Persoalan di Kawasan Hulu di Kalsel Mendesak Diselesaikan
Hulu persoalan banjir di Kalimantan Selatan mendesak untuk diselesaikan. Tanpa perbaikan dan penataan di hulu daerah aliran sungai, banjir besar seperti pada 2021 tetap berpotensi terjadi di kemudian hari.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·4 menit baca
BANJARMASIN, KOMPAS — Perbaikan dan penataan hulu daerah aliran sungai di Kalimantan Selatan mendesak diselesaikan. Alih fungsi hutan dan lahan di hulu disinyalir turut memperparah kondisi banjir kali ini.
Banjir di Kalimantan Selatan awal tahun 2021 merupakan bencana besar yang belum pernah dialami banyak orang saat ini. Pemerintah Provinsi Kalsel menyebut banjir ini merupakan siklus sekitar 100 tahun sekali karena kejadian serupa pernah terjadi pada 1928.
Banjir kali ini menyebabkan 11 dari 13 kabupaten/kota di Kalsel terendam air. Hanya Kabupaten Tanah Bumbu dan Kotabaru yang tidak terdampak. Pada Kamis (21/1/2021) petang, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kalsel mencatat 490.953 jiwa terdampak banjir.
Sebanyak 20 orang meninggal dan 6 orang dilaporkan hilang. Banjir juga merendam 101.816 rumah, 115 tempat ibadah, dan 83 sekolah. Beberapa infrastruktur jalan dan jembatan juga rusak.
Anggota Komisi V DPR Dapil Kalsel, Muhammad Rifqinizamy Karsayuda, menyebutkan, banjir disebabkan dua hal yang sangat ekstrem. Pada sisi hulu terjadi percepatan turunnya air dari daerah pegunungan (Pegunungan Meratus). Hal itu dipicu alih fungsi lahan yang sudah sangat lama dilakukan. Sementara di hilir, pasang laut juga sangat tinggi sehingga air tidak bisa mengalir.
”Karena itu, kami mengusulkan agar DPR melakukan rapat lintas komisi untuk menyelesaikan problematika bencana di Indonesia agar kemudian persoalan hulunya bisa diselesaikan. Banjir seperti di Kalsel juga bisa terjadi di tempat lain,” kata Rifqi ketika berbicara dalam Rapat Komisi V DPR dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kamis.
Di Kalsel, kata Rifqi, telah terjadi alih fungsi lahan sejak masuknya perusahaan-perusahaan pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) di era Orde Baru. Kemudian di era Reformasi, terlebih pada tahun 2001 sampai 2010, banyak dikeluarkan izin usaha pertambangan (IUP) dan juga perkebunan skala besar.
”Alih fungsi lahan yang datanya ada di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan perlu diperlihatkan betul-betul, termasuk bagaimana menegakkan hukum pada proses-proses lingkungan serta penataan pertambangan ataupun perkebunan besar,” tutur anggota Komisi V DPR dari Fraksi PDI Perjuangan itu.
Rifqi juga mendesak ada percepatan pembangunan infrastruktur yang dapat jadi bagian dalam penanggulangan bencana banjir di Kalsel. Pembangunan beberapa bendungan di Kalsel diharapkan bisa dipercepat, misalnya Bendungan Riam Kiwa di Kabupaten Banjar. ”Di Hulu Sungai Tengah juga perlu dibangun bendungan,” ujarnya.
Menurut Rifqi, beberapa infrastruktur yang dibangun Kementerian PUPR di Kalsel cukup signifikan berdampak pada pengurangan risiko banjir kali ini. Misalnya, keberadaan Bendungan Tapin di Kabupaten Tapin yang baru saja selesai pembangunannya membuat daerah tersebut tidak begitu terdampak banjir kali ini. Hal berbeda dialami daerah tetangga, Kabupaten Banjar. Jumlah warga terdampak banjir di Banjar mencapai 190.929 jiwa, sedangkan di Tapin sebanyak 1.492 jiwa.
Tidak optimal
Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat, Hamdani Fauzi, mengatakan, banjir parah di Kalsel kali ini tidak hanya disebabkan curah hujan yang sangat tinggi di bagian barat Pegunungan Meratus. Bencana dipicu penurunan tutupan lahan berhutan yang berpengaruh terhadap tata air.
”Kondisi tutupan lahan sebagai pengatur tata air yang tidak optimal di sebelah barat Meratus memungkinkan terjadinya banjir. Ke depan, perlu pengelolaan daerah alirah sungai terpadu, mulai dari hulu sampai ke hilir, termasuk pengendalian kerawanan bencana secara vegetatif dan sipil teknis,” kata Hamdani.
Menurut Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalsel Kisworo Dwi Cahyono, Kalsel dengan luas wilayah 3,7 juta hektar memang sudah darurat ruang dan darurat bencana ekologis. Separuh ruang wilayahnya sudah dibebani perizinan tambang (33 persen) dan perkebunan kelapa sawit (17 persen).
Kondisi itu menimbulkan sejumlah dampak yang terus berulang. Salah satunya banjir yang menimbulkan kerugian harta benda ataupun korban jiwa. ”Pemerintah harus tanggap bencana (sebelum, pada saat, dan pascabencana) dan meninjau kembali perizinan industri ekstraktif dan perkebunan. Selain itu, harus memperbaiki atau memulihkan kerusakan lingkungan sungai dan drainase,” kata Kisworo.
Penjabat Sekretaris Daerah Kalsel Roy Rizali Anwar mengatakan, pihaknya akan mengkaji tata ruang dan wilayah untuk meminimalisasi bencana atau mengantisipasinya. Ia menilai banyaknya perizinan belum menjadi faktor utama penyebab banjir di Kalsel. ”Saat ini, kami masih fokus pada penanganan banjir. Kajian dan analisis akan dilakukan pascabanjir,” ujarnya.