Saat Kota Seribu Sungai Terkatup Banjir
Perdebatan penyebab banjir di Kalsel tak berhenti antara curah hujan atau kerusakan lingkungan akibat alih fungsi lahan. Tak ada yang salah. Namun, kebijakan untuk memperbaiki tata kelola lingkungan mendesak dilakukan.
Jebakan eksploitasi alam Kalimantan Selatan menjadi kenyataan. Di bagian hulu sungai, mulut lubang tambang menganga tak ditutup, aktivitas pertambangan jalan terus, sedangkan di hilir gambut dihajar perkebunan kelapa sawit. Kota Seribu Sungai pun terkatup banjir.
Setelah lima hari diterjang banjir, Syahroni (58) warga Desa Pengaron, Kabupaten Banjar, bisa kembali ke rumah. Jumat (22/1/2021) siang ia duduk di atas sofa usang yang penuh lumpur kering sembari menyesap kopi.
Ia menghirup wangi ikan goreng yang dimasak istrinya di belakang dapur sambil tersenyum. “Lima hari makannya hanya mi instan, bikin sakit perut,” keluhnya mengingat kembali saat hidupnya terisolasi banjir.
Syahroni tak menyesal tak mendapat bantuan apapun dari pemerintah. Ia bahkan tak kesal sempat melihat truk pembawa bantuan yang kembali pulang membawa segala macam kardus di dalamnya. “Truknya sudah di depan jembatan, terus balik lagi gak jadi ke sini,” katanya sambil mengingat.
Bagi Syahroni dan ratusan keluarga di Pengaron, banjir bukan barang baru. Saat warga Banjarmasin baru merasakan seminggu kebanjiran, kampungnya sudah 20 hari dihajar banjir.
“Gimana nggak banjir, di hulu bukit dan gunung sana, pohonnya sudah gundul. Dari tahun 1979 itu orang sudah kerja kayu, kayu hilang datanglah tambang,” ujarnya.
Desa Pengaron memang terkenal dengan tambang. Di desa yang jaraknya 91,5 kilometer dari Kota Banjarmasin itu, lubang bekas tambang jadi lokasi wisata. Danau Biru Pengaron namanya, letaknya tak sampai satu kilometer dari desa dan berada di seberang Sungai Pengaron yang bermuara di Sungai Martapura.
Dari sungai itu, jalan masuk ke lubang bekas tambang hanya sekitar 200 meter. Jika ingin menyentuh air danau atau sekadar berswafoto pengunjung harus menempuh jalan sepanjang empat kilometer yang penuh bebatuan, bahkan lumpur dalam di musim hujan.
Baca juga: Mulut Lubang Tambang di Hulu Sungai Martapura Masih Menganga
Lokasi lubang tambang berada di balik bukit-bukit yang rindang karena ratusan pohon sengon, galam, bambu dan pohon karet tumbuh di sekitarnya. Namun, hijaunya pohon-pohon itu tidak bisa menutupi borok kerusakan lingkungan di baliknya.
Sampai di lokasi setidaknya terdapat empat lubang tambang dengan ukuran sangat besar berbentuk oval. Di sekeliling terdapat pasir dan batu hitam. Batu bara. Bahkan, masih ada beberapa karung yang penuh terisi batu bara belum diangkut.
Di pinggiran lubang terdapat tebing curam. Pada saat Kompas mendatangi lokasi itu di Jumat Siang, sebuah bongkahan batu besar di pinggir tebing meluncur jatuh ke permukaan danau sehingga menimbulkan bunyi seperti letupan. Runtuh.
Menyusul bunyi letupan itu, tanah bergetar, air danau beriak. Danau yang tadinya hijau berubah menjadi cokelat kotor, warna yang sama dengan warna sungai di seberangnya. Si batu besar tak terlihat ujungnya, tenggelam ditelan danau. Pemandangan yang mengerikan untuk sebuah tempat wisata.
Tak hanya lubang bekas tambang, enam kilometer dari lokasi atau hanya dua kilometer dari bibir sungai, terdapat lokasi pertambangan batu bara yang masih aktif. Hanya saja siang itu tidak terlihat beroperasi.
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah mengungkapkan, seluruh pertambangan di Kalimantan Selatan menggunakan sistem terbuka sehingga menyisakan lubang-lubang dengan ukuran bervariasi. Pihaknya mencatat terdapat, tahun 2018 terdapat 3.092 lubang bekas tambang di Indonesia. Kalsel terbanyak nomor dua dengan jumlah mencapai 814 lubang.
“Tambang terbuka, apalagi di kawasan hutan, pasti ada pembukaan lahan dulu sehingga bentang alam berubah. Dimensi kerusakannya besar terhadap lingkungan, termasuk juga tata kelola air dan pencemarannya,” kata Merah yang dihubungi, Sabtu (23/1/2021).
Baca juga: Kerusakan Lingkungan Picu Banjir di Kalsel
Saat bentang alam berubah atau rusak, tambah Merah, alam kehilangan daya tampung dan daya dukungnya. Curah hujan tinggi pun langsung ditampung sungaikarena tak ada lagi pohon-pohon yang menyerap atau menahan air. Sungai pun langsung meluap.
Hujan besar menghantam sungai di Desa Pengaron yang kemudian luapannya tak hanya merendam kampung itu tetapi berlanjut hingga ke Banjarmasin, si Kota Seribu Sungai.
“Tak ada manusia yang mau hidup di lingkungan yang rusak, maka solusinya adalah evaluasi. Pemerintah perlu memetakan kembali sumber bencana,” kata Merah.
Jatam menyebutkan untuk tambang saja terdapat 789 izin pertambangan batubara di Kalsel, dengan rincian 553 izin belum clean and clear (non-CnC), sisanya sebanyak 236 izin berstatus CNC. Luasnya mencapai lebih kurang 1,2 juta hektar dari luas Kalsel yang hanya 3,7 juta hektar.
Hal serupa juga disampaikan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan Kisworo Dwi Cahyono. Saat di hulu di hajar tambang, bagian hilir yang sebagian besar merupakan kawasan hidrologis gambut, perlahan diganti perkebunan sawit. Seperti di Kabupaten Tapin, Kalsel.
“Jangan terlalu cepat menyalahkan hujan. Coba lihat dulu dari hulu dan hilir kondisi lingkungan di Kalsel saat ini seperti apa?” ungkap Kisworo.
Menjawab semua tudingan soal kerusakan lingkungan, Penjabat Sekretaris Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Roy Rizali Anwar menjelaskan, banjir besar kali ini kemungkinan merupakan periode ulang 100 tahun lalu karena pernah terjadi di tahun 1928 silam. Pihaknya belum melihat perizinan, baik tambang maupun perkebunan, menjadi faktor utama banjir yang terjadi saat ini. Ia berjanji, pemerintah daerah akan mempelajari soal itu.
Baca juga: Banjir dan Deforestasi di Kalteng yang Tak Berhenti
“Terdapat lereng di sungai yang kemudian menimbulkan akumulasi air terbentuk dalam jumlah yang melebihi kapasitas sungai, itu karena cuaca ekstrem,” kata Roy.
Walakin, Roy menjelaskan masih ada 168 lubang bekas tambang di sekitar Sungai Barito yang saat ini sedang disusun kebijakan untuk penanganan pascatambang. “Pemerintah akan mengambil langkah-langkah ke depan soal itu,” katanya.
Diselamatkan karet
Jaelani (57) warga Desa Pengaron melihat kondisi kebunnya yang sempat dihajar banjir. Ia belum bisa menyadap karet karena hujan tak berhenti. Pohon karet yang basah tidak bisa disadap karena bisa membuat pohon tersebut mati.
Yang penting bisa makan, tapi ya masa tiap tahun mau banjir begini terus (Jaelani)
Meski tak bisa menyadap getah karet, hasil sadapan sehari sebelum banjir masih ada di tambah tandan pisang yang belum terjual dan jahe. Jaelani mulai menjemurnya dan menjualnya ke tengkulak.
“Yang penting bisa makan, tapi ya masa tiap tahun mau banjir begini terus,” ujar Jaelani.
Warga desa sekitar tak ada yang bekerja di pertambangan, mereka berkebun dengan hasil yang mungkin hanya untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari. Bagi mereka hidup bukan hanya soal uang, tetapi juga rasa aman.