Lokasi Penemuan Prasasti Talang Tuwo Palembang Terancam Pembangunan
Pemerintah diminta segera melakukan kajian guna memastikan lokasi persis penemuan Talang Tuwo dan menetapkan kawasan tersebut sebagai cagar budaya.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Keberadaan situs Talang Tuwo di Palembang, Sumatera Selatan, kian terancam karena masifnya pembangunan perumahan dan perkebunan kelapa sawit. Pemerintah diminta segera melakukan kajian guna memastikan lokasi persis penemuan Prasasti Talang Tuwo dan menetapkan kawasan tersebut sebagai cagar budaya.
Hal ini disampaikan Benny Mulyadi, Ketua Angkatan Muda Pembaharuan Sriwijaya (AMPS), Senin (1/2/2021), di Palembang. Organisasi ini bergelut di bidang budaya, sosial, dan kesejarahan. Benny menuturkan, lokasi yang diduga sebagai tempat penemuan Prasasti Talang Tuwo, yakni di Kelurahan Talang Kelapo, Kecamatan Alang-Alang Lebar, Palembang, kini semakin tidak terlindungi.
”Di dekat lokasi itu sudah berdiri banyak perumahan penduduk dan juga bangunan lainnya,” katanya. Jika terus dibiarkan, situs Talang Tuwo terancam lenyap.
Padahal, pada abad ke-7, berdasarkan Prasasti Talang Tuwo yang kini tersimpan di Museum Nasional, Jakarta, tertera bahwa lokasi ditemukannya prasasti merupakan sebuah taman yang kaya dengan tumbuhan yang dinamakan Taman Srikserta. Taman ini dibuat di bawah pimpinan Baginda Sri Jayanasa, raja pertama Sriwijaya.
Di dalam prasasti yang ditulis dengan aksara Palawa dan berbahasa Melayu kuno itu juga tercantum beberapa jenis tanaman yang tumbuh di sana, seperti pohon kelapa, pinang, aren, sagu. Buahnya dapat dimakan, demikian pula aur, buluh, betung, dan sebagainya; dan tanaman-tanaman lainnya dengan bendungan-bendungan dan kolam-kolamnya. Taman ini dibangun untuk kemakmuran rakyatnya.
”Ini menandakan bahwa sejak zaman Sriwijaya, tepatnya pada abad ke-7, Palembang sudah memiliki sebuah taman yang asri yang dibangun oleh seorang pemimpin yang sangat peduli pada lingkungan,” kata Benny.
Sekarang, makam ini sering dikunjungi peziarah, bahkan ada yang datang dari Bengkulu.
Ironisnya, setelah melihat lokasinya kini, semua telah berubah menjadi pohon sawit, kedondong, dan jengkol. Bahkan, lokasi yang dulunya perbukitan kini sudah hampir rata dengan dataran rendah karena tanahnya terus digerus untuk menimbun alur sungai agar dapat dijadikan perumahan. ”Sudah saatnya lokasi penemuan prasasti Talang Tuwo dikaji agar bisa terlindungi dengan status kawasan cagar budaya,” katanya.
Kini, di titik yang diduga menjadi tempat penemuan prasasti, hanya terdapat dua makam, yakni milik Hyang Talang Tuwo dan Dewa Bernua. Dalam nisan makam itu tertulis tahun saka 606 (684 masehi). Namun, Benny menduga makam ini baru karena dibalut dengan keramik berwarna hijau. ”Sekarang makam ini sering dikunjungi peziarah, bahkan ada yang datang dari Bengkulu,” ujarnya.
Kepala Balai Arkeologi Sumatera Selatan Budi Wiyana menuturkan, untuk memastikan lokasi persis penemuan Prasasti Talang Tuwo, butuh kajian mendalam karena situasinya saat ini sudah sangat berubah dibandingkan dengan waktu penemuannya dulu. Prasasti Talang Tuwo ditemukan pada 17 November 1920 oleh Louis Constant Westenenk. ”Tidak diketahui persis di mana koordinat penemuan karena dulu belum ada GPS (Sistem Pemosisi Global),” kata Budi.
Apalagi, di sekitar lokasi ini juga tidak pernah ada ditemukan artefak yang mendukung, seperti keramik lama atau arca. ”Padahal, tanda itu bisa dijadikan acuan untuk melakukan penelitian lebih lanjut,” ujarnya.
Hal yang bisa dilakukan dalam waktu dekat adalah menghimpun keterangan dari berbagai sumber, baik keterangan penduduk maupun pemilik tanah. Penelitian juga bisa dilanjutkan dengan penelitian polen (serbuk sari) untuk memastikan, apakah benar di lokasi ini pernah tumbuh tanaman yang disebutkan dalam prasasti. ”Serbuk sari yang dimaksud tentu yang berada di kedalaman tertentu, bukan yang di permukaan,” kata Budi.
Jika dilihat secara kasat mata, lanjut Budi, memang ada kolam di dekat tempat ini, sama seperti yang ditulis di dalam prasasti. Kolam itu terhubung dengan alur sungai-sungai tua. Selain itu, tidak ada lagi petunjuk sejarah lainnya.
Selain laporan dari Louis Constant Westenenk, arkeolog Bambang Budi Utomo juga pernah menjadikan lokasi ini sebagai salah satu tempat penelitian pada periode 1984-1992. ”Kemungkinan hasil penelitian bisa dijadikan acuan untuk mencari lokasi persis penemuan prasasti Talang Tuwo,” kata Budi.
Sementara itu, Edi, warga setempat, mengemukakan bahwa pernah ada penemuan benda lama saat pengembang membangun rumah di sekitar kawasan ini. Benda tersebut berupa tangan yang diduga merupakan potongan arca. ”Kini potongan tangan tersebut sudah dibawa oleh tukang yang mengerjakan proyek tersebut,” ujarnya.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Selatan Aufa Syahrizal, setelah mengunjungi situs, berkomitmen melindungi kawasan tersebut jika ada bukti otentik. ”Karena itu, perlu kajian lebih lanjut,” ujarnya.
Jika sudah bisa dipastikan lokasinya, dia menuturkan, bisa diajukan sebagai kawasan cagar budaya. Dengan begitu, tempat ini akan terlindungi oleh Undang-Undang Cagar Budaya Nomor 11 Tahun 2010. Dengan perlindungan tersebut, ungkap Aufa, gangguan dari pihak luar dapat diminimalisasi. Karena itu, dalam waktu dekat, Aufa juga akan membentuk tim kajian untuk segera meneliti tempat ini. ”Jangan sampai lokasi ini lenyap,” ujarnya.