Penyintas gempa Sulbar tidak hanya menghadapi logistik yang kurang dan gempa susulan. Banjirnya berita dan informasi hoaks membuat derita mereka berlipat. Sebagian terpaksa jauh meninggalkan rumah agar tenang.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
Lututnya lecet. Punggungnya dipenuhi lebam. Gempa membuat tembok rumahnya di Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat, runtuh dan menimpanya. Bersama sejumlah anggota keluarga dekatnya, Maridi (58) mengungsi ke Makassar, Sulawesi Selatan. Trauma akan gempa susulan dan banjirnya hoaks membuat lelaki itu khawatir berkepanjangan.
Duduk di velbed yang disiapkan, Maridi mengikuti saran Wika (28), anak keduanya, untuk diolesi minyak urut. Maridi mengangkat kemeja merah maron yang dipakainya. Lebam-lebam masih terlihat di punggung. Lecet dan luka di kakinya juga belum sembuh benar hingga Selasa (19/1/2021).
”Pinggang bawah juga banyak,” kata Wika, menyingkap celana Maridi. Luka lebam seukuran telapak tangan masih membekas. Maridi bersama istri, tiga anak, cucu, dan sejumlah keluarga dekatnya adalah sebagian dari puluhan pengungsi yang menempati Kantor Dinas Sosial Sulsel di Makassar. Sebagian pengungsi lain ditempatkan di Panti Inang Matutu.
Bersama 14 anggota keluarganya, Maridi memilih mengungsi ke Makassar. Pada Senin siang, mereka diterbangkan dengan pesawat Hercules milik TNI AU. Setibanya di Makassar, mereka dibawa ke tempat penampungan sementara. Tidak seperti ratusan pengungsi sebelumnya yang memiliki keluarga di Makassar, Maridi dan keluarganya tidak.
Semalam di pengungsian membuat Maridi sudah lebih tenang. ”Sudah bisa tidur nyenyak. Ada AC juga dan makanan tersedia. Selama di Mamuju, susah semua,” ucap perantau asal Sukoharjo, Jawa Tengah, yang telah menetap sekitar 25 tahun di Mamuju ini.
Maridi menceritakan, saat gempa dengan kekuatan M 6,2 itu mengguncang wilayah Sulbar, ia sedang tertidur lelap. Ia baru terbangun ketika merasakan sakit di sekujur tubuh. Saat membuka mata, gelap menyelimuti. Ia telah berada di bawah reruntuhan dinding.
Sudah tidak berani masuk rumah. Takut.
Beruntung, ia masih sadar dan bisa bergerak. Ia menyingkirkan batubata sedikit demi sedikit. Ia bisa keluar dan berjalan dengan kaki pincang. Istrinya, Sadiem (55), hanya bisa berteriak dari dapur. Peralatan dapur untuk berjualan gado-gado berserakan.
Semua anggota keluarganya selamat, termasuk cucu berusia lima bulan. Mereka akhirnya mengungsi ke rumah tetangganya. ”Sudah tidak berani masuk rumah. Takut,” kata Maridi.
Gempa dengan magnitudo 6,2 melanda Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, Jumat (15/1/2021) pukul 02.28 Wita. Namun, dampaknya meluas ke seluruh Sulbar, terutama wilayah terdekat dengan Majene, yakni Mamuju.
Gempa ini menimbulkan kerusakan bangunan parah di kedua daerah itu, termasuk Kantor Gubernur Sulawesi Barat di Mamuju, longsor yang menutup jalan Mamuju-Majene, dan puluhan korban jiwa. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), total korban meninggal hingga Selasa pagi mencapai 84 orang.
Wika menambahkan, setelah gempa, mereka harus berbagi tempat dengan tetangga lainnya. Makanan terbatas dan kebutuhan harian juga sangat sedikit. Bantuan tidak ada yang mengalir. Semua serba terbatas.
Akan tetapi, yang paling membuat khawatir adalah gempa susulan yang terjadi beberapa kali. Guncangan gempa memang terus dirasakan warga. Selain itu, berita dan informasi juga semakin simpang-siur. Salah satunya menyebutkan gempa dengan kekuatan lebih besar akan datang.
”Ada yang bilang mau tsunami juga. Mana rumah kami itu hanya sekitar 50 meter dari pantai. Akhirnya, bapak bilang kita mengungsi saja,” kata Wika.
Kasno (64), tetangga Maridi, juga khawatir akan keselamatan keluarganya. Ia membawa istri, anak, dan cucunya. Total ada lima anggota keluarganya yang mengungsi ke Makassar. Menurut Kasno, berita-berita tidak jelas membuatnya khawatir terus-menerus. Tensi darahnya naik dan kepalanya pusing. Ia memutuskan untuk meninggalkan Mamuju sementara.
”Berita-berita yang kami dengar itu bilang mau tsunamilah, mau gempalah. Makanya, daripada kami khawatir terus, mending kami tinggalkan dulu. Rencana mau pulang ke Solo dulu, nanti balik lagi kalau sudah tenang. Rumah ditinggalkan saja, yang penting semua selamat,” ujarnya.
Setelah gempa di Sulbar, berbagai informasi yang tak jelas asalnya beredar di media sosial atau grup percakapan. Salah satunya, informasi tentang akan adanya gempa susulan dengan magnitudo di atas 7.
Selain itu, kabar adanya tsunami juga tidak terelakkan. Bahkan, mengatasnamakan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), pesan liar berseliweran mengimbau masyarakat keluar Mamuju karena ancaman bencana lanjutan.
”BMKG hanya keluarkan imbauan untuk menyelamatkan diri, bukan eksodus meninggalkan Mamuju. Tapi, segera lakukan evakuasi mandiri jika terjadi gempa kuat, khususnya yang berada di pesisir, dan di kawasan perbukitan,” kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati, Minggu.
Hingga Selasa siang total ada 72 pengungsi yang ditempatkan di posko pengungsian Dinas Sosial Sulsel. Mereka adalah bagian dari sekitar 500 pengungsi gempa yang diterbangkan ke Makassar. Sebagian besar memilih menginap di rumah keluarga masing-masing.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Sosial Sulawesi Selatan Gemala Faozan menerangkan, pihaknya menyiapkan tiga tempat untuk pengungsi. Selain di Kantor Dinsos Sulsel, juga ada tempat di Panti Penitipan Anak Inang Matutu dan Asrama Haji Sudiang.
”Panti Inang Matutu bisa menampung sekitar 150 orang, di Dinsos Sulsel 150 orang, dan di asrama haji ada dua gedung yang dibuka. Semuanya bisa sekitar 500 orang,” kata Gemala.
Sejauh ini, ia melanjutkan, logistik untuk pengungsi gempa Sulbar terpenuhi. Untuk sementara, semua pengungsi akan dipusatkan di Panti Penitipan Anak Inang Matutu. Pemeriksaan kesehatan juga akan dilakukan di tempat tersebut.
Wika menuturkan, dirinya khawatir dengan kesehatan sang bapak. Selama lima hari terakhir belum ada pemeriksaan kesehatan yang dilakukan. ”Cuma minum vitamin. Semoga bisa diperiksa dulu biar tahu kondisinya,” katanya.