Tata Ruang dan Wilayah di Kalsel Kelebihan Beban Perizinan
Pemerintah diminta menghentikan penambahan alih fungsi lahan dan berkomitmen menjaga lingkungan agar bencana alam tidak terulang. Potret suram kerusakan alam di Kalimantan Selatan perlu menjadi pelajaran beharga.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
BANJARBARU, KOMPAS — Banyak wilayah di Kalimantan Selatan kelebihan beban investasi. Hal itu akan berdampak buruk pada daya tahan dan daya dukung alam. Untuk itu, bencana banjir perlu dijadikan momen untuk mengevaluasi lagi perizinan industri ekstraktif, khususnya di wilayah Pegunungan Meratus. Perencanaan tata wilayah pun menjadi pertaruhan.
Banjir di Kalimantan Selatan (Kalsel) pada tahun ini dinilai merupakan bencana alam terbesar di Kalsel. Data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Kalsel menunjukkan, banjir merendam setidaknya 122.166 rumah di 11 kabupaten/kota, 179.035 keluarga (mencapai 712.129 jiwa). Total pengungsi selama banjir terjadi mencapai 113.420 orang.
Pemerintah menilai, banjir terjadi karena cuaca ekstrem. Curah hujan yang tinggi membuat sungai-sungai di Kalsel meluap hingga menggenangi banyak wilayah di Kalsel.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Lubang bekas tambang di Pengaron yang dijadikan destinasi wisata di Kabupaten Banjar, Kalsel, Jumat (22/1/2021). Di Kalsel, setidaknya terdapat 168 lubang bekas tambang yang belum direklamasi.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalsel Kisworo Dwi Cahyono mengatakan, bencana banjir menjadi momen penting untuk pemerintah memperbaiki rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) Provinsi Kalsel. Perlu ada pemetaan sumber bencana agar mampu melihat persoalan di kabupaten/kota yang saat ini sudah kelebihan beban perizinan.
Data Walhi Kalsel menyebutkan, dari total 3,7 juta hektar luas provinsi tersebut, sebesar 50 persen dikuasai konsesi dan terjadi alih fungsi lahan. Rinciannya, sebesar 33 persen izin pertambangan dan 17 persen perkebunan kelapa sawit. Itu belum termasuk hutan tanaman industri dan industri kayu yang juga mengubah hutan, bahkan menggunduli.
”Rencana tata ruang dan wilayah (provinsi) itu jangan sampai menjadi tata uang. Sebab, kami melihat terlalu banyak konflik kepentingan di dalamnya ketimbang kepentingan keselamatan masyarakat dari bencana,” kata Kisworo saat ditemui Kompas, Senin (25/1/2021).
Menurut Kisworo, RTRW di Kalsel itu seperti membangun rumah yang tidak sesuai fungsinya. Hutan yang mampu menampung air ditebang, dijadikan lokasi pertambangan dan perkebunan sawit, ataupun industri ekstraktif lainnya.
”Sebagai rakyat, kami menuntut negara berkomitmen memberikan hak hidup dan rasa aman kepada masyarakatnya, buktikan itu. Sebab, jika tidak, pemerintah berarti sudah gagal,” kata Kisworo.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Warga Pekauman Hulu, Kabupaten Banjar, Kalsel, berdiri di depan rumahnya yang terendam banjir pada Minggu (24/1/2021). Ribuan orang di wilayah tersebut mengungsi ke tempat yang lebih aman.
Kisworo mengingatkan pemerintah bahwa banjir terjadi akibat alih fungsi lahan yang masif mulai dari hulu hingga ke hilir. Di Pegunungan Meratus yang merupakan atap Kalsel pun sudah terancam perizinan.
”Meratus menjadi kunci, pemerintah sudah mengeluarkan izin di sana. Itu di hulu. Jika itu dirusak lagi, potensi bencana yang lebih besar bisa saja terjadi,” kata Kisworo.
Hal serupa disampaikan Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah. Menurut dia, dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, pemerintah wajib membentuk peta sebaran potensi bencana, membuat rencana mitigasi, dan pemetaan sumber bencana.
”Artinya, pemerintah diperintah undang-undang untuk melaksanakan itu. Harus ada pemetaan sumber bencana tiap daerah sehingga jelas mana wilayah tangkapan air yang sudah kritis, lahan yang dikonversi, dan masalah lain yang berpotensi menimbulkan bencana,” kata Merah.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Pengungsi di Masjid Agung Al-Karomah berisitrahat di teras sambil menunggu banjir reda untuk kembali ke rumahnya, Rabu (20/1/2021). Banyak penyakit mulai menyerang para pengungsi.
Jatam menyebutkan, untuk tambang saja, terdapat 789 izin pertambangan batubara di Kalsel dengan rincian 553 izin belum clean and clear (non-CnC), sisanya sebanyak 236 izin berstatus CNC. Luasnya mencapai lebih kurang 1,2 juta hektar dari luas Kalsel yang hanya 3,7 juta hektar.
Menurut Jatam, ada 814 lubang tambang yang masih aktif digunakan ataupun yang ditinggalkan tanpa ditutup. Selain itu, 700 hektar lahan tambang tumpang- tindih dengan permukiman warga, 251.000 hektar pertambangan berada di kawasan pertanian dan ladang, dan seluas 464.000 hektar pertambangan berada di kawasan hutan.
Sebelumnya, Penjabat Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Kalsel Roy Rizali Anwar menjelaskan, pihaknya sedang mengambil langkah-langkah untuk menyusun RTRW Provinsi Kalteng mulai tahun ini. Ia pun menyatakan penyusunan RTRW bakal melibatkan semua pihak dan transparan.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Sebuah batu runtuh dari ujung tebing di lubang bekas tambang sehingga menimbulkan riak dan bunyi seperti dentuman, di Pengaron, Kabupaten Banjar, Kalsel, Jumat (22/1/2021). Lubang tambang di Kalsel yang penuh dengan izin pertambangan masih banyak yang belum direklamasi.
Menjawab persoalan banjir, lanjut Roy, pihaknya belum melihat perizinan sebagai faktor utama penyebab banjir besar di Kalsel. Ia menilai, banjir itu merupakan siklus 100 tahun sekali karena pernah terjadi pada tahun 1928.
”Terdapat lereng di sungai yang kemudian menimbulkan akumulasi air terbentuk dalam jumlah yang melebihi kapasitas sungai, itu karena cuaca ekstrem,” kata Roy.
Walakin, Roy menjelaskan, masih ada 168 lubang bekas tambang di sekitar Sungai Barito yang saat ini sedang disusun kebijakan untuk penanganan pascatambang. ”Rencana tata ruang tentunya akan melihat kembali potensi bencana dan mencegahnya sehingga dampaknya bisa diminimalkan,” katanya.