengan bergoyangnya sejumlah benda ringan yang digantung. Adapun skala III MMI ditandai dengan getaran yang dirasakan nyata di dalam rumah, layaknya ada truk melintas.
”Tak ada korban dan kerusakan akibat gempa tersebut,” ujar Kepala BPBD Kabupaten Berau Thamrin, dihubungi dari Balikpapan, Jumat (29/1/2021).
Baca juga: Jejak Longsor Bawah Laut di Selat Makassar
Kenapa gempa bisa terjadi di Kalimantan?
Kalimantan memang wilayah yang tak dilalui cincin api. Namun, terdapat patahan atau sesar lokal teridentifikasi aktif di sisi timur. Secara umum, kondisi tektonik Kalimantan di sisi timur terdiri dari beberapa patahan-patahan lokal, seperti Patahan Meratus, Patahan Mangkalihat (disebut juga Patahan Sangkulirang), dan Patahan Tarakan. Sesar-sesar itu memiliki panjang lebih dari 100 km yang dapat menimbulkan gempa bumi dengan magnitudo 7.
Kepala Stasiun Geofisika Kelas III Balikpapan Mudjianto mengatakan, gempa di Berau beberapa waktu lalu itu berasal dari sesar lokal, yakni sesar Mangkalihat. Sesar itu tercatat sebagai salah satu yang paling aktif di antara sesar lokal lain di Kalimantan Timur.
Sesar Mangkalihat merupakan sesar mendatar yang diidentifikasi di pantai timur Pulau Kalimantan dengan panjang patahan lebih dari 400 kilometer. Berdasarkan kajian Badan Geofisika Kelas III Balikpapan tahun 2018, patahan ini didominasi oleh patahan naik yang memanjang dari laut hingga ke daratan Kabupaten Berau.
Zona Sesar Mangkalihat merupakan sesar kelanjutan dari Sesar Palu-Koro, yang melintas dekat Kecamatan Tanjung Redeb (Kompas, 21/12/2015). Secara umum, gempa yang terjadi di sana adalah gempa dangkal.
”Gempa dangkal di sana kurang dari 30 kilometer. Kalau gempa dangkal di darat, bisa merusak walau kekuatannya sekitar 4 M,” papar Mudjianto.
Kabupaten Berau dan Kutai Timur merupakan wilayah di Kalimantan yang tercatat pernah mengalami guncangan bahkan tsunami. Gempa bumi dan tsunami yang merusak di sekitar wilayah tersebut pernah terjadi pada Mei 1921. Dalam Katalog Tsunami Indonesia tahun 416-2018 yang diterbitkan BMKG, gempa berkekuatan M 6,2 itu akibat aktivitas patahan di sekitar Makassar, Sulawesi Tengah.
Getaran itu menimbulkan gelombang sekitar 1 meter. Akibatnya, terjadi kerusakan sedang hingga berat di beberapa titik di Kecamatan Sangkulirang, Kabupaten Kutai Timur.
Baca juga: Tak Ada Bencana Alam
Sesar lokal lain yang masih aktif di sisi timur Kalimantan adalah Sesar Meratus. BMKG mencatat, patahan ini didominasi oleh patahan naik dengan total panjang patahan 438 kilometer. Patahan ini teridentifikasi di Kabupaten Paser, Kaltim, hingga Kalimantan Selatan.
Pada 3 Mei 2018, Kabupaten Paser diguncang gempa M 4,5 dari aktivitas sesar tersebut. Pusat gempa berada di darat, 29 kilometer barat daya Paser pada kedalaman 10 kilometer. Guncangan ini dirasakan sejumlah warga dengan skala II-III MMI yang ditandai dengan dinding yang bergetar beberapa detik. Tak ada laporan kerusakan dan korban jiwa akibat kejadian ini.
Selain dua sesar di muka, salah satu sesar yang teridentifikasi aktif di Kalimantan sisi timur adalah Sesar Tarakan di Provinsi Kalimantan Utara. Patahan yang juga total panjangnya lebih dari 400 kilometer ini didominasi patahan naik.
Dalam pengamatan gempa bumi di wilayah Kalimantan dan sekitarnya menggunakan jaringan INATews, setidaknya terdapat 29 kali gempa pada 2015-2016. Dalam rentang waktu itu, gempa terkuat terjadi pada 21 Desember 2015, pukul 02.47 Wita, berkekuatan M 6,1. Sebagian besar wilayah Provinsi Kaltara, seperti Tarakan, Nunukan, dan Tanjung Selor, merasakan getaran.
Ini merupakan gempa bumi dangkal akibat sesar aktif patahan mendatar (strike slip fault). Berdasarkan analisis BMKG, pusat gempa terletak pada jarak 29 kilometer arah timur laut Kota Tarakan pada kedalaman hiposenter 10 kilometer.
Setelah gempa bumi utama itu, tercatat lebih dari 600 kali gempa bumi susulan terjadi. Namun, hanya 25 gempa bumi yang dapat dianalisis parameternya. Dari 25 gempa susulan itu, 3 di antaranya dirasakan di Tarakan dan Nunukan pada skala II-III MMI.
Gempa bumi tersebut tidak memicu tsunami, tetapi merusak. Di Kelurahan Selumit Pantai, Tarakan Tengah, 2 rumah rusak berat; di Kelurahan Juata Kerikil, 4 rumah rusak; dan di Kelurahan Juata Laut, 1 rumah yang dibangun rusak parah.
Baca juga: Tantangan Tapal Batas Negeri dan Jantung Borneo di Kaltara
Beberapa saat setelah kejadian itu, ahli gempa Institut Teknologi Bandung, Irwan Meilano, menyatakan, catatan gempa bumi di sisi timur Kalimantan merupakan pelajaran penting. ”Perspektif tentang Kalimantan yang aman dari gempa harus diubah sehingga masyarakat di zona rawan bisa beradaptasi dengan bangunan tahan gempa,” katanya (Kompas, 22/12/2015).
Pada 19 April 1923, gempa berkekuatan M 7 juga melanda Tarakan. Banyak rumah rusak, sedangkan tanah di Tarakan dan sekitarnya merekah. Gempa kuat di Tarakan juga terjadi pada 14 Februari 1925.
Perspektif tentang Kalimantan yang aman dari gempa harus diubah sehingga masyarakat di zona rawan bisa beradaptasi dengan bangunan tahan gempa. (Irwan Meilano)
Untuk mendeteksi gempa dari patahan-patahan tersebut dan sebagai peringatan dini, BMKG sudah memasang seismograf di delapan lokasi di Kaltim, yakni di Berau, Paser, Kutai Kartanegara, Bontang, Penajam Paser Utara, Kutai Timur, Kutai Barat, dan Balikpapan.
Selain potensi gempa dari patahan-patahan tersebut, potensi gelombang tinggi akibat longsor bawah laut di Selat Makassar juga perlu diantisipasi oleh Kaltim. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, terdapat bekas longsoran purba yang terjadi lebih dari 2,5 juta tahun lalu di Selat Makassar.
Setidaknya terjadi 19 kali tanah longsor di Selat Makassar pada rentang waktu itu. Fenomena tersebut terjadi setiap 160.000 tahun atau lebih. Longsoran yang terjadi juga sangat besar, 5-600 kilometer kubik sedimen.
Hasil rekonstruksi BNPB, jika terjadi longsoran bawah laut di Selat Makassar, akan menimbulkan gelombang air yang menyebar ke arah Sulawesi dan Kalimantan. Namun, gelombang air ke arah Sulawesi akan lebih besar dan cepat sampai ke daratan dibandingkan dengan gelombang ke arah pesisir Kalimantan.
Dalam rekonstruksi itu, kecepatan gelombang air ke arah Kalimantan berkurang. Pesisir Kalimantan sisi timur diuntungkan dengan daerah lepas pantai yang rata-rata merupakan perairan dangkal berkedalaman kurang dari 50 meter. Ketika gelombang tinggi datang dari perairan dalam menuju perairan dangkal, kekuatannya berkurang.
”Memang ada peningkatan di ketinggian (gelombang air laut), tetapi tidak seperti gelombang tinggi yang pecah kemudian menghantam daratan,” kata Pelaksana Tugas Direktur Pemetaan dan Evaluasi Risiko Bencana BNPB, Abdul Muhari, saat berkunjung ke Balikpapan (Kompas, 14/11/2020).
Potensi bencana di Kalimantan Timur itu belum disadari sepenuhnya oleh warga yang tinggal di tempat itu. Mereka baru sadar ketika mereka merasakan guncangan gempa di lingkungannya.
Renata AP (23), pemuda yang lahir dan kini tinggal di Kecamatan Tanjung Redeb, Berau, belum pernah mendapatkan simulasi bencana kegempaan semasa sekolah. Menurut kajian BMKG, wilayah tersebut dilalui Sesar Mangkalihat.
”Makanya kemarin pas ada info gempa, baru tahu juga,” katanya ketika dihubungi.
Hal serupa juga dialami M Fuad (31) yang tinggal di Kota Tarakan sejak lahir hingga 2013. Pria yang kini tinggal di Balikpapan itu sempat merasakan gempa kecil di Tarakan sebelum 2013. Namun, ia juga tak pernah mendapat pelajaran atau simulasi kegempaan semasa sekolah. Saat ini, simulasi sudah mulai dilakukan di sekolah-sekolah, salah satunya oleh TNI di Tarakan.
Dari pemetaan sesar dan potensi yang ada, Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara perlu mengantisipasi potensi bencana tersebut. Simulasi dan bangunan tahan gempa perlu digaungkan di sekitar sesar yang sudah diidentifikasi. Adapun rehabilitasi lahan mangrove di pesisir diperlukan untuk mengantisipasi gelombang besar dari potensi bencana yang sudah diteliti.